Oleh : Risnawati (Penulis Jurus Jitu Marketing Dakwah)
Mendikbud Nadiem Makarim meluncurkan program Merdeka Belajar: Kampus Merdeka, yang juga menuai protes dari mahasiswa karena dinilai pro-pasar. Senada dengan Mendikbud, Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta lembaga pendidikan lebih jeli melihat kebutuhan dunia industri agar tidak banyak sarjana yang menganggur. “Saat ini banyak sarjana yang belum terserap jadi tenaga kerja andal. Hal ini akibat tidak jelinya lembaga pendidikan menangkap kebutuhan pasar tenaga kerja,” kata Ma’ruf dalam sambutannya di acara wisuda sarjana strata satu angkatan ke XXIII Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi, di Gedung Serbaguna I, Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Ahad, 26 Januari 2020.
Dilansir dalam tirto.id – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim meluncurkan program Merdeka Belajar: Kampus Merdeka pada Jumat (24/1/2020) kemarin. Namun, nyatanya program ini menuai sejumlah catatan dari mahasiswa dan perguruan tinggi.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Fajar Adi Nugroho ragu jangka waktu dua tahun yang diberikan bagi perguruan tinggi untuk melakukan penyesuaian akan mencukupi. Pasalnya, program ini akan mengubah cukup banyak hal fundamental dalam pendidikan tinggi, salah satunya kurikulum. Selain itu, Fajar menilai mesti ada pengaturan yang jelas bagi perusahaan yang membuka pemagangan bagi mahasiswa nantinya. Ia khawatir, program magang yang dicanangkan justru menjadi alat bagi industri untuk mendapatkan tenaga kerja murah.
“Tanggung jawab penyesuaian ini seharusnya tidak hanya dibebankan pada perguruan tinggi, tetapi juga lembaga non-pendidikan untuk melindungi mahasiswa pada saat melakukan salah satu bentuk pembelajaran sehingga tidak dieksploitasi industri,” kata Fajar lewat keterangan tertulisnya kepada Tirto, Rabu (29/1/2020).
Presiden BEM Universitas Gadjah Mada (UGM) Sulthan Farras menilai kebijakan baru Menteri Nadiem sangat kental dengan pendekatan pasar, yakni mahasiswa ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan industri. Ia memahami pendekatan Nadiem ini untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi fokus utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode keduanya. Namun, sayangnya, Nadiem tidak menyentuh soal ketimpangan kualitas perguruan tinggi. Ketimpangan itu setidaknya terlihat dari kesenjangan skor antarkampus dalam statistik soal rangking kampus nasional. Sebab, ia menyayangkan Nadiem yang sama sekali tidak menyentuh aspek tersebut. Padahal, jika kebijakan ini diterapkan pada kondisi perguruan tinggi yang timpang kualitasnya, maka hasilnya tidak akan maksimal.
“Bagi kami yang lebih penting adalah mempersiapkan pondasi sebaik mungkin, mulai dari mereduksi kesenjangan kualitas antar universitas di Indonesia, dengan mengakselerasi peningkatan kapasitas tenaga pendidik, pembaruan metode pengajaran, dan pembangunan fasilitas pendidikan sebagai penunjang,” kata Sulthan lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto pada Kamis (28/1/2020).
Sekularisasi Pendidikan, Akar Masalah
Program Menteri Nadiem tidak sinkron dengan problem utama pendidikan di Indonesia. Sebab, ia hanya berbicara di tataran teknis semata. Tapi problem utamanya terkait dengan sudut pandang penguasa terhadap tugas melayani pendidikan rakyat. Juga terkait dengan asas kapitalisme yang selama ini mendasari sistem pendidikan Indonesia sehingga kurikulum dan tata kelola sekolahnya jauh dari konsep Islam. Inilah yang menjadikan pendidikan amburadul dan tidak produktif.
Sebelumnya pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya ketikaitu pernah membatalkan seluruhnya UU 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pemberian otonomi nonakademik–termasuk mencari uang sendiri–dinilai tak akan mampu dimaksimalisasi semua kampus. Hal itu dianggap akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan.
MK juga menilai bahwa status kampus sebagai badan hukum akan membuat pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan dari negara. Badan hukum, misalnya, memungkinkan kampus dipailitkan, dan negara tak memikul tanggung jawab sama sekali jika itu terjadi.
Padahal pendidikan adalah tanggung jawab negara, hal ini sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 dan UU Sisdiknas 2003. Sekalipun UUD telah menjamin pendidika akan ditanggung oleh negara, namun tetaplah jika masih dalam sistem kapitalis UUD menjadi tidak berarti jika menghambat kerja para kapitalis dalam melancarkan segala urusannya.
Sejatinya memang pendidikan tinggi di negeri-negeri kaum muslimin hari ini telah dimanipulasi oleh agenda-agenda Barat. Pendidikan tinggi di dunia Islam telah menjadi pintu masuk penjajahan akademis, hegemoni riset, dan propaganda sekuler.
Pendidikan tinggi telah menjadi alat penjajahan untuk tujuan kebijakan Barat asing. Pendidikan tinggi di dunia Islam pasca hilangnya Khilafah, tidak ditujukan untuk menciptakan generasi emas dan peradaban emas. Rezim pemerintah di negeri-negeri kaum muslimin memfasilitasi semua hal itu.
Maka, yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi sesungguhnya adalah mengharap hadirnya negara, bukan justru negara lepas tangan. Namun, apalah daya inilah pil pahit yang harus ditelan oleh rakyat yang berada di negara neo-liberal. Negara ini telah mengkomersilkan semua layanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara.
Jika kita melihat secara jeli program “kampus merdeka” yang diluncurkan tersebut maka kita akan melihat beberapa hal. Pertama, kampus akan diarahkan untuk memiliki tujuan utama untuk bisa mencetak “pekerja” sesuai dengan keinginan industri. Dengan demikian, kampus yang sejatinya sebagai pencetak intelektual berubah menjadi sekedar pencetak tenaga terampil bagi kepentingan korporasi. Tak ada lagi motto pengabdian masyarakat, yang ada justru insan penghamba kapitalis.
Kedua, dengan adanya kemudahan perubahan bentuk perguruan tinggi untuk berstatus badan hukum maka jelas pemerintah akan semakin lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, kampus bisa bekerja sama dengan bermacam-macam lembaga untuk membuka program studi (prodi) baru. Perusahaan multinasional, startup, BUMN, sampai organisasi dunia seperti PBB pun bisa ikut menyusun kurikulum untuk prodi baru tersebut. Keempat, internasionalisasi pendidikan sejatinya akan menjadikan kampus semakin sekuler dan liberal.
Maka patutlah dipertanyakan, benarkah slogan “kampus merdeka” tersebut? Faktanya kampus akan semakin tersandera oleh industri dan korporasi. Orientasi pembangunan Pendidikan tinggi bukanlah untuk menghasilkan intelektual yang menjadi tulang punggung perubahan menuju kemajuan. Mahasiswa dididik hanya untuk menjadi budak kapitalis, bukan menjadi intelektual yang akan menjadi problem solver di tengah masyarakat.
Dari dari program ini seharusnya kita bisa mengambil pelajaran. apakah komersialisasi pendidikan ini yang kita inginkan? Apakah output perguruan tinggi sebagai budak kapitalisme yang kita dambakan? Apakah kita rela jika para sarjana hanya akan dijadikan budak perusahaan yang hanya memikirkan urusan pribadi mereka dan abai terhadap permasalahan umat? Maka sungguh program “kampus merdeka” ini sejatinya bukanlah merdeka, namun justru kampus telah dijajah oleh korporasi. Dijajah dan dituntut agar arah pendidikan sesuai dengan keinginan mereka. Sungguh ironis!
Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan
Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, pendidikan adalah tanggung jawab penuh dari Negara dalam memastikan semua rakyatnya bisa mengenyam pendidikan dengan gratis dan berkualitas. Pendidikan hakiki bertujuan untuk meghasilkan manusia terdidik, bertambah baik bukan sekedar pintar apalagi sekedar bisa bekerja. Manusia cerdas menurut pandangan Islam adalah manusia yang berilmu, sehingga dengan ilmu itu mereka bertambah takut dan bertaqwa pada Allah SWT. Dengan ilmu dan kecerdasannya itu pula ia mempu mengelola bumi ini sesuai degan aturan Allah swt. inilah target konsep pendidikan yang sesungguhnya.
Di tengan berbagai problematika generasi yang semakin menjadi dan megkhawatirrkan ini, masyarakat harus dicerdaskan dengan sistem pendidikan yang shahih (dalam Khilafah). Sehingga kita hanya bisa merealisasikan perubahan yang signifikan dalam pendidikan ketika telah diatur dengan syariah Islam kaffah dalam naungan Khilafah.
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Walhasil, kepemimpinan Khilafah sebagai pelaksana syari’ah Islam secara kaafah, terutama sistem politik dan sistem ekonomi Islam, merupakan kunci kesuksesan dalam memampukan pendidikan tinggi berfungsi mewujudkan tujuan-tujuan vitalnya. Khususnya pada aspek kurikulum yang berlandaskan pada akidah Islam, pembiayaan berbasis baitul mal dengan anggaran mutlak, arah dan perta riset berbasis politik dalam dan luar negeri, dan politik industri berbasis industri berat. Di samping dukungan sejumlah strategi bagi penguasaan tercepat sain teknologi terkini, dengan berbasis pada politik dalam dan luar negeri negara Khilafah.
Di antara fungsi terpenting pendidikan tinggi adalah bertujuan memperkuat kepribadian Islam para Mahasiswa sehingga mereka menjadi para pemimpin, penjaga dan pelayan berbagai persoalan umat. Seperti, memastikan pelaksanaan Islam sebagai way of life, mengoreksi kepemimpinan, mengemban dakwah, dan menghadapi ancaman-ancaman yang membahayakan eksistensi dan persatuan umat. Semua ini benar-benar terjadi selama 1300 tahun, sebagaimana diabadikan oleh tinta emas sejarah. Wallahu a’lam.