Provokator Sesungguhnya di Balik Kerusuhan Papua

Provokator Sesungguhnya di Balik Kerusuhan Papua
Ilustrasi.

Bagai bola panas liar yang senantiasa menggelinding dan dapat menghabisi siapapun yang berada di sekelilingnya. Isu terkait Papua merdeka telah sampai pada babak baru dimana kini muncul narasi berupa adanya pihak-pihak yang dituduh menjadi dalang provokasi di baliknya.

Sebagaimana dilaporkan dalam laman tribunnews.com (6/9/2019) bahwa beredar kabar adanya kelompok jaringan teroris ISIS di Papua yang sempat merencanakan aksi pengemboman di Polres Manokwari.

Menurut Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo, kelompok jaringan teroris ISIS tersebut sebelum melakukan aksinya di Papua, telah dicegah oleh Densus 88 Antiteror.

“Satu yang sudah dilakukan upaya penegakan hukum oleh Densus 88, (kelompok teroris itu) berupaya melakukan pengeboman di Polres Manokwari,” ujar Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jumat (6/9/2019).

Sementara itu terdapat tersangka baru lain dalam kasus provokasi massa di Papua, yakni Veronica Koman. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Polda Jawa Timur.

Selain dua pihak di atas, Menteri Pertahanan Riyamizard Ryacudu justru mengungkapkan bahwa ada empat kelompok yang terindikasi berada di balik pemberontakan dan kerusuhan di Papua. Yakni Kelompok Klandestin -satu kelompok rahasia, kelompok yang ditunggangi ISIS, kelompok pemberontak bersenjata, dan kelompok pemberontak politik. (tribunnews.com, 6/9/2019).

Dari semua pihak yang disebut sebagai dalang provokasi di balik kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Papua, lantas apakah negara telah mampu untuk menumpas dan menangkap mereka? Apakah kondisi Papua menjadi aman terkendali serta tidak menumbuhkan bibit kerusuhan lain di sana?

Jauh panggang dari api, fakta yang terjadi hingga detik ini gelombang kerusuhan sebagai ungkapan ketidakpuasan sebagian masyarakat Papua tetap berada di bawah pengurusan NKRI makin menjadi. Hal ini memperlihatkan betapa negara telah gagal dalam menemukan akar permasalahan yang sesungguhnya terjadi di bumi yang berada di wilayah paling timur bumi pertiwi itu. Hal ini menjadikan solusi yang diupayakan senantiasa menemukan jalan buntu dan tidak sampai pada satu titik penyelesaian yang tuntas.

Jika semua pihak mau jujur menganalisa, bahwa apa yang tengah terjadi merupakan akumulasi dari perasaan ketidakadilan dari masyarakat Papua. Mereka melihat bahwa bumi yang mereka tinggali demikian kaya, namun yang terjadi mereka sendiri senantiasa ada dalam kemiskinan dan ketidakadilan.

Kekayaan hasil bumi mereka disesap oleh korporasi-korporasi asing. Ironisnya hal ini terjadi dengan persetujuan pemerintah pusat. Melalui payung hukum liberal yang menjadi legalitas busuk mereka. Bumi mereka pun semakin tidak aman ditinggali.

Berbagai buangan dari aktivitas korporasi-korporasi asing tersebut telah mencemari tanah mereka. Menjadikan anak dan keluarga mereka sakit dan terhimpit. Tanpa tahu kepada siapa mereka harus mengadukan nasibnya.

Lebih jauh bahwa kebijakan pemerintah senantiasa ada pada posisi memihak para kapitalis. Pemerintahan yang semestinya menjadi pembela, pelindung dan pengurus rakyat lebih memilih takzim pada kepentingan korporasi (asing).

Kedua pihak ini saling berkolaborasi dengan simbiosis mutualisme. Satu pihak menginginkan posisi yang aman di tampuk kekuasaan sementara pihak lain membutuhkan payung hukum dalam mengamankan posisi legal untuk dapat sepuasnya mengeruk harta bumi Papua hingga habis tak bersisa sedikit pun.

Di saat bersamaan, muncul pula kelompok liberal di dalam negeri yang mendapat backing dari pihak asing. Mereka hendak mempertahankan Papua tetap dalam kondisi rusuh. Jika perlu opsi disintegrasi pun mereka tawarkan. Hal ini untuk mempermudah mereka dalam mengontrol kondisi tanah Papua dan mangamankan keberadaan mereka di sana.

Kondisi yang demikian miris dan menyesakkan itu terjadi sebagai buah dari penerapan sistem kapitalis demokrasi liberal yang dianut oleh negeri ini. Pengaturan ekonomi liberal yang diterapkan telah terbukti gagal dalam memberikan keadilan yang manusiawi pada setiap lapisan rakyat yang berada di bawah pengurusannya.

Sangat berbeda dengan sistem pemerintah Islam dalam mengurusi hal-ihwal permasalahan di tengah masyarakat. Islam dengan syariatnya yang sempurna telah terbukti mampu mengatur bagaimana kewajiban seorang pemimpin  dalam memberikan riayah sebagai bentuk pengurusan bagi semua lapisan masyarakat.

Tanpa membeda-bedakan suku, status sosial, bahkan keyakinan. Dengan spirit takwa yang senantiasa dibalut dengan keyakinan dan rasa takut akan pertanggungjawaban di akhirat kelak. Pada saat ia zalim dan abai akan hak rakyatnya, telah menjadikan para pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam senantiasa mempersembahkan kinerja terbaik.

Islam pun memandang bahwa perpecahan dalam bentuk disintegrasi itu adalah perkara buruk yang wajib dihindari. Persatuan yang direkatkan berdasarkan ikatan akidah Islam yang shahih akan menjamin terciptanya persatuan hakiki yang terbukti selama hampir 14 abad lamanya mampu mempersatukan dan mengurus setiap bangsa yang ada di bawah naungannya dalam kondisi yang sejahtera dan berkeadilan.

Sistem pemerintahan Islam tersebut adalah Daulah Khilafah Islam yang mengikuti manhaj kenabian. Satu sistem pemerintahan yang bukan hanya akan mampu menyelesaikan permasalahan kerusuhan dan bibit disintegrasi yang ada di Papua. Melainkan menyatukan seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia. Dalam naungan indah syariat yang datang dari Zat Yang Maha Mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan bagi setiap makhluk.

Maka dari sini, sampailah kita pada kesimpulan bahwa akar permasalahannya bukanlah pada siapa yang menjadi dalang provokasi di balik setiap kerusuhan yang terjadi di Papua. Tetapi karena adanya akumulasi dari tiga akar permasalahan yang telah diurai di atas. Dan solusi mengakarnya tidak lain adalah  dengan segera mengganti sistem busuk kapitalisme demokrasi liberal menjadi Daulah Khilafah Islam. Wallahu a’lam bishshawab.

YULIYATI SAMBAS