Minim Sense of Crisis, Drama Tak Berujung Manis

Anggun Permatasari

Gonjang-ganjing laju perekonomian negeri membuat pemerintah kewalahan. Hal itu terlihat dari gagapnya para pemangku kebijakan merespon “kejutan-kejutan” permasalahan akibat pandemi. Ketidaksiapan tersebut pada akhirnya mempertontonkan tidak cakapnya para petinggi negeri dalam mengurus negara.

Pada pidato pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja sejumlah bawahannya. Dia meminta para menteri membuat kebijakan luar biasa untuk menangani krisis akibat pandemi covid-19. Bahkan, dia pertaruhkan reputasi politiknya untuk 267 juta rakyat Indonesia,” (Kata Data.co.id., 26/6/2020)

Jokowi juga mengancam akan membubarkan lembaga, melakukan reshuffle kabinet hingga membuat Perppu. Selain itu, dia meminta kerja keras dan kerja cepat. Dia juga menegaskan bahwa payung hukum perlu disiapkan dalam melakukan manajemen krisis. (Detiknews.com., 28/6/2020)

Presiden Jokowi menilai, kondisi negara sejak tiga bulan lalu dan setidaknya tiga bulan ke depan berada dalam suasana krisis. Ia merujuk pada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dibuat beberapa lembaga internasional. Berdasarkan data OECD pertumbuhan ekonomi (dunia) terkontraksi 6% sampai 7,6% minusnya. Sedangkan Bank Dunia memproyeksikan minus 5%. Karenanya, Jokowi meminta para menteri memiliki sense of crisis yang sama dalam menangani kondisi tersebut. (Kata Data.co.id., 26/6/2020)

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa kebijakan stimulus fiskal untuk penanganan covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menghadapi ‘musuh baru’. Permasalahan ini terjadi di level operasional dan proses administrasi. Menurutnya, tantangan tersebut membuat penyerapan belanja stimulus fiskal masih melambat dan belum optimal hingga mendekati akhir Juni 2020. (IDNTimes, 27/6/2020)

Sistem Karut-Marut Kapitalisme Melahirkan Pemimpin Abai

Fakta di atas mencerminkan betapa semrawutnya suasana kerja di antara para menteri. Namun, luapan kekesalan presiden justru sangat menggelitik untuk dibahas. Bukankah para menteri yang menduduki jabatan saat ini adalah orang pilihan presiden? Mereka dianggap memiliki kapabilitas dan mumpuni untuk membantu kepala negara menjalankan pemerintahan.

Tetapi, dengan kinerja yang dianggap kurang cepat oleh presiden mengindikasikan kuatnya cengkraman oligarki dan sistem politik transaksional di negeri ini. Secara tidak langsung kasus tersebut membuka fakta adanya sharing power atau bagi-bagi jatah kekuasaan. Tentunya yang bisa sampai menduduki kursi menteri adalah bagian dari para pendukung rezim.

Alih-alih merekomendasikan kebijakan extraordinary dan membuat payung hukum. Undang-undang yang disahkan disaat pandemi justru memerugikan rakyat dan membuka celah korupsi. Contohnya, Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi coronavirus disease 2019 (covid-19). Pasal 27 dalam UU ini menuai kontroversi karena dinilai memberikan kekebalan hukum bagi pihak tertentu.

Penjelasan Menkeu Sri Mulyani mengenai daya serap dana penanganan covid-19 menegaskan kalau sistem anggaran tidak logis. Yang kita tahu saat ini salah satu indikasi pencapaian kinerja suatu kementrian dinilai dari besarnya penyerapan anggaran. Padahal, jika kita pelajari lebih dalam banyak proyek-proyek dengan nilai fantastis yang tidak urgent. Contohnya adalah wacana ibu kota baru.

Namun, hal itu lumrah terjadi di negara yang mengadopsi sistem ekonomi sekuler kapitalis liberal. Sistem ini tidak mewajibkan penguasa bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan. Kalaupun ada hanya sebatas formalitas. Sistem ini memenangkan siapa saja yang memiliki modal besar dan turut menyokong kelangsungan kekuasaan rezim. Sehingga melahirkan pemimpin berwatak khianat.

Karena hanya mementingkan segelintir kapital, pastinya mereka minim “sense of crisis” dalam menjalankan pemerintahan. Selama para kapital diuntungkan mereka abai terhadap rakyat yang mengalami paceklik sekalipun.

Diharapkan, rakayat harus sadar bahwa yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi dan krisis adalah landasan yang benar dalam pengambilan kebijakan. Selama pijakan negara ini masih dalam koridor kapitalisme, sejatinya tidak akan lahir kebijakan pro rakyat.

Sistem Islam Mewujudkan Pemimpin Amanah

Sejatinya, semakin terbukanya kedok kebobrokan sistem ekonomi sekuler kapitalisme harusnya membuat rakyat dan pemangku kebijakan sadar. Umat harus “move on” pada sistem alternatif yang berasal dari Sang Khalik. Sistem Islam.

Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah manusia yang paling bertanggung jawab memenuhi semua kebutuhan rakyat tanpa terkecuali. Dari Ibnu Umar RA dari Nabi Saw. sesunggguhnya beliau bersabda: sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “…Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya”. (HR. Muslim)

Oleh karena itu, Islam melahirkan pemimpin yang hanya takut kepada Allah Swt. Mereka sadar jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di yaumul hisab. Sehingga kesejahteraan menjadi tolak ukur keberhasilan dari amanah yang diberikan. Pemimpin seperti ini sangat berempati pada rakyat.

Dalam sistem pemerintahan Islam, menteri/wazir/mu’awin diangkat oleh khalifah sesuai kompetensi. Untuk kriteria harus berdasarkan syariat Islam, bukan kecenderungan pemimpin semata. Dalam aturan Islam tidak ada yang namanya partai pendukung atau oposisi. Semua rakyat taat pada khalifah. Tapi apabila khalifah atau para pembantunya melakukan kesalahan, mereka harus membuka diri dan ikhlas menerima kritik atau nasehat dari umat.

Rakyat maupun penguasa bersinergi semata-mata demi melaksanakan perintah Allah Swt. Sehingga tercipta kepercayaan di tubuh umat terhadap pemimpin. Suasana yang diliputi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. membuat baik rakyat maupun penguasa tidak akan berbuat seenaknya dan saling melengkapi. Wallahualam.

Oleh: Anggun Permatasari