Corona, Anak dan Tahun Ajaran Baru

Ani Hayati

Pandemi Covid-19 masih menghantui kita dan belum pasti sampai kapan akan berakhir. Tak hanya orang dewasa, virus corona juga menyerang anak-anak. Namun wacana pembukaan sekolah tahun ajaran baru di tengah pandemic Covid-19 akan segera di rilis dan ini merupakan ketergesaan yang berbahaya, jika di paksakan akan akan menjadi pertaruhan besar bagi generasi penerus bangsa di masa depan.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) terus mengkaji langkah pembukaan sekolah pada 13 Juli 2020.
Langkah pembukaan sekolah dikhawatir mengancam kesehatan anak karena penyebaran virus corona (Covid-19) belum menurun. Bahkan kasus Covid-19 pada anak di Indonesia cukup besar dibandingkan negara lain. Retno mengungkapkan, dari data Kementerian Kesehatan terdapat sekira 831 anak yang terinfeksi Covid-19 (data 23 Mei 2020).

Usia anak yang tertular itu berkisar 0-14 tahun. “Penularan virus yang mewabah itu terjadi melalui kontak dari orang tua dan keluarga terdekat,” ujar Retno dalam keterangan resminya, Rabu (27/5/2020).
Lebih lanjut, data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 129 anak meninggal dunia dengan status pasien dalam pengawasan (PDP). Yang menyedihkan, 14 anak meninggal dengan status positif Covid-19. Terdapat 3.400 anak yang dalam perawatan dengan berbagai penyakit. Dari jumlah itu, ada 584 orang terkonfirmasi positif dan 14 orang meninggal dunia. “Anak-anak tertular itu menunjukan bukti bahwa rumor Covid-19 tidak menyerang anak-anak, tidak benar,” imbuh Retno.

Melihat data-data di atas, KPAI meminta Kemendikbud dan Kemenag belajar dari negara lain dalam langkah pembukaan sekolah. “Beberapa negara membuka sekolah setelah kasus positif Covid-19 menurun drastis bahkan sudah nol kasus. Itupun masih ditemukan kasus penularan Covid-19 yang menyerang guru dan siswa. Peristiwa itu terjadi di Finlandia. Padahal mereka tentu mempunyai sistem kesehatan yang baik. Persiapan pembukaan yang matang. Sekolah pun jadi klaster baru,” kata Retno. Begitu juga dengan China.

Pembukaan sekolah dilakukan setelah tidak ada kasus positif Covid-19 selama 10 hari. “Pembukaan disertai penerapan protokol kesehatan yang ketat. Para guru yang mengajar sudah menjalani isolasi dahulu selama 14 hari sebelum sekolah dibuka,” terang Retno.

Retno juga menambahkan, pemerintah juga perlu melibatkan IDAI dan ahli epidemiologi sebelum membuka sekolah pada tahun ajaran baru. Rencana ini perlu dipersiapkan dan dipikirkan secara matang karena menyangkut keselamatan guru, anak-anak, dan pegawai sekolah. “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus super hati-hati dan cermat dalam mengambil keputusan membuka sekolah. Keselamatan anak-anak harus menjadi pertimbangan utama saat pemerintah hendak memgambil kebijakan menyangkut anak,” katanya.

https://nasional.okezone.com
Dari data di atas menjadi perhatian khusus bahwa untuk imunitas tak ada perbedaan signifikan antara anak dan orang dewasa. Meskipun virus disebut rentan terhadap orang usia lanjut, namun bukan berarti kondisi serupa tak terjadi pada anak-anak. Indonesia belum siap dengan kebijakan pembukaaan sekolah baru walaupun harus menyesuaikan prosedur protokol kesehatan, dimana rencana tahun ajaran baru dengan sekolah new normal akan menghadapi kerawanan masalah tersendiri. Dan yang menjadi pertanyaan tentunaya bila anak-anak masuk sekolah saat pandemic, bisakah tertib memakai maskernya sepanjang waktu di sekolah? dan bisakah orang tua menjamin anak-anak akan disiplin mengganti masker tiap empat jam pemakaian atau setiap kotor dan basah? dan kecemasan yang lainnya.

Inilah bentuk kegagalan pemimpin negeri yang menjalankan pemerintahan ala kapitalis yang menafikan aturan Allah swt dalam menjamin keselamatan jiwa rakyat. Bahkan wacana dibukanya kembali sekolah pada Juli mendatang merupakan salah satu skenario pemulihan ekonomi dan nyawa rakyat pun dijadiakn sebagai tumbal, yang kemudian pemerintah merencanakan untuk menyambut new normal life. Sangat memilukan, nasib rakyat ketika dipimpin oleh orang yang tak mampu mengurusi rakyatnya, maka wajar jika kebijakan terlihat inkonsisten, memaksakan, bahkan tidak memberikan solusi yang tepat atas persoalan rakyat.

Sejatinya, sosok pemimpin yang pantas untuk berkuasa mengurusi rakyat adalah orang yang memiliki kapabiltas ri’ayah (mengurusi) sehingga akan fokus memberikan solusi serta pelayanan atas kebutuhan rakyatnya dengan tepat. Jika rakyat sedang dalam kesusahan dalam menghadapi wabah seperti saat ini maka pemimpin akan hadir di garda terdepan yang mengupayakan segala kemampuannya untuk menyelematkan rakyatnya dari wabah, bukan melepas warganya tanpa perlindugan yang tepat dan tidak mencukupi kebutuhan rakyatnya di tengah pandemi.

Oleh karena itu kebijakan yang dikeluarkan pun adalah kebijakan yang menyegerakan penananganan wabah, menghentikan penularan sesuai tuntunan syariat yaitu memberlakuakan kebijakan lockdonw di awal munculnya wabah, menanggung secara penuh keperluan masyarakat terdampak wabah, menjamin pelayanan kesehatan dengan fasilitas dan kualitas terbaik untuk mengobati pasien korban wabah, mendukung berbagai riset penemuan vaksin dan obat-obatan yang mampu menghentikan wabah.

Ilmuan dan peran Negara terus mendukung dan mendanai berbagai upaya pengembanagan penelitian umat muslim, seperti pada masa Khilafah Turki Ustmani menemukan ikhtiar baru dalam mengatasi pandemic yakni vaksinasi. Vaksinasi inilah yang di gunakan Sultan untuk menangani wabah Smallpox atau cacar yang tengah melanda Khilafah Ustmani pada abad ke 19, Sultan memerintahkan pada tahun 1846 menyediakan fasilitas kesehatan untuk vaksinasi terhadap sekuruh anak anak warna muslim dan non muslim, inilah salah satu bentuk pelayanan jaminan kesehatan serta keselamatan nyawa yang diberikan Khalifah kepada rakyatnya. Demikianlah jika penerapan syariat Islam secara kaffah (sempurna) dan ini hanya bisa dilakukan oleh Khilafah. Bukan yang lain. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

ANI HAYATI, S.H.I (UMMU ROZAN)