Urgensi Pilkada di Tengah Pandemi

Yeni Marlina, A. Ma (Pemerhati Kebijakan Publik dan Aktivis Muslimah)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Pandemi, entah kapan mulai menunjukan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan dalam waktu terdekat angka capaian korban selalu meningkat. Rakyat harus tetap bersiap, sekalipun kondisi terburuk nyawa taruhannya.

Sementara, wacana pesta Pilkada melengkapi tambahan beban. Karena belum sempat rehat dari pesta duka di tahun lalu. Jangankan meniadakan, sekedar menunda Pilkada saja tidak diberi celah untuk suara rakyat.

Iklan KPU Sultra

Beritasatu.com 13/09/20 memberitakan-Pilkada yang direncanakan digelar 9 Desember 2020 perlu ditunda ke tahun depan guna mencegah bom waktu lonjakan Covid-19. Kewajiban memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan belum bisa dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat, Sabang hingga Merauke. Jika dipaksakan, Pilkada bakal menjadi bom waktu yang melipatgandakan angka positif Covid-19.

Musuh besar bangsa kini adalah pandemi Covid-19 yang sudah terbukti mematikan, sangat cepat penularannya, dan meluluhlantakkan perekonomian. Tidak mungkin ekonomi pulih jika angka positif Covid-19 terus meningkat. Karena itu, faktor pemicu ledakan positif Covid-19, seperti Pilkada, sebaiknya ditunda.

Demikian pandangan yang mengemuka dalam diskusi “Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi Satu Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia” yang diselenggarakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI), Sabtu (12/9/2020). Webinar yang dipandu politisi Maruarar Sirait itu menghadirkan Menko Polhukam Mahfud MD, ekonom Faisal Basri, peneliti Mohammad Qodari, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, dan ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), Iwan Ariawan.

Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodari meminta pemerintah dan DPR merespons serius Pilkada sebagai kluster Covid-19. Jika tetap dilaksanakan, UU Pilkada perlu direvisi. Kegiatan kampanye dengan pengumpulan orang, seperti rapat umum, pentas seni, dan kegiatan olahraga harus ditiadakan.

Banyak pihak meminta penundaan Pilkada Waketum Hanura, termasuk Komnas HAM. Apa tanggapan pemerintah? Melalui Menko Polhukam Mahfud MD, menanggapi permintaan penundaan Pilkada yang telah dijadwalkan 9 Desember 2020, mengatakan penundaan Pilkada hanya bisa dilakukan lewat UU atau Perppu. Untuk UU, waktu sudah tidak memungkinkan, sedangkan untuk pembuatan perppu, belum tentu mendapatkan dukungan DPR.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengajukan perppu kepada pemerintah dan selanjutnya pemerintah meminta dukungan DPR. Jika DPR tidak setuju, penerbitan perppu tidak bermanfaat, karena akan dibatalkan pada masa persidangan berikut.

Kesimpulannya, diputuskan pilkada tetap digelar 9 Desember 2020 dengan dua alasan. Pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas. “Kita tidak mau. Jumlah 270 itu yang besar,” kata Mahfud.

Kedua, jika ditunda karena Covid-19, sampai kapan? Sampai kapan Covid-19 berhenti dan tidak lagi berbahaya? Toh, sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus menanjak.

Artinya Pilkada serentak di 270 daerah, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, dengan sekitar 305.000 titik kumpul akan tetap digelar. Kampanye paslon mulai digelar akhir September ini.

Pertanyaannya, Pilkada diadakan untuk kepentingan siapa?. Aspirasi publik ditolak oleh rezim atas nama logika pesta ala demokrasi. Nalar yang menyesatkan dan mengabaikan pertimbangan keselamatan kesehatan rakyat. Menegaskan bahwa Pilkada menjadi instrumen penting mempertahankan demokrasi.

Pesta Pilkada dalam Sistem Demokrasi

Demokrasi adalah sistem yang lahir dari rahim ideologi Kapitalisme. Manfaat adalah asas yang melandasi setiap kepentingan dan kebijakannya. Dalam ranah kekuasaan dan kepemimpinan demokrasi memiliki model tersendiri untuk memilih para kepala negara dan daerah. Pemilihan berdasarkan suara terbanyak menjadi syarat mutlak dalam sistem demokrasi. Realisasinya mewajibkan secara praktis dengan biaya yang tidak sedikit mulai dari persiapan hingga pengukuhan serah terima jabatan. Bahkan bukan hanya dana saja, nyawa pun bisa menjadi harga tertinggi dalam pesta demokrasi. Belajar dari pengalaman pesta pemilihan kepala negara 2019 lalu hingga 700 nyawa melayang tanpa ada kejelasan hukum yang mengadili. Kericuhan kisruhnya teknis pelaksanaan telah memecah belah antar hubungan di masyarakat. Ada yang salah?, dalam alam demokrasi ini fakta yang biasa. Karena esensinya tidak ada kawan setia dan kebenaran merujuk kepada politik kepentingan.

Pemilihan Kepala Daerah dalam Negara Khilafah

Islam adalah agama yang sempurna memiliki sekumpulan hukum dan aturan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan bernegara. Khalifah sebagai kepala negara memiliki wewenang untuk mengangkat para pemimpin daerah baik seorang wali untuk tingkat provinsi/wilayah ataupun para amil untuk tingkat gubernur/bupati.

Prosesi pengangkatannya bukan melalui jalan pemilihan suara terbanyak oleh rakyat seluruhnya seperti praktik demokrasi. Rasulullah Saw saat menjadi pemimpin Negara Islam di Madinah melakukan pemilihan para wali dan amil secara langsung. Tentu dengan kriteria yang memenuhi kapabilitas untuk seorang pemimpin, diantaranya : kelayakan, kapasitas dan keamanahannya. Sabda beliau :

“Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran,” Seorang Arab baduwi berkata, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?,” Beliau bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah saat-saat kehancuran,” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).

Begitu pula dengan jabatan, tidak diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi apalagi terobsesi dengan jabatan itu. Inilah yang dilakukan Rasul, menolak memilih orang-orang yang meminta jabatan, sebagaimana sabda beliau:

“Demi Allah kami tidak mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan tidak pula seorang pun yang berambisi terhadapnya (HR Muslim dan Ibnu Hibban).

Hal ini dilanjutkan oleh para khalifah setelah Nabi. Pengangkatan termasuk pemberhentian kepala daerah langsung dilakukan oleh khalifah. Bukan dipilih melalui pemilu oleh rakyat ataupun wakil mereka. Dan yang terpenting dalam pengangkatan kepala daerah ini adalah pengaturan dan pemeliharaan berbagai urusan, kepentingan dan kemaslahatan rakyat benar-benar terwujud.

Dengan proses seperti ini maka prosesi pengangkatan kepala daerah cukup sederhana. Tidak perlu dana besar dengan prosesi yang sangat rumit. Apalagi mengabaikan dan merugikan kepentingan rakyat. Demikian juga dalam sistem negara Islam seorang khalifah beserta kepala daerah tidak dibatasi waktu tertentu seperti dalam sistem demokrasi. Mereka akan diangkat dan diberhentikan jika tidak lagi melekat kriteria sebagai syarat-syarat kelayakan pada diri mereka. Sangat logis pengangkatan ini tidak membutuhkan kampanye dan modal besar untuk pemilihan. Sederhananya di contohkan oleh Rasulullah saat menunjuk Mu’dz bin Jabbal sebagai wali di Yaman. Rasulullah Saw meyakinkan diri dengan memastikan Mu’adz adalah orang yang tepat yang akan menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai petunjuk atas perkara masalah yang akan dihadapinya.

Demikianlah perbedaan antara praktik sistem demokrasi di dalam negara demokrasi dengan sistem Islam dalam menyikapi pentingnya pemilihan kepala daerah.

Kesempurnaan Islam tidak bisa ditandingi oleh sistem manapun. Untuk itu sudah saatnya demokrasi dihilangkan dalam mengatur kehidupan kaum muslimin. Demokrasi tidak pernah memberikan ruang bagi rakyat untuk bersuara. Tapi suara ditentukan oleh para korporasi sebagai pemilik modal.

Bisa disaksikan kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi saat ini, akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada. Sekalipun pandemi wabah Corona masih siaga mengintai, Pilkada lebih penting daripada menyelamatkan nyawa rakyat. Memikirkan Pilkada sebagai proyek pesta demokrasi lebih prioritas daripada tanggung jawab kesehatan.

Umat perlu sadar, aroma busuk demokrasi sudah semakin menyengat. Borok Pilkada, membuktikan bahwa kebobrokan itu lahir dari rahim demokrasi.

Pesta digelar bukan untuk kepentingan rakyat, namun kebutuhan segelintir kepentingan para pengendali negeri ini.

Saatnya butuh sistem alternatif, yang memihak kepentingan rakyat. Bahkan memberikan jaminan kesejahteraan dan solusi tuntas setiap masalah. Sistem Khilafah adalah alternatif yang sesuai fitrah, memuaskan akal manusia dan menentramkan jiwa.

Penulis: Yeni Marlina, A. Ma (Pemerhati Kebijakan Publik dan Aktivis Muslimah)
Editor: H5P