Menakar Isu Radikalisme

Fatimah Azaria (Aktivis Muslimah)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Isu radikalisme masih menjadi topik utama bagi bangsa Indonesia. Namun sayangnya, narasi radikalisme tidak jauh dari narasi menyerang Islam. Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mengatakan bahwa paham radikal masuk melalui orang muslim berpenampilan menarik (good looking) dan memiliki kemampuan agama yang baik. Ucapan Menag tersebut menuai hujatan sejumlah pihak. Termasuk MUI. MUI menilai pernyataan Fachrul sangat menyudutkan, menyakiti dan mencederai perasaan umat Islam.

“Pernyataan tersebut justru menunjukkan ketidakpahaman Menag dan data yang tak akurat diterimanya. Seakan yang radikal itu hanya umat Islam dan para hafiz Al-Qur’an. Seharusnya Menag yang berlatar belakang militer lebih mengerti tentang peran umat Islam Indonesia dan menjadikannya sebagai rujukan untuk menciptakan stabilitas nasional, persatuan dan kemajuan di tengah kebhinekatunggalikaan. Seharusnya ia berterima kasih dan membantu semua pihak yang mendorong proses islamisasi di kalangan generasi muda dan gairah umat Islam yang ingin menghafal Al-Qur’an,” kata Wakil Ketua MUI, Muhyiddin Junaidi, kepada wartawan, Jumat (4/9/2020).

Iklan KPU Sultra

Isu dan opini-opini Radikalisme semacam ini pun sudah lama dihembuskan oleh pemerintah ditengah-tengah masyarakat untuk menyudutkan umat Islam. Radikalisme menjadi topik dan pembahasan utama negeri ini, padahal banyak problem bangsa yang lebih penting untuk dibahas dan diselesaikan. Termasuk ekonomi bangsa yang semakin merosot, pasien Covid -19 semakin meninggi, degradasi moral, korupsi yang semakin lumrah dan masalah sosial lainnya. Lantas, kenapa harus topik Radikal yang menjadi prioritas bagi bangsa ini? Para penguasa pun tak segan-segan untuk menakut-nakuti umat Islam untuk sekedar mendalami agamanya sendiri, Islam secara kafah (keseluruhan).

Dalam agenda radikalisme, Menag Fachrul Razi pun mengatakan bahwa pemikiran atau ideologi Khilafah patut diwaspadai, karena akan menjadi bibit-bibit paham radikalisme. Padahal Menteri Agama, Fachrul Razi memahami bahwa paham khilafah tidak dilarang di Indonesia. Sebab, tidak ada aturan hukum tertulis yang jelas melarang sistem pemerintahan Islam tersebut.

“Khilafah itu nggak dilarang, belum ada undang-undang yang melarang Khalifah, dan belum pernah ada Majelis Ulama yang menjelaskan bahwa khilafah itu terlarang.” ujar Fachrul Razi saat Launcing Aplikasi ASN No Radikal dan Webinar Strategi Menangkal Radikalisme Pada ASN pada Rabu (2/9), sebagaimana dilihat FIN dari Chanel YouTube Kementerian PAN-RB.

Tuduhan tentang Khilafah yang dianggap sebagai pemikiran radikal, sesungguhnya hannyalah opini yang tidak masuk akal. Karena sesungguhnya jika kita mau mempelajari apa itu Khilafah, sesungguhnya Khilafah adalah sistem yang sempurna yang diturunkan Allah untuk seluruh makhluknya. Sistem yang mampu menjaga dan melindungi, sistem yang mampu menyejahterakan, sistem yang mampu memberangus kezaliman dan kejahatan. Karena kesempurnaan sistem Khilafah inilah, mereka-mereka yang haus kekuasaan rela melakukan apa saja untuk menghalangi sistem ini bangkit dan tegak kembali.

Ketika masyarakat semakin sadar bahwa Khilafah adalah sistem yang benar, sistem yang akan melindungi dan menyejahterakan rakyat. Maka segala kebusukan dan kebobrokan sistem demokrasi kapitalisme yang melenggangkan kekuasaan mereka akan runtuh. Karena itulah mereka membuat opini-opini buruk tentang Khilafah yang diartikan radikal untuk menghalangi tegaknya sistem Islam ini.

Dalam konteks ini seharusnya umat Islam sebagai ” Khairu Ummah” menyadari Islam sebagai suatu mabda (ideologi). Maka, harus mengembalikan persoalan ini pada sudut pandang Islam. Karena hanya dalam sistem Islam yang shohihlah yang akan melahirkan individu yang amanah. Karena kekuasaan dan jabatan akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah swt.

Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
“Kalian akan berambisi untuk menjadi penguasa sementara hal itu akan membuat kalian menyesal di hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu ( ibarat ) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan. (HR. Bukhari)

Maksud Hadits tersebut, di akhirat nanti apa yang telah ia pimpin akan dihisab, maka sepantasnyalah seorang muslim itu memegang prinsip yang benar dan lurus serta mempunyai sikap waro’.

Hal ini pernah dicontohkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab RA ketika Beliau diangkat menjadi Khalifah. Langsung mengucapkan kalimat istinja. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun karena beratnya amanah ini.

Seharusnya para pemimpin dan pemangku jabatan di negeri ini memahami dengan benar dan saksama agar amanah ini digunakan untuk menegakkan hukum-hukum Allah. Bukan malah menggiring pada narasi radikalisme yang menyerang Islam dan menutupi ketidakbecusan negeri ini dalam menyelesaikan masalah politik, ekonomi dan sosial bangsa. Serta membantu umat untuk menegakkan Daulah Khilafah A’la Minhajin Nubuwah yang akan menjadi solusi bagi negeri ini dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil A’lamin.
Wallahu ‘alam Bishawaab.

Penulis: Fatimah Azaria (Aktivis Muslimah)
Editor: H5P