Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
(Praktisi Pendidikan Konawe)
Proyek rehabilitasi sekolah tahun 2019 kini menjadi sorotan Inspektorat Konawe. Pasalnya, rehabilitasi 179 bangunan sekolah ini belum rampung. Padahal batas waktu pengerjaannya sudah berakhir. Sebagai instansi yang diberi wewenang menjalankan fungsi pengawasan internal pemerintahan, Inspektorat Konawe mengultimatum kepala sekolah (kepsek) agar proses rehab yang dilakukan sesuai dengan Rancangan Anggaran Biaya atau RAB (Kendaripos.co.id, 23/01/2020).
Pelaksana Tugas (Plt) Inspektur Kabupaten Konawe, Samsul, meminta seluruh kepsek untuk menyelesaikan seluruh kegiatan pembangunan gedung sekolah dengan RAB yang telah ditetapkan. Proyek rehabilitasi sekolah tahun 2019 ini menelan anggaran sebesar Rp62 miliar. Pihaknya menuturkan bahwa silakan jika ada yang mau coba main-main. Misalnya, dengan mengurangi volume pekerjaan. Namun, jika ditemukan hal semacam itu di lapangan, ia tak akan segan memberi sanksi tegas kepada kepala sekolah yang dimaksud.
Fasilitas pendidikan, memang selalu menjadi tema menarik untuk dikulik. Banyak item yang bisa dibahas. Salah satunya terkait rehabilitasi bangunan sekolah yang kerap dirundung masalah. Di Indonesia, daya dukung fasilitas pendidikan masih minim. Padahal, negeri ini mencita-citakan pendidikan yang berkualitas.
Meleset dari Target
Dalam laporan Kilasan Kinerja 2018Kemdikbud disebutkan bahwa dari sekitar 1,7 juta ruang kelas di seluruh Indonesia, sekitar 1,2 juta atau 69 persen di antaranya tergolong rusak. Sebagai rincian; ruang kelas SD 74 persen rusak, ruang kelas SMP 70 persen rusak, ruang kelas SMA 55 persen rusak, ruang kelas SMK 53 persen rusak, dan ruang kelas SLB 64 persen rusak.
Dari kerusakan tersebut, tentunya perlu diadakan rehabilitasi bangunan sekolah. Sayangnya, rencana perbaikan tersebut kebanyakan meleset dari target. Sepanjang tahun 2018, Kemdikbud punya sejumlah target untuk merehabilitasi ruang kelas dan juga merenovasi sekolah yang rusak.
Namun demikian, menurut Kilasan Kinerja 2018Kemdikbud, realisasinya masih jauh dari harapan.
Rehabilitasi ruang kelas SD, misalnya. Dari target sebanyak 6.049, hanya 588 yang berhasil diperbaiki. Sedangkan untuk ruang kelas SMP, dari target rehabilitasi 10.000 hanya 3.815 yang terealisasi. Nasib program renovasi sekolah juga tak jauh beda. Dari target renovasi 50 SD, sepanjang tahun 2018 Kemdikbud hanya merenovasi 2 sekolah saja. Sedangkan untuk renovasi SMA, dari target 591 hanya 100 yang tercapai.
Menurut Kemdikbud, program rehabilitasi dan renovasi ini sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menjamin agar siswa bisa belajar secara optimal, dengan aman dan nyaman. Namun, program pembangunan sarana–prasarana pendidikan ini sangat terkendala oleh kondisi geografis Indonesia dan keterbatasan akses transportasi. Dalam laporannya Kemdikbud menyebutkan bahwa kesulitan akses transportasi dan area pegunungan menjadi kendala pembangunan sarana pendidikan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Seperti di Papua itu, antara distrik satu dan distrik lain, antarkabupaten itu semuanya tidak bisa dijangkau lewat darat.
Mengurai Sebab
Dekadensi sarana dan pra sarana pendidikan tentunya akan menghambat tercapainya SDM yang berkualitas. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, anggaran pendidikan yang besar tidak mampu mengatasi persoalan edukasi yang ada. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional JUSPN Tahun 2003 pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Alokasi anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mengalami kenaikkan dibandingkan 2018 lalu. Total kenaikan anggaran yang telah disetujui presiden Joko Widodo sebesar Rp48,4 riliun.
Alokasi anggaran ini lebih besar dari tahun sebelumnya. Dalam Perpres Nomor 107
Tahun 2017 tentang Rincian APBN 2018 alokasi sektor pendidikan sebesar Rp444,131
triliun. Artinya anggaran sektor pendidikan pada 2019 mengalami kenaikkan
sebesar Rp48,4 triliun.
Pertanyaanya adalah apakah dengan alokasi dana sebesar itu, persoalan dekadensi fasilitas edukasi segera teratasi? Tidak! Nyatanya, masih ada sekolah yang ambruk, proyek renovasi sekolah yang tak sesuai target, tertinggalnya infrastruktur pendidikan di pedesaan, dana pembangunan yang diambil dari dana sosial, siswa yang harus membawa kursi sendiri dari rumah, atau dana BOS yang tidak sesuai peruntukannya.
Terbuka lebarnya keran korupsi dalam proyek pendanaan fasilitas pendidikan, menjadikan alokasi anggaran pendidikan itu tidak lebih dari sekedar pemborosan dana.
Selain itu, mahalnya biaya pendidikan akibat privatisasi dan swastanisasi dalam sektor pendidikan juga merupakan tanda tanya besar. Hal ini membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Privatisasi semakin melemahkan peran negara dalam sektor pelayanan publik. Utang luar negeri sebesar 35-40% dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen.
Pendidikan berkualitas memang tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Tentu saja pemerintahlah yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan bermutu dan murah, bahkan jika perlu digratiskan. Hal ini tentunya tidak lepas dari kebijakan sistem kapitalis yang diterapkan saat ini.
Pengelolaan Infrastruktur Pendidikan
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk menyediakan fasilitas pendidikan terbaik. Islam memandang hubungan pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan amanah. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya” (HR. Bukhari&Muslim).
Oleh karena itu, pengelolaan infrastruktur pendidikan haruslah dijalankan oleh orang yang amanah, tidak bersikap khianat dengan melakukan korupsi. Sehingga, proyek-proyek renovasi pembangunan sarana dan prasarana pendidikan dapat diselesaikan sesuai target, tidak meleset dari rencana awal.
Adapun sarana dan prasarana pendidikan yang sangat menunjang keberhasilan dalam proses pendidikan juga sangat diperhatikan keberadaan dan kualitasnya. Hal tersebut mencakup bangunan gedung sekolah, asrama siswa, perumahan staf pengajar/guru, buku-buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium, ruang seminar-auditorium tempat aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, komputer, dan lain sebagainya. Semua sarana tersebut disediakan dalam jumlah yang memadai, berkualitas baik, dan yang paling penting adalah gratis.
Pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara yang diperoleh dari baitul maal. Sumber baitul maal dari (1) pos kepemilikan negara seperti fa’I, kharaj, ghonimah dan jizyah, (2) pos kepemilikan umum seperti tambang miyak , gas, dan hutan (Zalum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Kejayaan pendidikan pada masa pemerintahan Islam telah ditorehkan dengan tinta emas dalam sejarah. Misalnya Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas pendidikan seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi. Khilafah juga membangun banyak perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat melimpah. Dalam catatan sejarah, pada abad ke-10, di Andalusia saja terdapat 20 perpustakaan umum. Di antaranya yang terkenal adalah Perpustakaan Umum Cordova, Perpustakaan Darul Hikmah Kairo, dan Perpustakaan Umum Tripoli Syam.
Dengan demikian, maka pendidikan bermutu dapat diakses oleh seluruh rakyat. Hal itu memang menjadi hak umat tanpa terkecuali dan menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Tidak mungkin lahir sejarah emas pendidikan dan keilmuan tanpa adanya dukungan sarana dan prasarana yang disediakan oleh negara. Wallahu a’lam bisshawab.