Rasisme Akar Masalah di Wamena

Rasisme Akar Masalah di Wamena
Ilustrasi.

Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letkol Candra Dianto, mengatakan masyarakat pendatang dan penduduk asli Papua perlu waktu dalam mengatasi trauma menyusul kerusuhan yang terjadi Senin (23/9/19) di tengah gelombang eksodus berjumlah sekitar 400 orang dan pengungsi lebih dari 5000 orang (Kompas.com, 23/9/19).

Sementara itu ada 5 perkantoran yang terbakar, 80 mobil, 30 motor dan 150 ruko. Hingga Selasa (24/9/19) malam, total 28 jenazah yang telah ditemukan dan 70 orang yang luka-luka (PWMU.Co, 28/9/19)

Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof M. Din Syamsuddin, menyampaikan keprihatinannya atas jatuhnya korban jiwa dan luka-luka di kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.

Menurut Din Syamsuddin, kejadian tersebut tidak terlepas dari peristiwa di Papua beberapa waktu sebelumnya, berupa aksi unjuk rasa di Sorong, Manokwari, jayapura, dan tempat-tempat lain seperti di Ibu Kota Jakarta yang memprotes ketidakadilan dan bahkan menuntut kemerdekaan.

“Seyogyanya gerakan protes itu sudah bisa diatasi dan diantisipasi dan terutama faktor pemicunya di Surabaya berupa penghinaan terhadap orang Papua sudah harus ditindak tegas. Tapi, kita menyesalkan respon aparat keamanan dan penegak hukum sangat lamban dan tidak adil,” kata Din (PWMU.Co, 28/9/19).

Kalau hal demikian berlanjut, sambungnya maka akan dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. “Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

Penyebab kerusuhan di Wamena, Papua, berawal dari kabar hoaks. Kerusuhan terjadi setelah aksi unjuk rasa yang dilakukan para siswa. “Boleh dikatakan sebaran berita hoaks tersebutlah yang memicu kejadian-kejadian yang ada di sana. Saat ini sedang ditangani.” ungkap Dedi Prasetyo, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas polri (Kompas.com, 23/9/19).

Kabar hoaks yang dimaksud yakni adanya seorang guru melontarkan perkataan bernada rasis terhadap siswanya.

Demikian juga menurut Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM (2012-2017), masalah utama di Papua itu sesungguhnya masalah rasisme. “Ketika Anda menyentuh soal rasisme, itu pasti orang sedang membicarakan tidak cocok hidup bersama.

Karena rasisme itu sendiri artinya separatis. Anda rasis, Anda bilang orang Papua itui monyet, berarti Anda sedang melakukan upaya separatisme juga. Karena itu secara otomatis Anda meminta mereka pisah,” demikian ungkap Pigai (Media Umat, edisi 249).

Jadi, solusinya orang-orang yang melakukan tindakan rasisme, aparat-aparat, pemimpin-pemimpin atau pun aktor-aktor pelaku rasisme itu harus diproses hukum secara terbuka.

Sayangnya, menegakkan hukum di negara ini ibarat menegakkan benang basah. Apalagi jika menyangkut para aparat dan pejabat, sehingga persoalannya terus menumpuk, kerusuhan di mana-mana, menimbulkan kerugian materi dan non materi, banyak memakan korban. Apa salah para korban? Korban dibantai hanya karena mereka warga pendatang.

Masalah yang terjadi di Wamena sebenarnya menjadi potret kegagalan pemerintah mengatasi masalah laten Papua. Konflik kepentingan sebenarnya sudah terjadi sejak penandatanganan Perjanjian New York, 15 agustus 1962 yang menetapkan penyerahan Papua Barat dari Belanda ke Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak pernah mampu mengusir cengkraman kekuatan asing di bumi Cendrawasih.

Berbeda dengan negara Khilafah, yang sukses menyatukan 2/3 dunia dengan meleburkan semua ras manusia dalam wadah yang sama. Hal itu terjadi karena Khilafah menerapkan syariah Islam yaitu hukum buatan Allah Swt, Sang Pencipta manusia.

Manusia memang tidak bisa memilih mereka akan dilahirkan dari orang tua seperti apa? Dari suku mana? Muslim atau bukan? Apakah dari golongan kaya atau miskin? Bangsawan atau budak? Namun dalam perjalanan hidupnya, mereka pasti bisa memilih apakah akan menjadikan Islam sebagai cara hidupnya atau yang lain. Agama Islam adalah satu-satunya yang bisa mengubah dengan penuh kesadaran. Itulah yang bisa meleburkan.

Selain oleh satu agama yang sama, mereka juga lalu dipersatukan oleh bahasa yang sama, yaitu bahasa Arab. Bahasa Arab kemudian menjadi bahasa Dunia Islam, bahkan hingga saat ini. Dari Maroko sampai Irak, dengan suku dan negara yang beraneka ragam, sampai saat ini masih bisa saling mengerti karena berbicara dengan bahasa yang sama.

Namun Islam juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih. Jika menghendaki Islam, mereka dapat memeluknya. Jika tidak, mereka dapat tetap dalam agamanya dan cukup tunduk pada hukum-hukum Islam yang mengatur kehidupan publik.

Semua itu agar tercapai keharmonisan dalam aktivitas manusia dengan peraturan yang memberikan solusi atas persoalan hidup mereka, juga untuk menumbuhkan perasaan pada warga non muslim bahwa kedudukan mereka adalah sama dengan kaum muslim.

Islam mengharuskan agar memandang orang yang hidup di negara Khilafah dengan pandangan kemanusiaan, bukan pandangan sektarian, kelompok atau mazhab. Karena itu penerapan hukum-hukum  Islam terhadap seluruh komponen masyarakat harus sama.

Tidak membedakan antara muslim dan non muslim. Allah Swt berfirman dalam QS al-Maidah ayat 8: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa pun yang kamu kerjakan.”

Wallahu a’lam bish shawab

OOY SUMINI