Moral Setipis Kartu ATM, Polemik Boleh Tidaknya Mantan Napi Korupsi

Moral Setipis Kartu ATM, Polemik Boleh Tidaknya Mantan Napi Korupsi
ILUSTRASI INT

Polemik tentang boleh tidaknya mantan nara pidana korupsi atau Koruptor mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau DPRD sudah harus segera diakhiri dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan PKPU  No. 20 Tahun 2018 bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

Semua telah melaksanakan fungsinya masing-masing dan sesuai dengan hukum yang berlaku, bahwa putusan MA adalah sah dan berkekuatan hukum, sebagai negara yang berdasarkan hukum rakyat dan seluruh komponen bangsa harus menaatinya.

Iklan KPU Sultra

Akan tetapi yang perlu kita ingat bahwa UU No. 7 Tahun  2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal  240 ayat (1) huruf g berbunyi: Bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan  hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan nara pidana.

Sementara PKPU No. 20 Tahun 2018  Pasal 4 ayat (3) menyebutkan: Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana  bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.

Pasal 7 huruf g menyebutkan: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau  lebih berdasarkan  putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Atas gugatan  beberapa mantan nara pidana korupsi atau koruptor ke MA, maka badan tertinggi  peradilan itu menutuskan bahwa PKPU tersebut bertentangan dengan UU  Pemilu, dan para koruptor akan berduyun-duyun berupaya mengisi jabatan publik.

Tidak ada yang salah, DPR sebagai pembuat UU bersama Pemerintah memperbolehkan Koruptor mencalonkan diri, asal jujur dan terbuka mengakui bahwa dirinya pernah koruptor alias memakan duit masyarakat dengan merugikan keuangan negara.

MA  juga tidak salah, karena aturan hukum mengatakan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dan itu tugas dan kewajiban MA meluruskannya.

KPU juga sadar dengan ketentuan peraturan perundang-undangan itu, tetapi atas tuntutan etika dan moral tidak pantas koruptor diberi jabatan public karena telah terbukti di salah gunakan, ibarat “diberikan emas, tetapi diinjak-injak di lumpur”.

Memang semua warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih, demikian juga para mntan koruptor, tetapi, sekai lagi tetapi tidak sama “maling” dengan orang yang tidak pernah mencuri. Benar, bahwa koruptor itu sudah menebus kesalahannya di balik jeruji besi, tetapi di mana moral kita menyamakan orang baik dengan “perampok uang negara ?”

Baca juga,

https://tegas.co/ma-putuskan-mantan-narapidana-korupsi-boleh-nyaleg/

Perdebatan itu kembali kepada Partai Politik yang menampung atau mencalonkan para koruptor itu, apakah para pengurus  partai tersebut “tega” dan “rela” menyamakan dirinya dengan para koruptor itu? Perdebatan akan menjadi panjang dan tidak ada henti-hentinya, untuk menghindari itu mari kita kembalikan ke hati nurani masing-masing dan para pihak yang bertanggung jawab, terhadap keberlangsunga bangsa dan masyarakat ini untuk hidp damai dan tenteram. Sebab menurut kita tidak akan tenteram kalau dipersamakan orang-orang baik dengan para “koruptor”.

Kita lihat saja, partai-partai mana yang mau jadi “sarang, pelindung atau penampung” koruptor-koruptor itu. Kita sadar bahwa tidak semua bakal calon DPR dan DPR D akan  terpilih, tergantung masyarakat, apakah masyarakat mau diwakili Koruptor”? Masyarakat yang diwakili koruptor samakah dengan koruptor? Semoga tidak demikian. Bahkan kita berharap, para koruptor itu bila nantinya dipilih rakyat sehingga bisa duduk kembali di DPR justru menunjukkan pertobatan-nya sebagai penyesalan serta menebus “dosa-dosa”nya akan berjuang untuk memperbaiki hidup dan kehiidupan bangsa ini.

Namun bagaimana etika dan moral kita, kalau hal-hal tersebut di atas terbukti nanti ada mantan koruptor jadi anggota DPR, DPRD di tingkat propinsi, kabupaten/kota maupun DPD? Bagaimana secara etika dan moral diperkenankan? Ataukah karena etika dan moral kita sudah tipis, “setipis kartu ATM”, sehinga tidak mampu lagi membedakan yang baik dan benar dengan yang bathil dan buruksehingga memberikan ruang dan  hak yang sama kepada orang yang berkelakuan baik dengan koruptor.  Sejarah akan mencatatnya.

Para generasi tua sekarang seyogyanya tidak hanya melihat yuridis – formal, tetapi juga mendasarkan putusan-putusan hukum dengan etika dan moral, walaupun hukumnya memperbolehkan, tetapi kita yakin para pemutus perkara pasti sadar dan mengingat irah-irah putusan: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.***

Oleh

Bachtiar Sitanggang

Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta

Baca juga

https://tegas.co/%e2%80%8epenulis-tegas-co-bachtiar-sitanggang-terbitkan-buku-100-tulisan-pilihan/

PUBLISHER: T I M

Komentar