tegas.co,. JEPARA, JATENG – Seiring intensitas hujan yang kian kerap, produksi batu bata di Kecamatan Welahan pun terpengaruh. Hal itu karena dalam proses pembuatannya, perajin hanya mengandalkan cahaya mentari sebagai satu-satunya pemanas untuk mengeringkan bata basah.
Ahmadi (50) seorang perajin batu bata tradisional di Desa Kalipucang Wetan, Kecamatan Welahan mengaku, kini produksinya menurun 50 persen. Jika di hari terik, ia bisa memroduksi 1000 bata per hari. Kini hanya bisa setengahnya.
“Ya kalau cuaca seperti ini hanya 500 an per hari. Soalnya kita kan menjemur bata mengandalkan cahaya matahari, kalau yang sudah dibuat kemarin belum kering, ya otomatis tak bisa buat bata yang baru lagi,” katanya.
Saat ini, lanjut Ahmadi, pesanan batu bata boleh dibilang berkurang. Hal itu karena tidak banyak proyek yang berjalan. Adapun untuk 1000 bata, matang dibanderol dengan harga Rp 460 ribu.
Jika dalam kondisi terik, untuk mengeringkan cetakan bata basah diperlukan waktu sehari. Namun jika mendung menggelayut disertai hujan, maka waktu pengeringan yang dibutuhkan bisa mencapai seminggu.
“Namun kalau kualitas batanya lebih jelek harganya ya bisa lebih turun lagi. Kalau pasokan bahan baku masih mudah, kita dapat dari Gemiring, Tunggul, dan Pringtulis. Untuk satu truk tanah, harganya sekitar Rp 250 ribu,” ujarnya yang telah 30 tahun melakoni bisnis pembuatan batu bata.
Ahmadi berujar, saat-saat seperti ini tidak bisa mengandalkan penghasilan dari membuat bata. Bahkan ketika hujan mulai terus turun, ia menyebut akan beralih profesi menjadi pengojek atau bertani.
“Kan kalau hujan terus kita tidak bisa membuat bata karena tidak ada panas. Kemungkinan akhir bulan November sampai Februari tahun depan saya prei (libur) membuat bata. Lanjut lagi bulan Maret, ketika hujan sudah mulai berkurang. Saat tidak membuat bata ya sekarang saya bertani,” pungkasnya.
REPORTER: D S W
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar