Penistaan agama merupakan tindakan penghinaan, penghujatan atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan satu agama. (Wikipedia.org).
Tindakan penistaan terhadap ajaran agama kini semakin banyak dan masif, para penista agama seolah tidak dianggap bersalah, bahkan lebih cenderung dalam lindungan hukum. Apalagi ketika para pelaku adalah orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan atau sosok yang dikenal juga selebritis.
Kasus penistaan agama yang terjadi terus-menerus, baik berupa penghinaan, pelecehan terhadap Allah, Rasulullah Saw. dan ulama, maupun ajaran Islam berupa syariat termasuk ibadah, menjadi hal yang biasa bagi pelakunya. Tindakan tersebut dilakukannya boleh jadi akibat ketidaktahuan atau adanya unsur kesengajaan karena ada kepentingan tertentu dan kebencian terhadap Islam.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Edy Mulyadi melaporkan Sukmawati Soekarno Putri ke Bareskim Polri atas dugaan penistaan agama.
“Kita laporkan ke Bareskim, berharap supaya aparat hukum menindaklanjuti, menyelidiki sesuai dengan ketentuan yang berlaku.” Ujar Edy di Gedung Bareskim Polri, Jakarta Selatan.
Dalam sebuah acara, Sukmawati membandingkan sang ayah, Soekarno dengan Nabi Muhammad Saw. Menurut Edy, Nabi Muhammad tidak bisa dibandingkan dengan siapapun. Sebab keistimewaan hanya dimiliki para Nabi. Sementara Soekarno hanya manusia biasa. (Kompas.com, Kamis, 21/11/2019).
Para penista agama yang hidup di alam demokrasi seolah tidak mampu tersentuh hukum. Sudah banyak pelaporan kasus penistaan agama berjalan lambat bahkan berhenti di tempat, tak ada kelanjutannya. Hukum tidak tegas bagi para penista, sehingga kasus penistaan terus terulang tanpa ada sanksi yang tegas.
Dalam sistem demokrasi penista agama dibiarkan, sementara kritik -terutama yang ditujukan pada penguasa rezim- kerap dipandang sebagai ujaran kebencian. Bahkan secara hukum segera diproses hingga berujung pada pidana.
Pasal ujaran kebencian pun dijadikan pasal karet sebagai upaya menakut-nakuti atau menjadi alat penjerat hukum bagi siapa saja yang dianggap sebagai musuh rezim yang anti kritik.
Sementara para penista terhadap agama dipandang biasa dan lebih cenderung tanpa tindakan yang pasti.
Begitulah adanya tabiat demokrasi yang menerapkan sistem hukum berlandaskan pada sekularisme yang menjadi pangkal kekisruhan hukum yang terjadi hingga kini. Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari politik dan negara.
Para sekularis memandang bahwa agama itu wilayah privat, urusan antara seseorang dengan Tuhannya. Sehingga hukum agama tidak boleh mengatur kehidupan publik. Karena itu para sekularis akan menentang ketika ada hukum agama yang ditarik ke ranah publik.
Hukum demokrasi sekular memiliki problem yang besar. Hukum dibuat secada kolektif oleh anggota parlemen, sementara setiap anggota parlemen pasti membawa latar belakang pemikiran, budaya, kepentingan, bahkan agama dan ideologi yang berbeda.
Bagaimana bisa keterbatasan akal manusia dengan berbagai macam perbedaan dapat menghasilkan produk hukum yang lengkap, serta membawa kebaikan dan kebahagiaan hakiki bagi masyarakat?
Berbeda halnya dengan Islam, legislasi dalam sistem Islam menghasilkan produk hukum yang lengkap, relevan dengan zaman, menjamin kepastian hukum, membawa kebaikan serta kebahagiaan hakiki bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan beberapa faktor:
Pertama, kejelasan asasnya, yakni akidah Islam. Bagi seorang muslim, akidah adalah pondasi. Akidah menjadi kunci keselamatan dunia dan akhirat. Akidah Islam memberikan keyakinan bahwa manusia, alam semesta, dan kehidupan berasal dari Allah Swt.
Manusia hidup di dunia dalam rangka beribadah pada Allah. Akidah Islam akan melahirkan sistem kehidupan, yakni hukum yang berasal dari Sang Khaliq yang diturunkan dengan kesempurnaan, kebaikan, dan keadilan untuk seluruh umat manusia.
Kedua, kejelasan sumber hukum. Sumber hukum Islam sangat jelas, yakni Alquran dan Assunnah. Sementara dalil syara yang dapat digali berasal dari Alquran Assunnah, ijmak sahabat, dan qiyasusy syar’i. Dengan kejelasan sumber hukumnya, maka akan terhindar dari perselisihan. Karena rujukannya jelas dan baku, yakni wahyu Allah Swt.
Ketiga, kejelasan pengertian kejahatan (jarimah) dan sanksinya. Sistem Islam sejak awal sudah mampu mendeskripsikan perbuatan apa saja yang masuk dalam kategori jarimah, sekaligus menetapkan berbagai jenis snaksinya. Adapun bentuk-bentuk sanksi di dalam Islam:
a. Hudud, yakni sanksi terhadap suatu kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syariah guna mencegah seseorang terjerumus ke dalam tindakan maksiat yang serupa.
b. Jinayat, yaitu penganiayaan atas badan yang mewajibkan adanya qishash, atau sanksi (denda) berupa harta.
C. Ta’zir, inilah hukuman yang disyariatkan atas pelaku maksiat yang tidak ditentukan hudud dan kafaratnya. Ketentuan ta’zir diserahkan kepada khalifah, namun hakim dibenarkan untuk menetapkan ketentuannya berdasarkan ijtihadnya.
D. Mukhalafat, penyelewengan terhadap perintah atau larangan yang dikeluarkan oleh negara. Ketentuan hukumannya diserahkan kepada khalifah atau hakim sebagai wakil khalifah.
Keempat, tidak bisa diintervensi. Keunggulan legislasi dalam sistem hukum Islam yakni siapapun tidak bisa mengintervensi hukum. Karena hukum berasal dari Allah Swt, tidak mungkin seorang pun bisa dan boleh mengotak-atik dan memanipulasi hukumnya.
Kelima, ada jaminan kebaikan untuk manusia. Ini yang tidak berlaku pada sistem sekular dan hanya dimiliki oleh sistem hukum Islam. Bahwa Allah mengutus Rasulullah Saw dengan membawa rahmat bagi semesta,
“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (TQS al-Anbiya: 107).
Dalam pandangan Islam, terkait menghina Rasul hukumnya jelas haram. Pelakunya dinyatakan kafir dan akan dijatuhi hukuman mati. al-Qodhi Iyadh (seorang ulama hadits) menuturkan, telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan seterusnya.
Al-Qodhi Iyadh kembali menegaskan halalnya darah orang yang menghina Nabi Saw, meski sebagian ada yang memvonis pelakunya sebagai orang murtad, kebanyakan ulama menyatakan pelakunya kafir.
Dengan demikian, Rasulullah Saw yang membawa syariah dan hukum secara pasti akan mewujudkan berbagai kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Ini merupakan jaminan dari Allah Swt yang pasti kebenarannya.
Hanya dalam sistem Islam kasus penistaan agama mustahil terulang, karena mereka akan mendapatkan hukuman tegas dan keras. Dan penistanya harus dihukum seberat-beratnya agar bisa menjadi efek jera bagi yang lain.
Dan semua hanya akan terwujud jika syariat diterapkan secara kafah (sempurna) dalam naungan institusi Daulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Walahu a’lam bish-shawab.
INE WULANSARI