Forum Jurnalis Butur Desak Kapolda Sultra Usut Anggotanya yang Intimidasi Jurnalis di Kendari


Forum Jurnalis Buton Utara (Butur) mengecam tindakan penegak hukum dalam hal ini kepolisian yang melakukan kekerasan dan intimidasi atau pun persekusi terhadap sejumlah wartawan saat melakukan peliputan aksi demonstrasi di Mapolda Sultra, Selasa 22 Oktober 2019.

Ketua Forum Jurnali Butur, Darso dalam press releasenya, Kamis 24 Oktober 2019 mengatakan, semua wartawan di Indonesia dilindungi Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Maka dari itu, setiap wartawan di Indonesia wajib dilindungi.

“Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, dalam hal ini peliputan, wartawan tidak bisa dihalang-halangi, dibatasi, melarang hingga diintimidasi untuk melakukan tugas sebagai wartawan. Kita perlu tahu Undang-Undang menjamin untuk pidanakan oknum atau orang yang melakukan pelarangan, pembatasan dan penghalangan akses bagi wartawan, tanpa terkecuali,” katanya.

Olehnya itu, Forum Jurnalis Butur meminta Kapolda Sultra mengusut tuntas, serta memberikan sanksi tegas oknum aparat Kepolisian yang diduga melakukan tindak kekerasan, mengintimidasi sembilan Jurnalis di Kota Kendari, Sultra.

Selain itu, tambah jurnalis Berita Kota Kendari ini, aparat penegak hukum disarankan luangkan waktu untuk membaca Undang-Undang Tentang Pers, agar sedapat mungkin memahami tugas wartawan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik.

“Karena masih banyak anggota Kepolisian yang tidak paham dan tidak tahu tentang peran dan fungsi media (wartawan). Faktanya, kejadian kekerasan terhadap wartawan selalu saja terjadi,” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, sembilan Jurnalis menjadi korban intimidasi dan persekusi aparat kepolisian yakni, Ancha (Sultra TV), Ronald Fajar (Inikatasultra.com), Pandi (Inilahsultra.com), Jumdin (Anoatimes.id), Mukhtaruddin (Inews TV), Muhammad Harianto (LKBN Antara Sultra), Fadli Aksar (Zonasultra.com), Kasman (Berita Kota Kendari) dan Wiwid Abid Abadi (Kendarinesia.id).

Ancha, Jurnalis Sultra TV mengaku baru pertama mendapatkan tindakan intimidasi dari seorang diduga oknum polisi berpakaian preman. Oknum tersebut meminta untuk menghapus rekaman video saat salah satu anggota TNI yang dievakuasi dari lokasi kericuhan.

“Polisi itu sempat menanyakan identitasnyanya, saya pun menjawab dirinya adalah jurnalis sembari memperlihatkan ID Card. Mendengar jawaban itu, polisi memaksa saya untuk menghapus video. Karena merasa terancam, saya kemudian menghapus rekaman video yang ada di handycam,” terang Ancha.

Begitu pula dengan Jurnalis Inilahsultra.com, Pandi. Ia juga mendapatkan tindakan yang sama. Polisi mencoba merebut handphonenya. Beruntung, Pandi bertahan dan handphonenya tidak jadi direbut. Sementara Wiwid Abadi dan Fadli Aksar mendapatkan teror dari aparat kepolisian agar menulis berita dengan hati-hati sembari memukul tameng dengan pentungan.

Sementara itu, Jurnalis Berita Kota Kendari Kasman juga mendapatkan perlakuan yang sama. Kasman dilarang mengambil gambar saat polisi menghajar salah satu massa aksi di samping gerbang keluar Mapolda Sultra. Begitu pula dengan jurnalis Anoatimes.id, Jumdin mendapatkan intimidasi dan pelarangan mengambil gambar pada saat polisi mengamankan sejumlah massa aksi di Bundaran Kantor Gubernur Sultra.

Selain itu, Jurnalis Inews TV Mukhtaruddin mendapatkan intimidasi agar video rekaman polisi yang menyeret salah satu massa aksi untuk dihapus. Karena ada salah satu anggota polisi yang mengenalnya, sehingga video tidak jadi dihapus sedangkan Muhammad Harianto (LKBN Antara Sultra) dan Ronald Fajar (Inikatasultra.com) mendapatkan intimidasi dari aparat saat mengambil gambar aparat yang menyeret salah satu massa aksi di depan gerbang BTN Aztata.

“Polisi sempat mengevakuasi warga yang terpapar gas air mata. Kami berdua sempat mengabadikan peristiwa itu. Namun, di waktu bersamaan polisi mengamankan salah satu massa aksi. Kami mengambil video menggunakan handphone karena mereka mengira yang diseret itu adalah warga yang pingsan terkena gas air mata,” jelasnya Harianto

Lalu, polisi berpakaian sipil mendatangi Harianto dan memaksa agar rekaman video yang diambil segera dihapus. Polisi kemudian merebut handphonenya dan menghapus video yang direkam. Bahkan, oknum polisi itu merekam video wajah Harianto yang dibumbui dengan nada ancaman.

“Awas saya tandai kau” kata Harianto menirukan pernyataan oknum polisi tersebut.

Di tempat yang sama, Ronald Fajar (Inikatasultra.com) mendapatkan intimidasi serupa. Salah satu oknum polisi berpakaian sipil mendatangi dirinya dan mencoba merampas handphone yang digunakan mengambil video.

“Oknum polisi itu memegang tangan saya dengan kuat lalu mengambil handphon saya, karena handphone dalam mode terkunci maka oknum polisi tersebut memaksa saya untuk membuka kuncinya. Karena merasa terancam saya membuka mode kunci, polisi langsung menghapus semua dokumen foto dan video pada saat demonstrasi ricuh,” aku Ronal

Setelah diintimidasi di lokasi demo ricuh, Ronlad mengaku mendapatkan teror lewat via telepon seluler oleh oknum tertentu.
Pertama, oknum itu menanyakan alamat tempat tinggal dan mengatakan ada yang perlu dibicarakan. Setelah itu, Ronald membalas pesan Whatsapp dan menanyakan identitas oknum tersebut.
Bukannya menyebut indentitasnya, oknum tersebut malah mengirimkan foto Ronald sembari menanyakan “ini saudara ya?”

“Orang itu sempat menelpon saya namun tidak diangkat, oknum tersebut kembali mengirim pesan Whatsapp bahwa alamat kost saya dan meminta agar saya menunggu di kostnya. Terhadap teror itu, Ronald mengaku khawatir dan trauma akan keselamatannya. Kini ia telah diungsikan di daerah aman untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.

S Y P