Atasi Corona dengan Solusi dari Alam, Sudah Tepatkah?

HAMSINA HALIK, A. Md

Angka kasus Covid-19 terus naik. Berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah baik dari pusat maupun daerah tak berhasil membuat virus ini berhenti menyebarkan diri. Masyarakat pun semakin was-was, terutama yang berpenghasilan harian. Tentu saja, bagi mereka hanya ada dua pilihan, keluar mencari nafkah akan mati karena corona dan tinggal di rumah tanpa nafkah akan mati kelaparan. Suatu pilihan yang sangat sulit. Dilema menyerang.

Namun, ditengah serangan wabah ini justru masyarakat disuguhi solusi dari seorang tokoh bangsa yang mungkin sebagian besar orang akan menganggap aneh solusi ini. Terlebih belum ada bukti ilmiah akan kebenarannya. Terang saja, bukannya menenangkan justru semakin menambah kegaduhan masyarakat. Solusi tersebut, sebagaimana pernyataan pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan tentang virus corona yang melemah ketika berada di cuaca panas.

Menurutnya, posisi Indonesia lebih menguntungkan karena memiliki cuaca panas. Kondisi tersebut membuat virus corona semakin lemah namun harus didukung dengan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan mudik. Dan, pernyataan ini dibenarkan oleh kepala BMKG dan pejabat lainnya.

Sebagaimana dilansir dari republika.co.id, “Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan dari kajian sejumlah ahli menyebut terdapat pengaruh cuaca dan iklim terhadap tumbuh kembang virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.”

Karena itu, Rita menyarankan agar masyarakat ketika akan beraktivitas terlebih dahulu melihat cuaca. Apalagi saat ini adalah peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau. (Republika, 4/4/2020)

Pernyataan Luhut diatas mengindikasikan seolah pemerintah menyerahkan nasib rakyatnya kepada kondisi alam. Hal ini lantas mengindikasikan adanya arah kebijakan pemerintah yang ingin berlepas tangan dari tanggung jawab mengurusi rakyatnya. Lebih memilih mengambil kebijakan herd immunity dan mengorbankan nyawa rakyatnya.

Herd immunity atau kekebalan kelompok terbentuk manakala wabah penyakit akibat infeksi virus akan hilang ketika mayoritas populasi kebal, dan individu berisiko terlindungi oleh populasi umum. Dengan begitu virus akan sulit menemukan host atau inang untuk menumpang hidup dan berkembang.

Menurut pakar epidemiologi Universitas Padjajaran (Unpad), Panji Fortuna Hadisoemarto, secara teori, kalau suatu penyakit menular sudah menginfeksi sejumlah tertentu di suatu kelompok masyarakat, otomatis herd immnunity terbentuk. “Dengan asumsi infeksinya akan menimbulkan kekebalan,” jelas Panji kepada Liputan6.com, Minggu (5/4/2020).

Jika ini diterapkan untuk mencegah laju penularan Covid-19 maka 75% penduduk Indonesia akan terinfeksi virus. Dengan catatan tak ada perlakuan seperti karantina wilayah atau PSBB. Sementara jika dihitung dari persentase kematian akibat COVID-19 Dari 8% jadi 1-2%. Yang akhirnya jika dihitung ada sekitar 1-2,5 juta orang akan meninggal. Ini bukanlah jumlah yang kecil.

Apabila herd immunity ini dibiarkan sebagai solusi alamiah oleh penguasa, maka jelaslah bahwa penguasa saat ini ingin berlepas diri dari tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyatnya. Masyarakat didorong untuk berjuang sendiri melawan ganasnya virus ini. Dengan pertimbangan untung rugi, perekonomian merosot, penguasa rela mengorbankan nyawa rakyatnya. Dengan demikian, bisa dikatakan negara gagal menjadi pelindung keselamatan jiwa rakyatnya.

Inilah wajah sistem kapitalisme sekular. Sistem yang hanya mementingkan untung rugi ketimbang nyawa rakyatnya. Sistem yang lebih mementingkan kepentingan segelintir orang yaitu para kapitalis, pemilik modal, sementara rakyat seolah hanyalah pajangan semata. Sistem yang hanya menganggap negara sebagai regulator yang mengatur kepentingan rakyat, namun ketika berbicara untung rugi, pemenuhan materi lebih diutamakan ketimbang pemenuhan kebutuhan rakyat.

Lain halnya dengan Islam. Negara adalah junnah (perisai) bagi rakyatnya. Dan, pemimpin hadir untuk mengurusi dan melindungi rakyatnya. Amanah yang sangat mulia. Amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak. Olehnya itu, pemimpin akan senantiasa hadir ditengah-tengah rakyatnya dan ketika wabah menyerang, negara akan segera mengisolasi daerah yang terserang wabah agar tidak menyebar keluar ke daerah lainnya.

Masyarakat yang berada dalam wilayah karantina ini pun tak perlu khawatir akan kebutuhan pokok mereka, sebab ini adalah kewajiban negara memenuhinya. Bahkan, pemimpin akan berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi nyawa rakyatnya. Satu nyawa rakyatnya saja melayang itu sudah sangat berharga sekali. Maka, seorang pemimpin muslim tak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Segala cara akan diekrahkan untuk meminimalisir dan menyelesaikan wabah.

Hal ini sebagaimana yang tercatat dalam sejarah Islam, ketika Rasulullah SAW dan Umar bin Khattab menangani wabah yang menyerang. Begitu besar perhatian mereka kepada rakyat. Hadir sebagai pelindung rakyat. Begitupun dimasa-masa setelahnya, ketika wabah terjadi tetapi Islam mampu melewatinya dan berhasil menyelesaikannya hanya dengan menerapkan solusi karantina wilayah atau lockdown untuk mencegah penyebaran wabah. Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.

“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)

Dengan demikian, menerapkan solusi alam dengan herd immunity bukanlah solusi yang tepat. Sebab, ini adalah tindakan egois penguasa yang akan mengorbankan nyawa rakyatnya. Inilah akibat ketika hukum yang dijadikan sandaran dalam mengatur kehidupan berasal dari akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Sehingga yang diperoleh hanyalah kerusakan-kerusakan yang datang silih berganti.
Wallahu a’lam

HAMSINA HALIK, A. Md

Hamsina Malik, S. PdHAMSINA MALIK, S. PdHAMSINA HALIK, A. MdHamsina Malik, S. PdHAMSINA MALIK, S. Pd