TEGAS.CO., KENDARI – Hari Santri tidak hadir begitu saja, ia tidak hadir dalam ruang hampa tanpa makna. Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh salah satu Pahlawan Nasional, K.H. Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945, menjadi dasar untuk mengenang peristiwa besar perjuangan Kaum Santri bersama rakyat, dalam andil mempertahankan kemerdekaan Negara.
Resolusi Jihad tersebut rupanya mampu membakar semangat patriotisme rakyat, pertempuran rakyat melawan sekutu tak dapat terelakkan, serangkaikan perang terjadi sampai meletus pada puncaknya 10 November 1945, yang kini diabadikan menjadi peringatan Hari Pahlawan Nasional.
“Demikianlah tinta sejarah perjuangan tertulis, bukan sekadar kisah heroiknya dibaca dan dikenang, namun sebagai anak bangsa hendaknya kita mengambil semangat perjuangan para pelaku sejarah, yakni para pahlawan penegak kemerdekaan khususnya dari kalangan pondok pesantren tersebut,” tutur Kepala Ummusabri Kendari Agus Sugito, S.Th.I., M.Pd
Alumni PP. Al-Husain Magelang juga mengatakan, di era pembangunan saat ini, tentu perjuangan kita berbeda dengan perjuangan para pendahulu, dulu para pahlawan berjuang lebih secara fisik dengan bambu runcing, keris, dan senjata lainnya.
“Zaman sekarang kita berjuang demi menjaga esensi kemerdekaan dan membangun bangsa, agar semakin maju, menuntaskan masalah kemiskinan, kesenjangan sosial serta meningkatkan mutu pendidikan,” ungkapnya.
Katanya, kalau dahulu kita merebut, sekarang waktunya kita mempertahankan kemerdekaan, dan mempertahankan tidak semudah sebagaimana merebut, karena membutuhkan lebih banyak strategi dan pola pengaturan yang teratur dan terukur.
Menurutnya, semangat resolusi jihad harus menjadi pijakan, bahwa kita sebagai anak bangsa khususnya kaum santri harus bahu-membahu membangun bangsa, mengisi ruang-ruang untuk berkontribusi bagi negeri, menyudahi perdebatan yang kontra produktif.
Dikatakannya di Era pembangunan saat ini diidentikkan dengan kemajuan dalam bidang infrastruktur dan teknologi, sampai terkadang menomorsekiankan pembangunan superstruktur, yakni membangun kompetensi manusianya sebagai pelaku utama peradaban.
“Seolah kita semua lupa, bahwa peradaban dibangun melalui pengembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada keluhuran budi pekerti serta idealitas moral,” ucapnya
Lanjutnya, bahwa keterbentukan idealitas moral dan kemajuan ilmu pengetahuan dalam diri seseorang, tidak didapatkan secara instan, tentu melalui tempaan pendidikan yang ketat dan tersistem secara baik.
“Masih kuat dalam ingatan kita semua, bahwa wadah atau lembaga pendidikan yang terus bertahan serta melakukan metamorfosis dalam pengajarannya, adalah salah satunya pondok pesantren,” imbuhnya.
Dengan sejarah panjangnya, keberadaan pondok pesantren menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan moral masyarakat dan memperkuat pondasi peradaban bangsa, terlebih lagi karena pondok pesantren bersumber dari aspirasi serta cerminan kebutuhan masyarakat sesungguhnya, yakni jenis layanan pendidikan dan layanan lainnya.
“Bahkan, pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren sudah lebih dulu berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka. Sehingga, menjadi salah satu tujuan penting dari pondok pesantren untuk mencetak insan yang berakhlak mulia, memiliki kepekaan tinggi terhadap perubahan zaman, dengan tetap berpijak pada landasan tradisi yang kuat,” kata mas Agus
Lebih Lanjut lagi, Secara garis besar, untuk mencapai tujuan tersebut, harus ada keseimbangan dukungan baik dari masyarakat maupun pemerintah, terhadap keberlangsungan dan pengembangan mutu pondok pesantren.
“Posisi pondok pesantren semakin mendapatkan tempat di negara ini, dengan diterbitkannya UU Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pondok Pesantren, semakin mengukuhkan bahwa pondok pesantren diakui sebagai bagian dari penyelenggara pendidikan nasional. Bahkan, melalui UU Pesantren ini, negara semakin menjamin posisi pondok pesantren untuk menjalankan 3 fungsi utamanya, yakni fungsi pendidikan, fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan masyarakat,” tambahnya
Dikatakannya, pada fungsi yang pertama, Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Menghendaki supaya institusi ini terus menjaga ciri khasnya melalui kekayaan referensi pembelajaran ilmu keagamaan dengan kajian kutubut turats, maupun program-program tahassus-nya. Tradisi keilmuan seperti ini jarang bahkan tidak didapatkan di institusi/lembaga penyelenggara pendidikan umum (modern).
Kader PMII ini juga mengatakan bahwa, dewasa ini dengan semakin berkembangnya pemanfaatan teknologi khususnya dalam dunia pendidikan dan pengajaran, seolah tidak menggoyahkan konsistensi sebagian pondok pesantren dalam mempertahankan metode pembelajarannya, namun tetap memasukkan unsur modernitas dengan mengintegrasikan aktifitas pembelajaranya melalui TIK, seperti metode klasik Sorogan (face to face) yang lebih mengandalkan kekuatan hafalan santri, maupun metode Bandongan (ceramah).
Referensi dari kutubut turats tersebut berjenjang dari kitab-kitab paling dasar sampai kepada kitab-kitab dengan muatan isi keilmuan agama yang tergolong berat,”.
Tidak berlebihan jika banyak lulusan pondok pesantren yang telah tuntas dalam setiap tahapan belajarnya, secara isi keilmuannya sangat mumpuni dalam bidang-bidang teroritik yang berkaitan dengan persoalan keagamaan, bahkan kompetensi keilmuan ini tidak sedikit yang lebih mumpuni dari alumni perguruan tinggi keislaman sekalipun, sehingga harusnya ada hak khusus atau semacam jaminan kesetaraan tingkat mutu lulusan, kemudahan akses bagi lulusan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan formal selanjutnya, serta independensi penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan institusinya.
“Pondok pesantren dalam menerapkan kurikulum pendidikannya memiliki ciri khasnya sendiri, dan muara dari seluruh rangkaian proses pendidikan tersebut adalah bahwa ilmu haruslah diikat dan diperjuangkan melalui upaya yang keras, berulang-ulang dan ikhlas, sehingga ilmu tersebut bersemayam abadi dalam hati dan pikiran, menjadi custome dan attitude dalam bertindak dan bersikap,” ungkap mas Agus
“Aspek lain yang juga menjadi ciri khas dari pendidikan di pondok pesantren adalah dibiasakannya santri untuk saling menghargai dalam perbedaan (toleransi), gotong royong dan kreatif dalam keterbatasan,” tuturnya.
Semua pembiasaan tersebut pada akhirnya membentuk karakter atau sikap santri yang tangguh, inovatif, peka terhadap setiap perubahan dan tantangan zaman. Seolah hal ini menjadi pengimplementasian dari pesan Sahabat Nabi Muhammad Saw, Umar bin Khattab R.a Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu.
Melalui potret fungsi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan ini, kembali mengisyaratkan kepada masyarakat umum, bahwa stigma yang terlanjur melekat pada santri ataupun pondok pesantren sebagai tradisionalis, kaku, bahkan mengarah kepada anggapan sebagai kaum radikal tidaklah dapat dibenarkan. Sebagai bagian strategis dari kekayaan tradisi dan budaya bangsa Indonesia yang perlu dijaga kekhasannya, pondok pesantren harus diberi kesempatan untuk berkembang dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah.
“Fungsi yang kedua yakni lembaga dakwah. Sudah pasti masyarakat mengingat bahwa pondok pesantren merupakan lembaga dakwah tertua di Indonesia, yang dikembangkan untuk melakukan penyiaran agama Islam. Pondok pesantren memiliki kaitan erat dengan pendidikan Islam, sehingga mengandung arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang agar menjadi pribadi yang Islami,” ucapnya.
Karena itu, hal ini menjadi sarana untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
“Kaum santri sebagai agen dakwah, secara tidak langsung mengemban tugas untuk melanjutkan misi Rasulullah Saw dalam menjaga dan memberikan petunjuk jalan kebaikan kepada umat dan masyarakat, melalui uswah yang kemudian diberi sifat hasanah di belakangnya, yang berarti contoh teladan yang baik,” ucapnya.
Kaum santri memiliki tugas dan andil dalam perubahan dan perkembangan zaman.
Menurutnya, dengan bekal keilmuan yang mumpuni, keterampilan yang teruji dan tempaan pembiasaan kedisiplinan yang ketat, membentuk karakter jiwa santri menjadi kokoh. Idealitas moral santri, menuntut kepada mereka untuk senantiasa menjadi agen kontrol, terhadap pergeseran dan kemunduran moral.
Kata dia, Fungsi ketiga pondok pesantren memiliki andil dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
“Secara tidak langsung kaum santri yang merupakan produk intelektual dari pendidikan pondok pesantren, memiliki tugas sebagai agent of change, agen perubahan,” tuturnya.
ia juga berharap agar Masyarakat tidak lupa, bahwa andil dan peranan kaum santri tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan besar bangsa ini.
“Kaum santri memiliki azam (keinginan yang kuat), yang terbangun di atas kepribadian yang mandiri. Tidak akan bertahan dan berhasil di pesantren kecuali dengan keinginan dan tekad yang kuat dan matang, hal itu karena situasi pondok pesantren yang menuntut (demanding) dalam segala hal,” ujarnya.
Tempaan untuk berani, percaya diri dan tidak minder (rendah diri), serta tumbuh dalam ketawadhuan (kerendah hatian), menjadi modal kuat kaum santri untuk mengambil bagian dari perubahan dan tantangan hidup yang ada. Dengan kekuatan intelektual (akal) dan kekuatan spiritual (hati), kaum santri mampu berpartisipasi dan terlibat aktif dalam segala lini kehidupan masyarakat modern saat ini. Baik itu pada tataran personal maupun kolegial/publik. Mereka menjadi politisi, pebisnis, dan ragam profesi lainnya dengan kedua kekuatan tersebut, kuat akal dan kuat hati, maka mereka seharusnya tidak mudah tertipu (karena berakal) dan juga (harusnya) terjaga dari menipu (karena punya hati).
Satu hal terpenting dari refleksi hari santri nasional ini. Bahwa kaum santri dengan segala perubahan dunia yang “deeply challenging” (penuh tantangan) ini, tidak mengalami guncangan dan tidak pula terombang-ambing oleh perubahan pola dan gaya kehidupan.
“Menjadi tugas santri sebagai kaum penyeimbang, antara konsisten pada tradisi dan selalu terbuka terhadap sisi baik modernitas zaman,” tutup Agus Sugito.
Reporter: Rifky
Editor: H5P