2021: Mampukah Konflik Teratasi dengan Pengekangan Aspirasi Agama?

Dhevy Nurliani (Aktivis Muslimah)
Dhevy Nurliani (Aktivis Muslimah)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Menutup akhir tahun 2020 Presiden Jokowi telah merombak kabinetnya, tidak tanggung-tanggung sebanyak enam menteri telah diganti dan salah satunya adalah kementerian agama. Rabu, tanggal 23 Desember 2020 jabatan Menag diserahterimakan secara resmi dari Menag lama Fachrul Razi kepada Menag baru Yaqut Cholil Quomas. Ada hal menarik pada sambutan Menag baru saat Sertijab tersebut.

“Semua harus dimulai dari Kementerian ini oleh karena itu ke depan saya akan minta kerjasama dari bapak ibu sekalian dalam mewujudkan cita-cita ini, bagaimana Kementerian Agama ini benar-benar bisa menjadi Kementerian semuanya dan agama ini akan menjadi inspirasi bukan aspirasi, agama kita kembalikan kepada fungsinya yang mendamaikan,” ungkap beliau. (Tribunnews.com 23/12/2020).

Iklan ARS

Menteri Agama Yaqut pun kembali menegaskan dan mengajak masyarakat di Tanah Air agar menjadikan agama sebagai sebuah inspirasi bukan aspirasi. Saat diskusi lintas agama dengan tema “Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Kebinekaan” yang dipantau di Jakarta beliau menyampaikan alasannya dikarenakan beberapa tahun belakangan agama sudah atau ada yang menggiring agama menjadi norma konflik. Bahkan beliau menegaskan bahwa agama harus dikembalikan kepada fungsinya yaitu mendamaikan dan menjadi instrumen resolusi konflik semua persoalan.

Antara inspirasi dan aspirasi.

Menurut KBBI kata inspirasi artinya adalah ilham, sedangkan aspirasi artinya adalah harapan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang.

Secara luas inspirasi dapat diartikan suatu proses yang mendorong atau merangsang pikiran untuk melakukan sesuatu tindakan terutama melakukan sesuatu yang kreatif. Sedangkan aspirasi dapat diartikan sebagai harapan perubahan yang lebih baik dengan tujuan untuk meraih keberhasilan di masa depan.

Dari definisi tersebut tentu Islam datang sebagai inspirasi terbaik karena bersumber wahyu hingga mampu merespon dinamika persoalan sepanjang waktu. Pun sebagai aspirasi sejatinya Islam tidak mengancam keberagaman, justru memberi solusi atas terjadinya konflik bahkan solusi atas segala persoalan yang tidak dapat terselesaikan di sistem demokrasi sekuler saat ini.

Manusia yang Allah ciptakan mempunyai akal tentu akan senantiasa mengaktualisasikan pikiran-pikirannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mungkin inspirasi hanya berhenti pada pikiran saja, tentu inspirasi akan mendorong juga pada adanya aspirasi yakni harapan perubahan yang lebih baik di masa mendatang. Tentu pula manusia yang berakal bilamana mempunyai harapan dan cita-cita akan berhenti pada semangat belaka, pastilah manusia akan terdorong mewujudkan semuanya dengan perbuatan.

Sikap memisahkan inspirasi dengan aspirasi sebetulnya seperti melawan fitrah manusia itu sendiri. Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia pastilah memandang antara inspirasi dan aspirasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Sumber Konflik

Konflik masyarakat cenderung untuk terjadi atau meledak apabila terdapat kesenjangan dalam unsur atau sumber-sumber konflik, yang dibiarkan terjadi tanpa ada penyelesaian.

Menurut Judo Poerwowidagdo dikatakan bahwa unsur-unsur atau sumber-sumber konflik itu dapat di kategorikan dalam 6 hal, yaitu sumber daya alam (ketidakadilan dalam pembagian SDA), informasi (distorsi informasi, atau informasi yang salah/keliru, sengaja atau tidak), nilai-nilai (agama/budaya/adat/tradisi/ moral/etis), kepentingan (perbedaan kepentingan), hubungan (hubungan primordialis) dan struktur (yang diskriminatif, tidak adil).

Bila melihat sumber konflik tersebut juga dapat diuraikan persoalan yang memicu bukan letak seseorang memakai agama sebatas inspirasi ataukah seseorang tidak memakai agama sebagai aspirasi politik khususnya. Akan tetapi bisa ditelusuri sumber-sumber konflik justru bermuara pada kapitalisasi dan liberalisasi.

Kapitalisasi yang terjadi telah membawa SDA dinikmati asing sedang rakyat semakin miskin, biaya hidup makin meroket, negara pun berhutang tiada henti. Kapitalisasi juga yang telah membunuh demokrasi sehingga undang-undang berpihak pada pemilik modal, ketidakadilan dimana-mana, hukum menjadi tumpul ke atas tajam ke bawah. Liberalisasi pun menjadikan alat gebuk yang nyata manakala tidak berpihak kepentingan penguasa suara tak didengar bahkan di persekusi dan dipenjarakan.

Islam mampu atasi konflik

Islam mempunyai konsepsi yang khas untuk mengatur bagaimana kehidupan bermasyarakat dan bernegara mampu mengatasi konflik dikarenakan ragamnya suku, bahasa, agama. Konsepsi tersebut diantaranya:

Pertama pada level individu, Islam senantiasa menjaga aqidah dan ketaatan kaum muslimin pada syariat secara total. Sehingga kaum muslimin faham batasan antara toleransi dengan sinkretisme maupun tasyabuh bil kuffar. Non muslim pun dapat hidup berdampingan secara aman dan damai, karena negara membolehkan dalam perkara makanan, minuman, dan pakaian sesuai dengan agama mereka dengan pengaturan yang khas menurut syariat.

Kedua pada level masyarakat, Islam mengatur hubungan sosial muamalah dengan pemeluk agama lain dalam rangka bekerja sama dalam hal kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2 :

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ …

“… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Sehingga baik muslim dan non muslim juga

Ketiga pada level negara, Islam mewajibkan negara untuk mengurusi seluruh urusan warga negara. Negara berfungsi sebagai pelayan sekaligus sebagai junnah (perisai). Sehingga dalam hal ini negara tidak boleh membeda-bedakan individu rakyatnya baik pada aspek hukum, peradilan, maupun jaminan kebutuhan rakyatnya baik jaminan pokok individu (sandang, pangan, papan) maupun pada jaminan yang sifatnya publik seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan.

Dari sini maka hadirnya Islam yang kaffah, baik sebagai sumber inspirasi terbaik maupun sebagai aspirasi akan mampu menghapus konflik yang berkepanjangan. Sejarah telah mencatat Islam kaffah mampu menyatukan berbagai macam ras, suku, agama, bahasa selama 13 abad lamanya. Kisah yang fenomenal bersatunya kaum auz dan khazraj menjadi bukti bahwa hadirnya Islam mampu menyatukan konflik yang mana sebelum Islam datang kedua qabilah ini terus menerus berseteru. Kisah penaklukan konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih pun tak kalah menarik bagaimana indahnya Islam memberikan hak bagi penduduknya yang mayoritas Kristen ortodoks.

Oleh karenanya tidak perlu ada kekhawatiran bilamana Islam dijadikan inspirasi sekaligus aspirasi. Semestinya kemenag mendorong pada pemeluk agama Islam untuk memahami, menjalankan, dan menyebarkan Islam bahkan sudah semestinya memfasilitasi bukan mempersekusi. Billa narasi agama sebatas inspirasi yang terus digaungkan sementara agama sebagai aspirasi politik seakan dianggap membahayakan yang patut dilawan, hal ini seperti politik belah bambu yang mana satu dipijak satu diangkat. Inilah yang justru akan menimbulkan konflik baru yang berkepanjangan. Dan dapat dipastikan 2021 mendatang konflik tidak berkurang justru akan bertambah. Konflik dan segala macam persoalan akan teratasi bilamana justru aspirasi politik Islam mendapat tempat karena memang harapan umat satu-satunya di masa mendatang yang mampu membawa pada perubahan yang hakiki hanyalah dengan diterapkan Islam secara kaffah dan ini tidak lain dengan tegaknya Khilafah.

Penulis: Dhevy Nurliani (Aktivis Muslimah)
Editor: H5P

Komentar