TEGAS.CO., NUSANTARA – Sudah menjadi keputusan final Pilkada serentak 2020 akan tetap digelar pada 9 Desember mendatang. Kesepakatan ini diaminkan oleh sejumlah petinggi negeri yang berwenang yaitu Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, bersama DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan dan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).
Alasan pemerintah tetap ngotot melaksanakan Pilkada tahun ini adalah demi menjaga hak konstitusi rakyat, yaitu dipilih dan memilih. (CNNIndonesia.com, 21/9/20).
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa, Pilkada akan tetap digelar dengan menerapkan protokol kesehatan dan penerapan hukum yang tegas. (pikiranrakyat.com, 22/09/2020)
Demi pesta rakyat ini pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar 5 triliun untuk membiayai perlengkapan dan persiapan pelaksanaan Pilkada 2020 sesuai protokol kesehatan. (CNNIndonesia.com, 8/9/2020).
Berebut kursi saat pandemi itu tentu akan menimbulkan risiko terutama dalam hal kesehatan. Maka wajar ormas besar seperti PBNU dan Muhammadiyah mengusulkan agar Pilkada ini ditunda. Ketua PBNU Said Aqil Siroj, menilai Pilkada dapat memunculkan potensi kerumunan massa meski memberlakukan protokol kesehatan secara ketat.
Sementara itu Sekretaris Umum Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan agar pemerintah mendengar suara masyarakat. Kerumunan massa saat Pilkada tidak akan mampu dihindari yang berpotensi membentuk kluster baru. (detik.com, 22/9/2020)
Dilansir oleh Beritasatu.com, 14/9/2020, Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodary meminta pemerintah dan DPR merespon serius Pilkada sebagai kluster Covid-19. Qadary mengatakan pilkada akan menjadi ‘superbig spreader’ atau bom atom kasus Covid-19. Karena berdasarkan simulasi yang dilakukan, Pilkada berpotensi akan menimbulkan kerumunan massa di 305.000 titik.
Menanggapi berbagai penolakan tersebut, pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD, mengatakan jika Pilkada hanya bisa ditunda melalui UU atau Perppu. Jika melalui UU maka butuh waktu yang lama. Sedangkan Perppu harus menunggu persetujuan DPR.
Pemerintah juga menganggap penundaan Pilkada sangat tidak menguntungkan bagi daerah. Ada 270 daerah dalam waktu bersamaan kepemimpinannya dilaksanakan oleh pelaksana tugas (Plt). Sementara Plt tidak memiliki wewenang mengambil kebijakan-kebijakan strategis. Alasan lainnya adalah karena tidak ada kejelasan kapan pandemi ini akan berakhir.
Sungguh sangat ironi, nyawa rakyat dijadikan taruhan demi kekuasaan sesaat. Memaksakan Pilkada di tengah pandemi ini selain bertentangan dengan aspirasi rakyat juga menjadi skandal bagi demokrasi karena berpotensi seperti ritual bunuh diri massal yang dipelopori oleh elit politik kata Wijayanto, Director Center for Media and Democracy, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan sosial (LP3ES).
Mengapa pemerintah begitu ngotot tetap menggelar Pilkada padahal kondisi kita sedang darurat perang melawan Covid-19? Lebih dari satu semester masyarakat diminta di rumah saja, melakukan protokol kesehatan dan kebijakan lain. Namun, bukannya menurun kasus Covid-19 semakin meroket.
Data terbaru per 2 Oktober 2020, yang dirilis pemerintah melalui situs Covid19.go.id, adalah 295.499 kasus positif, 221.340 sembuh, dan 10.972 meninggal. Jumlah yang terus naik ini membuat sejumlah rumah sakit rujukan kewalahan. Fasilitas ruang kesehatan tidak memadai. Sehingga dibuatlah kebijakan baru agar mereka yang positif untuk isolasi mandiri, kecuali kondisinya membutuhkan tindakan medis yang serius.
Pandemi telah menimbulkan efek domino pada masyarakat. Beban masyarakat semakin berat. Tanpa pandemi saja rakyat sulit mendapat kesejahteraan, apalagi pandemi. Golongan menengah ke atas saja menjerit karena mengkhawatirkan tabungan mereka semakin menipis akibat berkurangnya pendapatan. Apa kabar rakyat jelata yang jangankan tabungan, untuk makan sehari-hari saja mereka kesulitan?
Daya beli masyarakat menurun. Banyak lapangan usaha tutup sehingga tingkat pengangguran meningkat. Ekonomi terancam resesi.
Pendidikan terganggu. Kegiatan masyarakat terhambat termasuk untuk beribadah. Korban jiwa terus bertambah tidak terkecuali para nakes yang dianggap garda terdepan dalam penanganan Covid.
Kriminalitas meningkat karena kemiskinan juga semakin bertambah. Masyarakat stres hingga mudah tersulut emosi dan melakukan tindakan di luar batas termasuk menghilangkan nyawa.
Ketahanan keluarga terancam karena banyaknya kasus perceraian, juga kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pelecehan seksual hingga perzinaan terus terjadi bahkan tidak memandang usia dan latar belakang. Masih banyak lagi permasalahan negeri ini yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Bukankah dana Pilkada yang tidak sedikit akan lebih bermanfaat jika dialihkan untuk menyubsidi rakyat atau membiayai fasilitas kesehatan?
Pilkada dalam sistem demokrasi hanya menjadi ajang rebutan kekuasaan. Kekuasaan yang menjadi sarana untuk memuluskan kepentingan oknum atau kelompok. Bukan kepentingan rakyat. Suara rakyat hanya dimanfaatkan dan dihargai jelang Pilkada. Setelahnya mereka tuli akan aspirasi rakyat. Mereka buta akan kondisi rakyat. Rakyat ibarat pendorong mobil mogok yang ditinggal dan kecipratan asap kebijakan yang membuat perih hidup mereka. Sekarang saja suara rakyat tidak didengar. Pemerintah tetap saja menjalankan berbagai kebijakan yang justru merugikan rakyat. Apa karena sudah ada deal-deal politik, atau aliran dana yang telah mengalir sehingga Pilkada ini tetap harus dilaksanakan?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menduduki suatu jabatan di negeri ini tidaklah gratis. Butuh dana yang besar mulai dari pendaftaran, membuat atribut pendukung, kampanye, hingga bagi-bagi uang. Semua berasal dari dompet peserta pemilu atau sponsor. Sehingga, saat menjabat yang dilakukan pertama kali adalah mengembalikan modal. Jika memakai sponsor maka, bagaimana membalas apa yang sudah diterima. Balas budi ini berupa kebijakan yang berpihak kepada sponsor, sekalipun harus mengorbankan kepentingan rakyat.
Memilih pemimpin merupakan satu hal yang penting. Karena pemimpin adalah orang yang akan mengurusi urusan rakyat. Namun, mekanisme pemilihannya harus diperhatikan.
Seharusnya untuk memilih seorang pemimpin tidak perlu aturan yang rumit. Sehingga tidak memerlukan biaya yang besar. Pemimpin tidak perlu memberi janji politik yang manis untuk rakyat. Karena yang dibutuhkan adalah aksi nyata untuk melayani rakyat. Pemimpin seharusnya bekerja sepenuh hati. Jadi pelaksana tugas sekalipun akan bekerja dengan baik untuk melayani rakyat dengan baik.
Mengapa tetap nekat berebut kursi kekuasaan di saat rakyat berduka? Apa gunanya kursi empuk itu, jika nyawa rakyat atau nyawa pemimpin daerah terpilih itu sendiri menjadi taruhan?
Dilansir oleh Pikiranrakyat.com, 22/9/20 bahwa telah ada beberapa pihak yang terlibat Pilkada positif Covid-19. Salah satunya Arief Budiman, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data dari lembaga survei Indo Barometer terdapat 63 dari 1472 calon kepala daerah yang positif Covid-19.
Rakyat sejatinya tidak peduli siapa yang menjabat. Apakah petahana, Plt, atau pimpinan terpilih yang baru. Rakyat hanya butuh kebijakan nyata yang berpihak pada rakyat. Kebijakan yang akan bermuara kepada kesejahteraan. Semua itu akan terwujud jika pandemi ini telah bisa ditangani dengan baik. Rakyat dapat hidup normal kembali.
Inilah bukti jika sistem saat ini begitu bobrok. Demi kepentingan segelintir pihak, nyawa jutaan rakyat jadi taruhan. Pergantian pemimpin tidak menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Gonta-ganti pemimpin justru membuat rakyat seperti kelinci percobaan. Berbagai kebijakan lahir justru membuat rakyat kian sulit karena pemerintahan berjalan dengan landasan sekularisme dan liberalisme.
Meski protokol kesehatan telah dipersiapkan sedemikian rupa, siapa yang menjamin semua orang akan mematuhinya? Saat ini saja masyarakat banyak yang abai terhadap protokol kesehatan karena menganggap kondisi telah normal, efek kebijakan New Normal. Apalagi pesta rakyat itu digelar selalu diwarnai pentas musik ke berbagai lokasi, pawai, bagi-bagi atribut kampanye dan lainnya. Semua kegiatan ini menimbulkan kerumunan massa sehingga sangat sulit memberlakukan jaga jarak.
Beginilah dalam sistem demokrasi, kebijakan yang dibuat tidak pernah memberi solusi tuntas, melainkan hanya tambal sulam. Kebijakan satu dengan yang lain sering kali tumpang tindih.
Saat awal pandemi sudah banyak masyarakat dan ahli menganjurkan lockdown total bagi daerah yang terdampak. Melakukan tes dan penelusuran terhadap orang-orang yang terindikasi Covid-19. Merawat mereka dengan pelayanan terbaik. Menjamin kebutuhan hidup bagi masyarakat yang terdampak. Mencegah penularan semakin meluas dengan memisahkan yang sakit dan yang sehat.
Namun, pemerintah justru membuat kebijakan mencla-mencle yang membuat rakyat bingung. Masker hanya bagi mereka yang sakit. Kemudian semua orang diwajibkan memakai masker. Dilarang mudik tapi tidak dilarang pulang kampung. Sekolah ditutup, sementara tempat hiburan dan wisata dibuka.
Jaga jarak dan jangan berkerumun, namun sekarang nekat gelar pilkada yang justru menciptakan kerumunan massa.
Sejatinya pemilu hanya salah satu cara untuk memilih pemimpin. Dalam sistem Islam cara ini bisa dipakai. Hanya saja dalam sistem Islam ada metode khas dalam mengangkat pemimpin yaitu melalui baiat. Baiat yaitu komitmen untuk taat pada pemimpin selama melaksanakan hukum syariat. Sementara pemimpin dalam Islam adalah orang yang bertugas melaksanakan hukum syara’ secara total. Masa jabatannya tidak terbatas. Selama ia mampu dan tidak melanggar hukum syara maka ia tetap bisa menjabat.
Dengan sistem ini memudahkan seorang pemimpin untuk menyusun strategi jangka pendek maupun jangka panjang. Sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan berulang setiap lima tahun. Ini akan menghemat biaya.
Jika seorang pemimpin meninggal, atau diberhentikan maka, kekosongan jabatan hanya boleh selama 3 hari. Syarat calon pemimpin juga tidak rumit. Diantaranya muslim laki-laki, merdeka, baligh, berakal, adil, memiliki kemampuan. Setiap orang yang memenuhi syarat ini boleh mencalonkan diri atau dicalonkan. Mekanismenya bisa kita baca dalam beberapa literatur mengenai tata cara pengangkatan khalifah atau pemilu dalam negara khalifah.
Dalam Islam pemilu juga bisa digunakan untuk memilih wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi serta mengontrol jalannya roda pemerintahan. Namun, Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah. Berbeda dengan sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Ini rentan menimbulkan perselisihan karena setiap kepala tentu isinya berbeda.
Untuk tingkat daerah pemimpinnya diangkat langsung oleh pimpinan pusat atau khalifah. Khalifah memiliki wewenang siapa yang akan diangkat dan diberhentikan. Ini cara yang efektif bagi Khalifah dalam meriah seluruh rakyat dalam negara yang luas. Kondisi ini juga memudahkan dalam mengatasi berbagai situasi terutama saat pandemi ini.
Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis: Yuli Ummu Raihan (Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Editor: H5P