Oleh: NELLY, M.Pd
Demokrasi yang begitu kita agung-agungkan kini tercederai oleh kejadian baru-baru ini yang sontak memicu keresahan dan mengancam retaknya kerukunan antar umat beragama. Dua kejadian diantaranya pengrusakan Mushala di Minahasa Utara dan pelemparan batu oleh sekelompok orang pada Masjid al Amin di Jln Belibis Medan. Menanggapi peristiwa ini seperti yang di lansir pada laman pemberitaan pojoksatu.id Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Tengku Zulkarnain meminta agar pihak kepolisian daerah tersebut cepat tanggap dalam mengusut siapa dalang dalam kasus ini, beliau juga mengatakan jangan sampai lambannya penanganan akan memicu kemarahan dari umat Islam “kami ingatkan bahwa umat Islam itu seperti lebah. Lebah menghasilkan madu, tidak mengambil kecuali yag baik, dan jika hinggap di ranting tidak patah. Tapi jika lebah diganggu, dia akan melawan sampai mati,” tambah beliau. Sementara itu menurut Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Brigjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo kasus Minahasa ini adalah “the real radicalsm“,” ujar Anton kepada redaksi Rmol.id yang menanggapi pernyataan Menteri Agama bahwa perusakan tempat ibadah jika dibanding dengan jumlah tempat ibadah di Indonesia memiliki rasio yang sangat kecil, pernyataan ini menurut Anton Tabah tidak tepat bahkan bisa menimbulkan polemik di tengah masyarakat, harusnya bapak Menag buat pernyataan yang menyejukkan bukan malah menambah panas suasana.
Kasus yang terjadi dalam pengrusakan tempat ibadah ini bukanlah hal yang baru bagi negeri ini, sebenarnya Indonesia punya catatan panjang soal kebebasan mendirikan dan memiliki rumah ibadah, khususnya bagi umat agama minoritas. Imparsial mencatat ada 31 kasus pelanggaran terhadap hak KKB di Indonesia dalam setahun terakhir. Sebanyak 11 di antaranya merupakan perusakan terhadap rumah ibadah. Harus diakui bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan kepercayaan ini belum mampu menciptakan kehidupan rukun, ini terbukti dengan maraknya kasus pengrusakan tempat ibadah. Harusnya sistem demokrasi yang selama ini kita jadikan sistem bernegara mampu mengatasi setiap persoalan yang muncul di tanah air ini, apalagi dalam negara kita sangat di gaungkan toleransi, HAM dan persatuan. Tapi pada kenyataannnya persoalan kerukunan dan intoleransi seakan menjadi peristiwa yang menggoyahkan persatuan dan kedamaian negeri ini.
Jika kita mau menelaah mengapa kasus-kasus serupa sering terjadi, ini karena system demokrasi yang kita anut d negeri ini lebih berkonsentrasi menegakkan pembelaan berlebihan terhadap warga minoritas, kemudian terlihat pada rusaknya sistem dan tata aturan dalam menjamin terwujudnya kehidupan rukun di negeri ini. Ditambah lagi karena pemerintah tidak tegas dalam menegakkan peraturan kehidupan beragama, konstitusi yang sangat lemah, juga karena masyarakat tidak puas hidup dalam sistem yang tidak memberikan keadilan bagi kehidupan beragama. Kasus sengketa pendirian rumah ibadah menjadi bukti yang amat nyata, persoalan berlarut-larut, bahkan terulang di berbagai tempat. Kondisi tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari sistem sekuler yang menjadi poros berjalannya semua peraturan dan tatanan kehidupan bernegara kita. Kondisi ini menjadikan negara bersikap ambigu terhadap berbagai persoalan dan ini justru malah potensial muncul tirani minoritas termasuk dalam sikap beragama, inilah kegagalan system sekuler demokrasi dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama yang hakiki.
Maka sungguh, hubungan antar pemeluk umat beragama membutuhkan sistem pengaturan yang handal dan mampu menciptakan kerukunan. Dalam hal ini negara menjadi penentu apakah kehidupan beragama akan berjalan harmonis atau berantakan bahkan menimbulkan perpecahan. Jika kita menengok sejarah bagaimana dulu Kanjeng Nabi pernah mempraktekan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan hingga bernegara. Islam tidak menafikan keragaman, Islam pun memiliki seperangkat aturan untuk mengatur keragaman tersebut. Melalui RasulNya yang mulia Muhammad, bentuk pengaturan tersebut nampak secara praktis dalam kehidupan kaum muslim di bawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW sebagai kepala negara yang berpusat di Madinah. Islam memiliki sistem yang khas yang tidak dimiliki oleh Ideologi lain. Islam menjadikan aqidah sebagai asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dilakukan oleh kaum muslim, dan dengan asas tersebut dijadikan sebagai standar dalam melakukan perbuatan. Islam pun sangat sempurna dalam mengatur keberagaman dengan menerapkan toleransi ala Islam.
Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi yang sangat indah dan mewarnai sejarah peradaban agung yang pernah ditorehkan oleh umat manusia. Contoh terbaik itu kita bisa lihat bagaimana Rasulullah SAW hingga para Khalifah setelahnya mempraktikannya dalam kehidupan bernegara. Kisah yang paling mahsyur saat penerapan sistem Islam oleh Khufaur Rasyidin salah satunya oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab yang melakukan pembebasan Baitul Maqdis, Palestina. Khalifah Umar menandatangani perjanjian damai dengan Pendeta Sofranius yang merupakan pemimpin umat Nasrani dengan memberikan jaminan kepada warga non-muslim agar tetap bebas memeluk agama dan keyakinan mereka. Umat kristiani tidak dipaksa untuk memeluk Islam dan tidak dihalangi untuk beribadah sesuai keyakinannya, hanya diharuskan membayar jizyah sebagai bentuk ketundukan dan jaminan perlindungan oleh pemerintahan Islam.
Penerapan sistem Islam juga bisa kita lihat bagaimana toleransi yang tunjukkan oleh Islam pada masa Kekhilafahan Utsmani. Ketika penaklukan konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih yang pada saat itu tidak ada satupun tempat ibadah orang nasrani yang di rusak, bahkan penduduk nasrani di kota itu tidak mau pergi meninggalkan kota konstantinopel karena merasa aman, damai hidup dalam pemerintahan Islam kala itu. Kesaksian oleh seorang nasrani orientalis Inggris, T.W. Arnold yang berkata, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors at least for two centuries after their conquest of Greece exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).” Ia pun mencatat bahwa keadilan Khalifah Islam sampai membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khalifah Islam dibanding dipimpin oleh Kaisar Romawi walau sama-sama Kristen. (The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 1).
Fakta sejarah ini adalah bukti nyata bagaimana Islam ketika diterapkan secara sempurna dalam institusi negara akan mampu mengayomi semua warga negara termasuk mereka yang non muslim. Negara pun memberikan kebebasan pada warga nonmuslim untuk makan, minum, pernikahan, dan perceraian sesuai ketentuan agama mereka. Tidak ada paksaan negara kepada mereka untuk masuk kedalam Islam dan mereka juga di berikan kebebasan dalam beribadah sesuai agama mereka. Bahkan umat muslim sendiri dilarang untuk mengganggu umat non muslim yang tinggal dalam kekuasaan Islam.
Demikianlah gambaran sistem negara yang di wariskan oleh kanjeng Nabi dalam membangun toleransi dan mengatur pluralisme yang ada dalam negara Islam, tanpa adanya diskriminasi terhadap minoritas, sistem negara warisan kanjeng Nabi inilah yang semestinya dan wajib untuk kita contoh dan mengikutinya. Sungguh persoalan intoleransi dan kekerasan antar pemeluk agama hanya bisa diselesaikan dengan ditegakkannya sistem Islam dalam wadah negara (daulah) Khilafah Islam. Semoga kita mampu menjadi orang-orang yang terdepan memperjuangkannya. Aamiin
Penulis, Aktifis Dakwah, Pemerhati Masalah Pendidikan, Politik, Sosial Kemasyarakatan