Sebuah Cerpen Parodi “Mbah Dukun Agama”

Ainul Mizan

Di ruang Balairung telah berkumpul para punggawa kerajaan. Nampak Raja Ngachiro duduk gelisah di singgasananya.
“Punggawa Ndoro Bei, kok Menteri Ar-Raji belum datang?” tanya Raja Ngachiro.
“Tuanku, sebentar lagi Menteri Ar-Raji akan datang”, jawab Ndoro Bei meyakinkan Raja Ngachiro.

Sejurus kemudian, terdengar komando istana memberikan woro – woro.
“Perhatian… Menteri Ar Raji telah datang….”.

Iklan KPU Sultra

Dengan dikawal dua centeng, Menteri Ar Raji bergegas memasuki ruang Balairung. Setelah memberi hormat, Menteri Ar Raji menempati kursi yang langsung berhadapan dengan Raja. Memang, hari ini agenda khusus kerajaan adalah mendengarkan keterangan dari Menteri Ar Raji mengenai progres penanganan radikalisme.
“Maaf tuanku, saya terlambat datang. Barusan ada konferensi pers tentang langkah kami dalam menangani radikalisme”.
“Ok, sekarang silahkan disampaikan progresnya!”, perintah Raja Ngachiro.

Segera Menteri Ar-Raji mengeluarkan laptopnya. Menteri Ar Raji meminta bantuan centeng mengambilkan meja dan LCD istana. Tidak butuh waktu lama, tayangan materi Menteri Ar Raji sudah bisa dilihat oleh seluruh yang hadir.

“Kami sudah rampung melakukan revisi terhadap sekitar 155 buku agama. Kami mengganti konten di dalamnya, yang menurut kami itu berpotensi menghasilkan radikalisme”, ungkap Menteri Ar-Raji dengan mantap.
Seluruh yang hadir merasa kagum dengan si menteri. Progres keberaniannya menyala – nyala.

“Beberapa konten yang kami revisi terkait dengan Khilafah dan Jihad. Banyak masukan dari sosmed. Termasuk dari tweetnya Desi yang mengatakan anak santri kalo bawa bendera tauhid itu menjadi calon teroris”, panjang lebar menteri menjelaskan.
Raja Ngachiro mengangguk – anggukkan kepala. Entah, Raja ngerti atau kagak.

“Mendengar penjelasanmu, aku malah pusing. Wes to the point aja lah. Apa udah tersebar seantero kerajaan program kamu itu?”, Raja Ngachiro berkata sambil pegang jenggotnya yang sudah kena erosi.
Wajarlah Raja harus memberi contoh. Bila jenggot diidentifikasi sebagai tanda teroris, maka Raja dan pejabat kerajaan harus motong jenggotnya. Kemarin habis diperingati sebagai hari tanpa jenggot.

“Jangan kuatir, Tuanku. Media sudah memuat berita tentang program kami. Contohnya, www.cnnindonesia.com tertanggal 2 Juli 2020”, Menteri Ar – Raji menjawab dengan mantapnya.
“Ramalan saya. 155 buku agama yang sudah revisi akan diberlakukan mulai Tahun Ajaran 2020/2021. Para siswa nanti akan menjadi muslim yang moderat. Nggak neko – neko. Hidupnya itu sing penting, sholat 5 waktu, zakat, puasa dan haji. Bisa kerja. Kagak ikut ngrecoki kerajaan. Apalagi Tuanku mencanangkan Gerakan Investasi Asing besar – besaran di kerajaan kita”, penjelasan Menteri Ar-Raji mampu memukau yang hadir. Akan tetapi beda sama Raja Ngachiro. Ia malah memegang jidatnya. Pusing katanya. Penasehatnya yaitu Opung dengan sigap memberi balsem anti ruwet.

Raja Ngachiro sambil bersandar di kursi singgasananya, mengeluarkan sepucuk surat.
“Aku akan membacakan untuk kalian semua sebuah surat keputusan. Mulai hari ini, aku menobatkan Menteri Ar-Raji sebagai “Mbah Dukun Agama” di kerajaan ini”.

Mendengar itu, Menteri Ar -Raji tersenyum penuh kemenangan. Semua yang hadir segera berdiri. Mereka menghampiri Menteri Ar – Raji. Mereka mengucapkan selamat.

Sehabis pertemua bersejarah di Balairung tersebut, Menteri Ar – Raji bergerak cepat. Dari cetak kartu nama hingga pesan baliho dan spanduk. Tentu saja untuk profesi barunya sebagai Mbah Dukun. Ia mulai membuka praktek penyuluhan.

Terpampang baliho besar di depan rumahnya bertuliskan “Mbah Dukun Agama, Ki Ar – Raji melayani segala keluhan anda tentang radikalisme. Dijamin 100 persen manjur”.

Sedangkan di kartu namanya yang disebarkan kepada warga kerajaan, ia juga menjual berbagai macam obat dan jamu anti radikalisme. Ada obat pusing, galau akibat radikalisme. Obatnya hanya tersedia di toko yang mencantumkan foto dirinya. Lebay amat sih… Jangan salah akang – akang semua. Kerajaan Ngachiro ini memang didirikan di tengah malam. Maka butuh sekali banyak pencitraan untuk mengenalkannya kepada warganya, apalagi seluruh penghuni bumi. Jadi ilmu nge-lebay mutlak dipelajari dengan baik.

Dalam waktu yang relatif singkat, praktek Mbah Dukun Ar – Raji menjadi terkenal. Bahkan Paman Sam dan keponakannya memujinya. Ya, walau belum sempat ketemu secara langsung. Minimal lewat mimpi.

“Mbah, gimana ya cara marah yang baik agar orang yang dimarahi tidak tersinggung?”, salah seorang warga mengeluh pada Mbah Dukun Ar – Raji.
“Oh, gampang sekali. Di sini dijual berbagai macam teks marah – marah”, jawab Mbah Dukun.
“Maksudnya Mbah?”, warga tersebut bertanya.
“Kamu akan marah yang terkontrol. Kamu marah sambil baca teks”, jelas Mbah Dukun.
“Oh, seperti Raja Ngachiro di video Youjume itu ya?”, jawab warga itu dengan polosnya.
“Tidak salah lagi. Di sini tersedia teks marah lebay, nyolot, sampai pada teks marah alay pun ada. Harganya murah banget. Cukup dengan gopek dan gocap”, jelas si Dukun panjang kali lebar.
“Saya mau yang teks marah lebay Mbah”.

Warga inipun pulang dengan sumringahnya. Ia membayangkan kalau ia membaca teks marah lebay di depan suaminya yang kepincut aliran Khilafah. Suaminya pasti akan menurut padanya.

Akhirnya tanggal 13 Juli 2020 adalah hari awal Tahun Ajaran baru 2020/2021. Keputusan menteri pendidikan kerajaan tetap BDR (Belajar di Rumah) untuk jenjang SD. SMP dan SMA bisa masuk sekolah offline dengan sistem shift.

Nampak sekali toko – toko buku ramai oleh para orang tua. Wajar mulai tahun ini, buku – buku agama yang wajib dipakai adalah terbitan kerajaan.

Di sebuah kantor sekolah terjadi perdebatan sengit antara seorang guru agama dengan seorang murid.
“Pak, gimana ceritanya ajaran Khilafah itu tidak relevan dengan jaman kita saat ini?” sergah seorang murid kepada gurunya.
“Lho, gimana sih kamu. Emangnya kamu nggak tahu tentang Khilafah-isme? Nak, Khilafah itu sistem bar – bar dan suka perang. Tidak toleran dengan agama lain”, jelas sang guru.
“Hm, lebay amat sih pak guru. Perang itu mesti terjadi pak. AS sampai saat ini juga masih terlibat perang di beberapa negeri timur tengah. Mereka ingin menjajah. Khilafah itu ajaran Islam yang sejatinya membebaskan manusia dari penjajahan dan kedholiman dari satu manusia kepada manusia lainnya. Tidak ada sejarahnya, warga Khilafah itu muslim semua”, sang murid berpanjang kali lebar.

Tenaga administrasi di kantor tersebut ikut manggut- manggut.
“Lha, kenapa kalian manggut manggut. Emang ngerti kalian penjelasan anak ini?” Hardik guru tersebut.
“Kagak”, jawab mereka serempak.
“Terus….?”
“Kami heran aja pak”, sahut para pegawai kantor.
“Heran apa?”, Tanya guru tersebut.
“Heran. Kok ada murid di sini yang lebih pandai dari muridnya”.

Mendengar itu, oknum guru ini menjadi merah mukanya. Kelihatannya ia marah. Ia segera mengeluarkan teks marah dari saku celananya. Beberapa hari yang lalu, ia membeli teks marah versi nyolot.

“Kemarahan saya ini diawali dengan kalimat bahwa dalam setiap tindakan dan perkataan kita harus tetap berbudaya. Bahkan beragama pun begitu. Maka kita harus mensukseskan semboyan Ketuhanan yang Berkebudayaan…dan seterusnya…”, dengan lancar oknum guru ini memarahi murid dan semua pegawai kantor tersebut. Dengan pede-nya ia marah sambil membaca teks.

Karena saking ramainya suasana kantor tersebut, mejadikan para wartawan datang ke sekolah tersebut. Dari berbagai media. Ada Harian Angin Sepoi – Sepoi, Majalah Aneka Duka Lara dan lainnya. Wah, bisa dipastikan video mereka akan viral di tangan insan media. Ya, minimal butuh waktu barang 10 hari untuk merilis video tersebut. Pasti akan jadi booming karena diambil dengan sudut pandang kamera yang pas.

Pakde terus saja menyedot cerutunya. Sesekali ia nyeruput kopi tubruk buatan nenek. Kuperhatikan sejak tadi, kadangkala pakde tersenyum geli. Kadang merengut. Tidak jarang berpikir serius. Aku jadi penasaran kira – kira pakde ini memikirkan apa ya. Aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Pakde, ada apa?”.
Pakde berhenti sejenak. Ia menghela nafas dalam – dalam.
“Andaikan negeri ini seperti yang pakde bayangkan, tentunya tidak akan kalah lucunya akan dagelannya”, pakde berhenti sejenak. Lalu beliau nyeruput kopi lagi.

Suasana pagi yang cerah dan dingin ini menambah asyiknya kebersamaan kami. Kulihat lagi, pakde tersenyum. Kali ini bahkan ketawa renyah. Di tangannya ada koran yang baru saja didapatnya dari tukang loper koran. Pandanganku tertuju pada headline berita koran itu. Mataku tak berkedip. Secara jelas terpampang berita tentang 155 buku agama yang direvisi dan diberlakukan di tahun ajaran 2020/2021. Akhirnya kami berdua pun larut dalam khayal masing – masing. Sekejap kemudian kami pun tertawa geli. Geli dengan khayalan kami sendiri.

Oleh : Ainul Mizan (Penulis tinggal di Malang)