Menakar Polemik Penanganan Coronavirus

Varida Novita Sari (Aktivis Muslimah)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Virus Corona bak virus abadi yang tak henti memicu sensasi di negeri pertiwi ini. Bagaimana tidak, di negara lain kurva penyebaran virus sudah menghadapi titik puncak gelombang pertama. Kurva penyebaran virus pun terus menurun. Kalau pun muncul gelombang kedua virus corona di negara lain, maka penyebarannya sudah sangat berkurang. Berbeda dengan di Indonesia, virus corona seakan tidak mengenal titik puncak dan tak pernah ada penurunan kurva. Yang terjadi justru kurva penyebaran virus semakin naik dan terus naik.

Bahkan media Amerika Serikat, Reuters pernah menurunkan pemberitaan dengan judul “Gelombang pertama tak berujung: bagaimana Indonesia gagal mengendalikan virus Corona “(Endless first wave: how Indonesia failed to control coronavirus)”, pada Kamis (20/8/2020).

Iklan ARS

Di awal artikel, Indonesia disorot melalui kebijakan-kebijakannya yang dinilai gagal dalam menangani virus Corona. Selain itu, mereka juga menyatakan pada awal pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia lambat menanggapi dan enggan mengungkapkan apa yang diketahui kepada publik.

Lantas, bagaimana menurut epidemiologi Indonesia? Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, tidak sepakat jika Indonesia disebut gagal. Menurutnya Indonesia masih dalam posisi struggle, yakni berjuang, berjibaku atau bergulat terus, jadi masih belum menemukan performa terbaiknya. (Kompas.com, Rabu, 26/8/2020).

Sayangnya, bentuk perjuangan dan cara penanganan melawan virus Corona masih menimbulkan polemik. Seperti yang dilansir media Akurat.co bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melarang pasien Covid-19 di Ibu Kota melakukan isolasi mandiri di rumah. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, pihaknya masih menggodok regulasi larangan isolasi mandiri.

Terkait lokasi isolasi, Riza mengatakan Pemprov DKI sudah menyiapkan opsi, yakni di Gelanggang Olahraga (GOR). Menyusul, kapasitas rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta sudah menipis.

Target pertama Pemprov DKI adalah menyasar pasien corona di kawasan padat penduduk. Mereka harus segera direlokasi ke tempat isolasi milik pemerintah. Sebab, klaster keluarga dan permukiman menjadi salah satu penyumbang pasien corona terbanyak.

Sebelumnya, Anggota DPRD DKI Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak mengecam kebijakan larangan isolasi mandiri. Menurutnya langkah Pemprov DKI gegabah dan hanya menambah beban tenaga medis yang sudah selama enam bulan menjadi garda terdepan melawan Covid-19.

“Mengatakan isolasi mandiri tidak efektif lalu akan mengisolasi penderita Covid-19 di RS adalah tidak tepat. Selain secara ilmiah tidak tepat karena banyak yang OTG (orang tanpa gejala) atau suspek, dan sebagian sakitnya ringan dan tidak butuh perawatan, beban tenaga medis menjadi sangat berat,” kata Gilbert.

Gilbert lantas mengungkit kasus kematian 100 dokter di Indonesia ketika berjuang melawan penyakit menular ini. Jangan sampai peristiwa ini kembali terulang karena beratnya tanggung jawab yang harus diemban.

Rencana pemerintah DKI mengkarantina semua warga positif Covid pun dianggap opsi buruk karena menabrak realita kegagalan pemerintah menyiapkan tenaga medis, anggaran, dan fasilitas kesehatan yang memadai. Padahal secara logis inilah pilihan terbaik yang semestinya diambil sejak awal untuk menghentikan sebaran virus.

Polemik penanganan wabah ini seharusnya tidak terjadi, jika dari awal pemerintah segera menutup wilayah dengan menerapkan metode lockdown. Tapi nyatanya negara malah memberi peluang masuknya turis negara lain, termasuk turis asal Cina yang notabene asal mula virus berkembang. Sehingga wabah Covid semakin menyebar ke seantero negeri.

Sistem kapitalis yang bercokol di negeri ini pun membuka fakta ketidakmampuan negara dalam mengatasi virus Corona. Ketidaktersediaan fasilitas kesehatan dan rumah sakit yang memadai, ditambah buruknya kebijakan yang diambil negara, serta tidak patuhnya masyarakat untuk stay at Home, dan juga kurangnya kesadaran masyarakat mematuhi protokol kesehatan menjadi penyumbang terbesar mengapa Indonesia mengalami gelombang pertama Corona virus tak berujung.

Faktor biaya menjadi faktor utama yang menjadikan negeri pertiwi ini terkendala mendapatkan fasilitas kesehatan memadai dan biaya rumah sakit gratis, serta masyarakat yang nekat mencari nafkah dengan bertarung maut di luar rumah, hingga kebijakan yang diambil negara namun tidak pro dengan rakyat kecil. Inilah dampak dari sistem kapitalis. Semua dinilai dari materi dan asasnya hanya manfaat pribadi. Sehingga mengabaikan hakim umat.

Faktor biaya atau dana seharusnya bukan menjadi masalah bagi Indonesia. Dengan memaksimalkan pendapatan SDA, Indonesia mempunyai pemasukan negara yang sangat tinggi. Namun, hal tersebut tidak terjadi jika sistem kapitalisme mencengkeram negeri dan menjadikan seluruh kepemilikan SDA beralih kepada pemodal, bukan kembali pada rakyat di atas pengelolaan pemerintah.

Demikianlah yang terjadi jika dunia tetap berada pada genggaman kapitalis, mungkin saja wabah ini akan berlanjut sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Saat ini umat kehilangan sosok pemimpin sejati yang menjadikan keselamatan hidup rakyat sebagai prioritas utama. Pemerintah seolah tak berdaya dalam memutus rantai penyebaran virus. Setiap kebijakannya tidak mencapai titik solusi, namun polemik yang tak berujung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan yang akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. Maka, seorang pemimpin di dalam sistem Islam mempunyai sifat dan karakter mulia yang mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat. Wallahualam bi shawab.

Penulis: Varida Novita Sari (Aktivis Muslimah)
Editor: H5P