Meriah perbincangan masyarakat tentang pesta politik April mendatang. Namun dibalik gempita pesta demokrasi, disudut lain tindak kekerasan seksual semakin tak terbendung. Komnas perempuan mencatat ada peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan sebesar 74% bila dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 tercatat ada 344.446 kasus, dari 259.150 kasus pada tahun, dilansir dari CNN Indonesia (08/03/2018).
Awal tahun 2019, sudah lima kasus kekerasan seksual terhadap anak di Konawe Selatan (Konsel) semakin tak terbendung. Kepala bidang (Kabid) Rehabilitas Sosial Dinas Sosial (Dinsos) Konsel, Jimmy Norman mengatakan sepanjang awal tahun 2019 sudah ada 5 kasus kekerasan seksual terhadap anak. “Jenis kasus yakni pelecehan seksual, abortus, asusila, hubungan seksual dan terhadap anak dan ayah” pungkasnya (Detiksultra.com 28/02/2019).
Liberalisme, Akar Masalah Kekerasan Seksual
Saat ini,kekerasan seksual menjadi masif terjadi. Pasalnya, perkara ini akan senantiasa menyapa dari sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi dengan akidah sekularismenya (Paham yang memisahkan agama dari kehidupan). Bagaimana tidak, demokrasi akan memunculkan liberalism (kebebasan) yang akan semakin melanggengkan paham kebebasan dalam pergaulan yakni tidak adanya batasan dalam berinteraksi, juga pandangan serba boleh menjadikan paham ini kian merusak negeri.
Kiprahnya nampak jelas di media sosial yang tidak lagi menfilter konten-konten yang sarat dengan menampilkan sensasi seksual sehingga mempercepat rangsangan dan menuntut untuk dipenuhi. Menjadikan individu dengan iman yang tipis akan melakukan apapun untuk memenuhi keinginan mereka, bahkan jika harus mengancam orang lain, ataupun menyalurkannya pada orang yang salah disertai dengan kekerasan. Tak pelak, kasus kekerasan seksualpun semakin meningkat.
Melihat kondisi dewasa kini, berbagai macam solusi ditawarkan demi untuk menuntaskan, setidaknya dapat menekan digit kasus kekerasan agar tidak semakin menjamur. Seperti halnya Dinsos yang mengatasi hal tersebut dengan langkah preventif dan assassemnt. “Langkah preventif dan assassement dengan tujuan untuk memulihkan ketidakpercayaan diri dan kondisi psikologinya”, jelas Kabid Dinsos (29/02.2019).
Namun, yang harus dipahami, untuk menuntaskan sebuah problematika tentu saja harus akar masalahnya harus diberantas. Termasuk, kekerasan seksual. Pemicunya liberalisme, maka paham itu pun harus dimusnahkan.
Islam Menuntaskan Problematika Umat
Islam memandang suatu permasalahan individu sebagai masalah umat. Dengan memandang masalah kekerasan seksual ini bukan pada personal semata, namun ini adalah permasalahan umat. Alhasil, penyelesaian versi demokrasi yang berkutat dipersonal semata, tidak menuntaskannya dengan memberikan efek jera, baik bagi pelaku, korban, maupun umat yang melihat. Jauh panggang dari api, agka korban kasus kekerasan seksual kian bertambah. Hal ini disebabkan oleh adanya paham kebebasan yang masih mempengaruhi umat.
Maka, tatkala demokrasi tak bisa menuntaskan problematika, satu-satunya solusi hanyalah Islam. Islam menuntaskan problematika ini dengan tiga tahapan yakni (1) ketakwaan individu, dimana individu wajib taat kepada Allah SWT. Takut mengerjakan larangan dan meninggalkan perintah-Nya. Baginya berlaku batasan dalam sistem pergaulan, interaksi dan penjagaan lainnya. Kemudian (2) kontrol masyarakat serta (3) kewajiban Negara dalam menjaga akidah dan ketakwaan masyarakat agar tetap dalam koridor Islam, mencampakkan sekularisme liberalisme dan kembali pada sistem islam yang rahmatan lil’alaamiin.
Tentu saja, perkara itu hanya terwujud, ketika Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) dalam bingkai sebuah negara. Wallahua’lam bishawab.
PENGIRIM: Nurhidayat Syamsir (Mahasiswa Teknologi Pangan UHO)
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar