Politik Transaksional dalam Demokrasi

Politik Transaksional dalam Demokrasi
ILUSTRASI

Hari pemungutan suara telah berlalu, namun efeknya masih hingga sekarang. Quick count versus real count memenuhi beranda media sosial. Klaim pemenangan masing-masing paslon bahkan sudah ditabuh. Paslon satu menang di quick count dan paslon dua menang di real count, meski semuanya masih dalam proses hitung. Psy war antar kandidat yang sejak sebelum hari pemungutan suara sudah panas, makin berkobar dengan isu kecurangan. Serangan fajar, suap, politik uang, penggelembungan suara, surat suara rusak, suara orang gila, salah input data, kotak suara yang hilang merupakan sejumlah fakta yang tergelar terang benderang. Pesta demokrasi hanya menyisakan permusuhan antar saudara sebangsa. Kalau sudah begini siapa sesungguhnya yang merusak kebinekaan?.

Pemilu sebenarnya hanyalah sebuah cara untuk memilih pemimpin. Demikian pula dengan hitung cepat atau manual, hanya sebuah metode penghitungan suara. Yang mesti dicermati justru sistem politik yang digunakan dalam pemilu dan penghitungan suara tersebut. Kecurangan yang terjadi dalam pemilu di Indonesia sudah sejak lama terjadi. Dari sejak orde lama, orde baru, orde reformasi hingga era digital 4.0. Ketidakpercayaan atas  Komisi Pemilihan Umum juga tak berkurang. Herannya hal ini tetap saja dilakukan, dengan harapan bahwa pemilu kali ini bisa jujur dan adil. Lalu sesungguhnya siapa yang rugi?

Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut tentu harus dikembalikan pada asas yang mendasari kenapa semua kecurangan terjadi. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya semua tergantung pada sistem politik yang dipakai di negeri ini. Adalah demokrasi tempat lahirnya sejumlah kecurangan dan politik uang. Menghalalkan segala cara adalah

Slogan dari sistem politik ini. Bagi Demokrasi pemilu jembatan menuju kekuasaan, maka mereka yang terlibat dalam pesta menjadikan pemilu sebagai barang dagangan menuju puncak kepemimpinan. Baik pileg, pilgub maupun pilpres.

Sedang untuk mencapai puncak kursi terpanas dibutuhkan modal. Modal untuk meraih hati rakyat ternyata tak murah. ‘Bantuan’ yang digelontorkan jelang pemilu suatu saat harus kembali. Sebagaimana ciri dari ideologi yang mendasari demokrasi. Kapitalisme. Jadi modal yang sudah dikeluarkan harus kembali, sama besar bahkan mesti untung. Itu sebabnya pemilu bagi pengusung demokrasi merupakan arena perjudian. Arena politik transaksional antara kandidat dan pemilih. Alih-alih mengusahakan program-program pro rakyat dan edukasi politik ditengah umat, mereka memilih cara instan, cara cepat untuk mendapatkan suara. inilah wajah asli kapitalisme-demokrasi.

Rakyat pun demikian. Meski terus berulang, mereka juga tetap menerimanya sebagai sebuah tradisi kebiasaan. Seakan tak peduli bahwa mereka menggadaikan suaranya untuk lima tahun ke depan dengan sejumlah uang, sepaket sembako dan bantuan instan lainnya. Masa depan mereka gantungkan setinggi langit pada para calon pemimpin tanpa memahami kriteria hakiki pemimpin. Saat pemimpin ingkar janji mereka melancarkan protes keras, tanpa merenungi proses yang sudah mereka lakukan sebelumnya. Jadi siapa sesungguhnya yang patut disalahkan? Semua salah. Ya pemimpin ya rakyat. Untuk itu mari kita belajar bersama akan politik Islam. Politik yang hanya menyandarkan pada Qur’an-Sunnah, iIjma sahabat dan Qiyas. Rakyat akan paham kriteria seperti apa pemimpin yang mesti dipilih. Sistem politik yang rusak dan benar dengan ukuran strandar yang benar pula. Renungkan wahai diri. Wallahu’alam bi Showab.

PENGIRIM: Dwi Agustina Djati, Semarang

Area lampiran

Komentar