Kekerasan Anak Subur, Sekularisme Saatnya Dikubur

Risnawati (Pegiat Opini Kolaka)
Risnawati (Pegiat Opini Kolaka)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Dilansir dari laman berita.kolutkab.go.id, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Kolaka Utara di tahun 2020 telah menangani 8 kasus yakni 5 Kasus korban percobaan pelecehan terhadap anak, 1 kasus kekerasan terhadap anak dan satu kasus pendampingan hak asuh anak.

Kepala Bidang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kolaka Utara Harvey,S.Si.M.Farm.,Apt bahwa selama Tahun 2020 ini kasus pelecehan dan kekerasan terhadap anak dilakukan oleh keluarga atau kerabat korban sendiri.

Iklan ARS

Dia menambahkan bahwa di tahun 2020 ini pihaknya telah meluncurkan program Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sehingga sudah ada beberapa kasus yang ditangani pihaknya untuk pendampingan hukum kedepannya, pihaknya juga akan bekerja sama dengan pengacara Pemda untuk pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Upaya pencegahan yang dilakukan pihaknya untuk tahun 2021 yakni membentuk satgas dan aktivis ”Tahun 2021 nanti kami akan membuat pilot project untuk 7 Kecamatan di Kolaka Utara untuk pembentukan Satgas Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta pembentukan aktivis TPATBM perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat, Tandasnya.

Sekularisme, Pangkal Kerusakan

Secara statistik, Indonesia termasuk negara darurat kekerasan. Betapa tidak, dari tahun ke tahun memperlihatkan peningkatan kasus kekerasan, terutama pada ibu dan anak, yang dilakukan para pelaku dengan berbagai modus. Ironisnya fenomena ini masih kurang mendapat tanggapan publik. Padahal, Indonesia sudah menjadi negara dengan kasus kekerasan yang tinggi di Asia. Begitu juga peran orang tua dalam keluarga yang menjadi bagian dari masyarakat yang sangat minim dalam melindungi, mendidik, dan mengawasi anak-anaknya di dalam pergaulan, baik di lingkungan keluarga dan sekitar tempat tinggal.

Ironisnya lagi, secara internal telah runtuhnya moralitas keluarga yang mendorong terjadinya inses yang menjadikan anak menjadi korban kekerasan, baik dari orang tua dan saudara (tiri maupun kandung) dan sanak keluarga lainnya yang bermental bejat. Bukan lagi rahasia umum, jika banyak fakta yang menyatakan pelaku-pelaku kekerasan di tengah masyarakat berasal dari orang-orang terdekat.

Berbagai faktor penyebab masih maraknya kasus kekerasan terhadap anak ini menunjukkan adanya kegagalan sistemis dari sistem kapitalisme sekuler melindungi keluarga dan anak-anak. Kita butuh sistem kehidupan lain yang lebih melindungi, mengayomi dan meminimalkan kasus kekerasan, khususnya terhadap anak.

Ada juga faktor yang disebabkan pendidikan karakter anak di sekolah masih kurang memadai. Sehingga anak-anak sangat mudah terkontaminasi dengan pergaulan bebas dan mudah terbujuk rayu oleh orang-orang yang tidak mempedulikan masa depan anak-anak. Di sisi lainnya ada faktor lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan. Hukuman yang diberikan terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Faktor penegakan hukum ini cukup memberi andil terulangnya kembali kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Lalu faktor ekonomi dalam keluarga juga turut mempengaruhi terjadinya kasus kekerasan.

Akibat, sekulerisme inilah dimana konsep hidup yang meniadakan peran agama dalam penetapan kebijakan negara. Sementara kapitalisme adalah corak pemerintahan yang kekuasaan tertinggi ada pada pemilik modal (para pengusaha) yang menitik beratkan segalanya pada keuntungan bisnis. Dari sinilah bermula semua problem masyarakat bermunculan, termasuk problem kekerasan pada anak.

Di Indonesia program dalam Kota Layak Anak, Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030. Namun program tersebut tentu saja dibangun berasaskan pandangan hidup kapitalistik sekuler. Oleh karena itu, tidak akan didapat solusi tuntas. Kapitalisme hanya dapat memberikan solusi semu yang mengakibatkan munculnya permasalahan baru. Di sisi lain, target tersebut dibangun dengan paradigma kapitalistik, berasas manfaat, sehingga secara nyata membela kepentingan para pemodal. Akibatnya anak hanya dieksploitasi untuk kepentingan mereka. Dan hak anak pun hanya tinggal janji.

Slogan “perlindungan anak” sejatinya tidak membuat anak menjadi sejahtera dan terpenuhi kebutuhan dasarnya, karena hanya menjadi alat untuk mencapai target para kapitalis, yakni menyiapkan mereka menjadi “mesin produksi” untuk memenuhi kebutuhan perputaran dan pertumbuhan ekonomi yang menjadi nyawa kapitalisme. Dengan demikian, kita perlu perubahan mendasar. Perubahan secara sistemik. Islam menawarkan hukum yang universal. Semua akan diatur secara sempurna termasuk perlindungan anak dari kekerasan.

Kembali Kepada Islam

Islam datang dengan membawa kabar gembira tentang kelahiran anak-anak perempuan melalui sabda Nabi saw berikut: “Siapa yang diuji dengan kehadiran anak perempuan, maka anak itu akan menjadi tameng baginya di neraka.” (HR Ahmad 24055, Bukhari 1418, Tirmidzi 1915, dan yang lainnya).

Perbedaan prioritas dalam menangani persoalan anak inidalam sistem kapitalis secular berbeda dengan Islam. Sungguh tidak pantas rasanya membiarkan sekian juta anak menderita karena belum terpenuhi kebutuhan pokoknya dan terancam keselamatannya. Apalagi dengan menyibukkan diri memenuhi salah satu pasal dari Konvensi Hak Anak, dan mengesampingkan hak lain yang sesungguhnya jauh lebih mendesak karena mengancam kelangsungan hidup anak, bahkan terus mengeksploitasi tenaga anak demi keuntungan sendiri.

Sungguh berbeda dengan paradigma Islam yang menjadikan anak sebagai calon generasi penerus peradaban, dan bukan objek eksploitasi. Islam mewajibkan negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok anak, termasuk pendidikan, kesehatan, dan keamanannya. Karena itu, Islam sudah memiliki mekanisme sempurna yang dapat menjamin kesejahteraan anak sepanjang hidupnya. Sistem sempurna itu hanya dapat diwujudkan melalui tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah.

Telah terbukti, berbagai persoalan yang dihadapi pada masa jahiliyah, Islamlah yang menjadi solusinya. Bukan jargon-jargon kosong feminis lainnya. Hanya saja, itu berarti Islam harus diterapkan secara sempurna seluruh hukum-hukumnya dalam seluruh aspek kehidupan. Dan yang mampu menerapkannya secara sempurna tidak lain adalah Khilafah Islamiyah.

Alhasil, secara keseluruhan sistem Islam (Khilafah) akan menciptakan suasana kondusif bagi perlindungan terhadap anak dari berbagai faktor pemicu kekerasan terhadap anak, mengunci pintu munculnya kekerasan anak, memberikan hak anak sesuai fitrah tanpa mengeksploitasi. Maka, semua itu terlaksana dalam suasana keimanan kepada Allah SWT tanpa ada paksaan dan tujuan tertinggi hanya meraih ridha Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis: Risnawati (Pegiat Opini Kolaka)
Editor: H5P

Komentar