Aurat Diatur dalam Islam untuk Memuliakan Perempuan

Ari Wiwin

Ibu Rumah tangga

Wanita itu diibaratkan seperti perhiasan dunia, dari ujung rambut sampai ujung kaki wanita dilihat dari sisi manapun sangat menarik. Karena itulah setiap langkah kaki seorang perempuan keluar dari rumah, setan selalu mengikutinya. Karena itulah perempuan itu diwajibkan untuk  menutup aurat.

Baru-baru ini yang tengah viral di media sosial adalah unggahan foto aktris Tara Basro yang menampilkan dirinya tanpa busana, menghilang dari dunia maya, Rabu (04/03/2020). Setelah sebelumya sempat diklaim oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berpotensi melanggar pasal kesusilaan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Lewat foto tersebut, ia mengampanyekan body positivity, mengajak orang untuk mencintai tubuhnya dan percaya diri sendiri. Namun ancaman UU ITE Pasal 27 ayat (1) membuatnya menghapus postingan fotonya di Twitter (05/03/2020).

Sungguh ironi, pernyataan Komnas Perempuan Mariana Amiruddin. Dia mengatakan apa yang dilakukan Tara Basro sebagai “membangkitkan kepercayaan diri perempuan” bahkan dia juga mengatakan itu adalah bentuk ekspresi yang perlu kita hargai yaitu tubuh kita sendiri. Menkominfo akhirnya juga menilai unggahan Tara Basro itu sebagai bentuk seni dan tidak melanggar Pasal Kesusilaan dalam ITE (05/03/2020).

Di Sini tidak ada peran negara, negara seakan membiarkan dan tidak membatasi, unggahan foto di media sosial. Pornografi dan pornoaksi dibiarkan merebak di mana-mana, bahkan anak kecil pun bisa melihatnya, di sini dibutuhkan peran negara untuk membatasinya atau menyensornya.

Melihat dari fakta, sebelum Islam datang, bangsa Arab memperlakukan perempuan sebagai manusia yang bernilai rendah. Karena perempuan pada saat itu dianggap sebagai harta benda yang bisa diwariskan. Jika seorang suami meninggal maka walinya berhak terhadap istri tersebut. Wali ini berhak menikahi si istri tanpa mahar atau menikahkannya dengan lelaki lain dan maharnya diambil olehnya. Bayi perempuan dianggap sebagai aib, sehingga orang Arab jahiliah mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir.

Di zaman kapitalis ini keadaannya tidak jauh berbeda dengan jaman jahiliah, keberadaan perempuan berkeliaran di luar rumah, hilir mudik tanpa malu di depan lelaki ajnabi (non mahram), tanpa mengenakan busana yang syar’i, atau memamerkan kemolekan wajahnya dan keindahan tubuhnya, serta semerbak aroma tubuhnya justru menjadi pemandangan yang biasa. Bahkan kemolekan tubuh perempuan bisa menjadi nilai jual yang sangat tinggi, sungguh miris. Ditambah lagi kebodohan yang tersebar di luar kalangan kaum muslimin, dan juga hawa nafsu yang mendominasi, sehingga ajaran Islam dan aturan Islam dianggap aneh, asing dan tidak lumrah. Termasuk keberadaan perempuan sebagai aurat yang harus ditutupi dari pandangan lelaki non mahram, sanggat sulit diterima oleh kebanyakan orang, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri saat itu. Sementara di dalam Islam perempuan itu sangat dimuliakan, hingga aurat perempuan itu wajib ditutupi dan dijaga dengan baik.

Ajaran tentang menutup aurat dengan sempurna kepada para Muslimah sudah ada di dalam Al-Qur’an surat an-Nur ayat 31 (perintah mengenakan kerudung) dan surat al-Ahzab ayat 59 (perintah mengenakan jilbab), serta surah al-Ahzab 33 (tidak boleh tabarruj atau berhias secara berlebihan dalam berpakaian atau bermake-up).

Aisyah r.a, telah menceritakan bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasullalah saw. pun berpaling seraya berkata : “Wahai Asma sesungguhnya perempuan itu jika telah balig tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjukkan telapak tangan dan wajahnya.” (HR Muslim)

Batasan pornografi dan pornoaksi dalam Islam sejatinya sudah jelas, karena setiap perempuan muslim dan sudah balig itu wajib menutup aurat. Karena seluruh tubuh perempuan itu adalah aurat di hadapan laki-laki non mahram kecuali muka dan telapak tangan.

Jadi mengunggah foto setengah telanjang atau bahkan telanjang di akun sosial media termasuk dosa besar dan terkatagori aktivitas menggumbar aurat yang dilarang oleh syariat Islam. Termasuk pornografi dan pornoaksi yang berpotensi merusak akhlak dan moral bangsa. Ini dapat diancam dengan hukuman ta’zir, yang dalam hukum Islam merupakan hak seorang khalifah. Untuk mengatur berat atau ringan hukumannya.

Wallahu a’lam bi shawab .