Menegaskan Kembali Jati Diri TNI

Ainul Mizan

Panglima TNI menegaskan adanya ancaman radikalisme di tengah pandemi. Melalui berbagai cara mereka bergerak mempengaruhi opini publik. Salah satunya melalui media internet atau sosial media. Hal demikian disampaikannya saat pelantikan 208 perwira karir di Markas TNI Cilangkap, Jaktim (Kompas TV, 17 Juli 2020).

Menurutnya narasi – narasi yang dibangun kaum radikal terkait penanganan Covid-19 oleh pemerintah. Pandemi ini sebuah konspirasi, rapid dan swab test lebih menguntungkan rumah sakit, menjadi contoh narasi tersebut, imbuhnya. Oleh karena itu, panglima menghimbau agar memperkuat kesadaran anggota, keluarga dan masyarakat dalam menangkal hoaks atau radikalisme yang bisa memecah belah bangsa yang berBhinneka tunggal Ika.

Iklan KPU Sultra

Mencermati pernyataan Panglima TNI tersebut, ada satu hal yang seharusnya menjadi pemahaman bersama bahwa TNI itu lahir dari rakyat. TNI dibentuk dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat). TKR sendiri dibentuk pada 5 Oktober 1945. Sedangkan BKR (Badan Keamanan Rakyat) menjadi cikal bakalnya TKR.

Tentunya TNI yang lahir dari rakyat semestinya sejalan dengan aspirasi rakyat. Dulu di masa penjajahan fisik, para pejuang melawan penjajah Belanda termasuk Inggris, dan Jepang. Mereka menyadari akan penderitaan rakyat. Mereka tahu persis keinginan rakyat yang ingin lepas dari penjajahan. Mereka tidak pernah mengkhianati rakyat. Para pejuang itu sejatinya rakyat yang bangkit melawan. Dari merekalah yang nantinya jadi cikal bakal tentara Indonesia.

Demikianlah seharusnya TNI saat ini bersikap. Di era penjajahan gaya baru ini, TNI harus bersatu dengan rakyat, khususnya umat Islam. Indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam, tentu saja motor penggerak bangsa terletak di tangan umat Islam.

Penulis yakin bahwa Panglima TNI memahami bahwa Indonesia saat ini masih dalam cengkeraman penjajahan. Di bidang politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, peradilan dan pertahanan berasaskan ideologi Kapitalisme – sekuler. Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara jauh dari nilai – nilai Islam. Halal haram tidak diperhatikan. Para penyelenggara negara dikendalikan oleh para kapital raksasa. Kekayaan alam diserahkan pada swasta dan asing. Kemiskinan meningkat. Gap antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Kemakmuran dan kesejahteraan sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 jauh panggang dari api.

Begitu pula terkait aksi MUI dan umat dalam menolak RUU HIP. Panglima TNI mestinya mengambil posisi memback-up aksi tersebut. TNI sebagai satuan pertahanan negara semestinya punya kepekaan politik dan ideologi. Manakah aktifitas politik termasuk ideologi, yang mengancam Indonesia dan mana yang justru menyelamatkan negeri ini.

RUU HIP yang tidak mencantumkan TAP MPRS No.25 Tahun 1966 dalam konsiderannya, malah di dalamnya ada pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila, sesungguhnya menjadi indikasi bangkitnya PKI di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pengakuan Sekjend PDIP, Hasto Kristiyanto. Ia menegaskan bila Komunisme dan Marxisme dilarang, maka ajaran Khilafah juga harus dilarang. Narasi yang dibangunnya adalah Khilafahisme harus dilarang.

Selanjutnya exit strategi pun dilakukan. RUU HIP diganti dengan RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila). Dan yang terbaru, RUU HIP diganti RUU BPIP. Dalam hal ini, TNI mesti peka.

TNI secara khusus mempunyai pengalaman dalam menumpas PKI. TNI bersama rakyat bergerak. Daerah – daerah yang menjadi kantong PKI disisir. Ya, hal ini dilakukan karena TNI dan rakyat sadar bahwa bangsa Indonesia itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, tidak ada tempat bagi ajaran Marxisme dan Komunisme yang atheis di Indonesia.

Jadi baik Kapitalisme maupun Komunisme adalah ancaman nyata. Keduanya merupakan ideologi penjajah.

Adapun terkait penanganan pandemi Covid-19 di negeri ini. Menjadi sebuah kewajaran adanya kritik dan masukan dari putra – putra negeri. Dana Covid-19 sekitar Rp 677 trilyun semestinya bisa dipakai dengan baik. Realitasnya rapid dan tes swab masih menjadi barang mahal bagi rakyat. Pengangguran dan kelaparan meningkat. Penderitaan rakyat menjadi lengkap. Di tengah pandemi, iuran BPJS meningkat, terjadi liberalisasi listrik, dan iuran Tapera.

Alangkah bijaksananya, TNI memposisikan dirinya sebagai kekuatan efektif yang mendorong pemerintah guna mengambil ideologi yang bisa menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Islam sebagai keyakinan mayoritas bangsa ini telah memainkan peranan strategis dalam membebaskan negeri ini dari penjajahan. Maka untuk kedua kalinya pula, Islam akan memainkan perannya membebaskan negeri ini dari penjajahan di segala bidang kehidupan.

Oleh karena itu, TNI bisa bercermin dari sikap Sayyiduna Sa’ad bin Muadz ra. Beliau selaku pemuka Suku Khazraj mengambil posisi menjadi penolong dan penopang bagi diterapkannya Islam secara paripurna di Madinah. Allah swt pun melimpahkan kemuliaan yang Agung bagi Sa’ad bin Muadz ra. Walhasil, Panglima TNI, Hadi Cahyanto dengan institusi militernya akan mendapatkan kemuliaan sebagaimana Sa’ad bin Muadz, di saat menjadi Ahlul Quwwah wal Man’ah, penolong dan penopang bagi tegaknya Islam di negeri ini. Alasannya, karena hanya Islam yang mampu membebaskan negeri Islam dari semua bentuk penjajahan. Di samping itu, cita – cita kesejahteraan akan bisa diwujudkan dengan Islam.

Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)