Kementerian Tenaga Kerja akhirnya menetapkan acuan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2020 sebesar 8,51%. Besaran acuan kenaikan UMP ini ditetap lewat surat edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri Nomor B-M/308/HI.01.00/X/2019. Penghitungan angka kenaikan 8,51% berdasarkan akumulasi dari tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan produk domestik bruto tahun 2019. Inflasi nasional sampai September 2019 tercatat 3,39% dan pertumbuhan ekonomi nasional 5,12%. Tata cara penghitungan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Dari waktu ke waktu, penetapan standar besaran upah layak di suatu daerah, selalu menjadi perdebatan panjang dan polemik tak berujung. Besaran kenaikan upah yang telah ditetapkan pemerintah tahun ini pun langsung memantik protes, baik buruh maupun pengusaha.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat mengingatkan bahwa UMP musti dirundingkan dengan buruh sebelum ditetapkan. Ia berharap ada perundingan lanjutan untuk menentukan angka kenaikan UMP 2020 sesuai harapan buruh. Berdasar hitungan buruh, mengacu 84 item kebutuhan hidup layak yang diatur UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, kenaikan UMP 2020 minimal 20%.
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta Kamdani menilai, kenaikan upah 8,51% sesuai perkiraan pengusaha karena sesuai dengan PP 78 tahun 2015. Meski begitu, kata dia, kenaikan 8,51% berat karena pengusaha menghadapi kesulitan di tengah pelambatan ekonomi serta daya saing yang masih lemah. Makanya, pengusaha minta perjanjian bilateral dengan para buruh agar mereka tak mengalami kesulitan dalam menaikkan upah di tahun depan.
Menurut pemerintah, penetapan upah ini penting karena menyangkut kemampuan daya beli 55,3 juta pekerja formal di Indonesia. Jika penghasilan buruh tidak naik dengan layak, susah untuk berharap pertumbuhan ekonomi melaju tinggi karena selama ini lebih banyak ditopang dari konsumsi.
Berdasarkan teori ekonomi kapitalis, besaran upah memang dihitung berdasarkan standar hidup layak di suatu daerah. Diharapkan, semua pekerja di sektor formal bisa mencukupi seluruh kebutuhannya dan keluarganya dari penghasilan tersebut. Dengan demikian, mereka menjadi keluarga sejahtera dan tidak menjadi beban pemerintah.
Namun pada faktanya, penetapan upah berdasarkan harga-harga barang kebutuhan pokok dan kemampuan daya beli masyarakat ini selalu memicu konflik antara pekerja dan pengusaha. Hal ini karena upah yang dibayarkan oleh para pengusaha kepada pekerjanya menjadi tidak sebanding dengan barang atau jasa yang dihasilkan.
Penyertaan komponen jaminan kesejahteraan pekerja, yang seharusnya merupakan kewajiban negara, seperti jaminan kesehatan, pendidikan dan perumahan, membuat para pengusaha kewalahan. Ditambah lagi dengan banyaknya pungutan dan iklim usaha yang tidak kondusif. Ujung-ujungnya, kerap terjadi perusahaan menjadi kolaps dan berujung pada PHK.
Sementara menurut kalangan pekerja, upah harus naik signifikan setiap tahun untuk mengimbangi lonjakan harga kebutuhan pokok akibat inflasi. Bila tidak, maka pekerja tidak akan dapat memenuhi kebutuhannya secara layak sehingga merasa terzalimi.
Selain itu, penentuan upah berdasarkan standar hidup minimum ini membuat para pekerja profesional tidak bisa mendapatkan haknya sesuai dengan tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan. Upahnya hanya sekedar bisa dipakai untuk hidup dengan taraf hidup paling sederhana dalam komunitas yang mereka diami.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam.
Dalam Islam, upah adalah suatu hal dan harga adalah hal lain. Salah satu dari keduanya tidak boleh menjadi acuan yang lain. Upah ditentukan berdasarkan kadar manfaat yang diberikan oleh pekerja. Tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan pekerja. Pengusaha tidak dibebani dengan hal-hal yang di luar kesanggupannya supaya dapat maksimal mengembangkan usahanya dan memutar roda perekonomian.
Adapun kesejahteraan pekerja, adalah tanggung jawab negara. Pendidikan dan kesehatan diberikan gratis oleh negara dengan cara memaksimalkan pengelolaan harta kepemilikan umum seperti bahan tambang dan hutan. Negara juga menciptakan lapangan kerja dan modal usaha yang bisa diakses oleh siapa saja yang membutuhkan.
Selain itu, negara juga menciptakan iklim berusaha yang kondusif dengan meniadakan pajak dan pungli serta penggunaan mata uang emas dan perak. Dengan penggunaan mata uang emas dan perak, maka laju inflasi akan terkendali dan harga barang relatif stabil.
Dengan demikian, maka tidak ada pihak yang dirugikan. Baik pekerja maupun pengusaha. Tidak ada lagi yang resah karena penentuan upah tidak sesuai fakta. Maka, sudah saatnya kita campakkan sistem ekonomi kapitalis dan beralih kepada sistem ekonomi Islam dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah.
Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S. Kom
Aktivis Dakwah Muslimah