TEGAS.CO., NUSANTARA – Aqidah dan keimanan adalah hal yang paling asasi dalam diri seorang muslim. Hal tersebut yang membedakan muslim atau kafirnya seseorang. Hal tersebut juga yang mengindikasikan dia kelak di akhirat berhak menikmati surga ataukah sengsara abadi di neraka.
Keimanan yang tertancap dalam jiwa haruslah sampai level “tashdiqul jazm”, pembenaran yang pasti, yang tidak tersusupi keraguan sedikitpun.
Namun manusia bukanlah malaikat. Hawa nafsu dan godaan setan senantiasa menjadi ujian dalam hidupnya. Sehingga level keimanan pun bukan mustahil mengalami naik turun, fluktuatif. Hal ini tergantung kekuatan keterikatan kepada Allah dalam mengendalikan hawa nafsu dan godaan setan.
Sehingga keimanan harus senantiasa dirawat, dijaga, dan dipelihara kemurnian dan kekokohannya.
Kokoh tidaknya aqidah dan keimanan seseorang akan sangat berkorelasi dengan ketegaran dirinya dalam mempertahankan aqidah tatkala kehidupan sekuler pragmatis saat ini merongrong dirinya. Jika aqidahnya kokoh, maka keimanannya tidak akan tergoyahkan, apalagi roboh, sekalipun rongrongan bertubi-tubi menerpa dan menggoncangkannya. Namun jika aqidahnya rapuh, sebagai cerminan kelemahan keterikatan dengan Allah, maka keimanan pun akan goyah,sekalipun goncangan yang menerpa hanya sekedar angin sepoy-sepoy.
Teladan kekokohan iman sekalipun badai kekufuran mengancam jiwa bisa berkaca dari generasi para shahabat dan shohabiat.
Betapa tegarnya Bilal dalam mempertahankan keimanan, sekalipun tubuhnya dihimpit batu besar dan berat di tengah padang pasir yang panas menyengat. Siksaan tersebut ditujukan melemahkan Bilal agar dia kembali pada kekufuran. Namun keimanannya mampu melampaui semua itu. Apa yang terucap dari lisannya mencerminkan hal tersebut, “Ahad.. Ahad..Ahad.. “.
Demikian juga teladan yang kita petik dari kisah Sumayah. Sekalipun tombak terhunus ke arah (mohon maaf) kemaluannya, tidak ada rasa gentar pada dirinya. Lisannya menggambarkan pandangan yang jauh ke depan, ke akhirat, melampaui dimensi kasat mata, “aku melihat surga terbentang di hadapanku”.
Demikianlah, ketika keterikatan kepada Allah telah kokoh tertanam dalam jiwa, maka laksana batu karang yang tak lekang diterjang gelombang. Sekeras apapun goncangan yang menerpa, tidaklah menggoyahkan keimanannya, yang ada justeru semakin menguatkan taqorrubnya kepada Al Kholiq, semakin menyempurnakan tawakkal kepada Sang Rabb, disertai ikhtiar maksimal agar tetap dalam jalan keridhoan Allah.
Namun saat ini, banyak sekali kita disuguhi fenomena, betapa mudahnya orang melepaskan kemuslimannya (baca:murtad), terutama di kalangan artis. Dengan beragam hal yang menjadi alasan.
Ada yang karena mimpi, yang dia anggap sebagai petunjuk dan pembenaran kemurtadannya. Ada yang karena sakit hati dicerai oleh suaminya. Padahal suaminya menceraikan dia, karena dia telah nusyuz, dan sudah sangat sulit menerima nasihat dari suaminya. Dan beragam alasan-alasan lainnya, yang jauh lebih remeh jika dibandingkan dengan cobaan berat yang dihadapi generasi sahabat.
Namun sekalipun cobaannya bak angin sepoy saja, namun ternyata telah merobohkan bangunan keimanan. Sebagai indikasi betapa lemahnya keterikatan dirinya dengan Allah, walhasil hawa nafsu dan godaan setanlah yang menguasai dirinya. Na’uudzubillaah.
Fenomena mudahnya saat ini orang melepaskan keislamannya (murtad), selain merupakan gambaran rapuhnya pilar ketaqwaan individu, abainya masyarakat dalam melakukan ammar ma’ruf nahi mungkar, dan yang menjadi sebab paling utama adalah dukungan sistem kehidupan demokrasi yang rusak dan senantiasa memunculkan kerusakan.
Sebagaimana kita pahami, sistem demokrasi dibangun atas 4 pilar kebebasan individu. Salah satunya adalah pilar kebebasan individu dalam beraqidah.
Sistem demokrasi menjamin kebebasan setiap individu untuk beraqidah apa saja, termasuk berpindah keyakinan pun menjadi hal yang dilindungi kebebasannya. Akibatnya tidak ada kekhawatiran pada individu untuk murtad. Dan masyarakat pun saat ini sudah menganggap hal ini sebagai fenomena biasa. Na’uudzubillaah.
Sungguh sangat jauh berbeda dengan sistem Islam (baca: Khilafah).
Khilafah sebagai sistem kehidupan yang berperan utama dalam riayah syuunil ummah, memiliki tanggung jawab dalam mengatur seluruh urusan umat, termasuk mengatur dan melindungi aqidah umat.
Khilafah, peranannya sebagai “junnah” atau perisai, bertanggungjawab melakukan berbagai penjagaan, salah satunya adalah menjaga aqidah umat Islam. Kelak di yaumul hisab, Khalifah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, terkait pelaksanaan tanggung jawabnya ini, termasuk dalam menjaga aqidah umatnya. Sehingga ketika Khalifah membiarkan ada rakyatnya yang muslim kemudian murtad, maka Khalifah pun akan ikut menanggung dosanya, karena telah abai dari tanggung jawab menjaga aqidah umat.
Oleh karena itu, Sistem Islam senantiasa melakukan penjagaan aqidah umat, antara lain dengan:
1. Penanaman aqidah Islam menjadi hal yang pertama dan utama dalam kurikulum pendidikan Islam. Sehingga generasi yang terlahir dari pendidikan dalam Sistem Islam adalah generasi dengan pilar ketaqwaan individu yang kokoh. Sehingga diharapkan lahir kembali generasi dengan sosok Bilal dan Sumayah
2. Sistem Islam menutup celah masuknya ide pluralisme. Pluralisme ide yang sangat merusak aqidah, yang memandang semua agama sama dan menganggap kebenaran itu relatif.
3. Sekalipun Sistem Islam melindungi kebebasan rakyat yang non muslim untuk menjalankan agamanya masing-masing, namun Sistem Islam membuat aturan, bahwa semuanya hanya boleh dilakukan di lingkungan dan komunitas mereka sendiri. Tidak boleh dilakukan di hadapan kaum muslimin, dan tidak boleh memanfaatkan media sosial apapun terkait kegiatan agama mereka ini.
Sehingga kaum muslimin akan terjaga dari tayangan-tayangan terkait kegiatan agama umat lain, yang sedikit banyak pasti akan memprovokasi keimanan mereka.
4.Dalam Sistem Islam, ada sanksi yang tegas bagi para pelaku kemurtadan. Jika ada indikasi seorang muslim mulai mengarah atau bahkan sudah murtad, maka negara akan “menjemput” mereka. Negara akan menggali latar belakang penyebabnya, kemudian mengedukasinya, agar kembali tumbuh keyakinan bahwa hanya Islam agama yang haq, sementara agama lain adalah bathil. Harapannya mereka sadar kemudian mereka bertaubat.
5. Jika dengan upaya edukasi tidak berhasil, dan mereka tetap membangkang bertahan dengan kemurtadannya, maka negara pun akan menetapkan sanksi Islam untuk orang murtad, yaitu dibunuh. Yang diharapkan demgan sanksi tegas seperti ini akan mencegah orang lain melakukan yang serupa.
Demikianlah. Islam menjadikan penjagaan aqidah umat, bukan semata tanggung jawab pilar individu, tetapi butuh pilar masyarakat yang akan senantiasa melakukan ammar ma’ruf nahi munkar. Dan terlebih lagi butuh pilar Negara, yang paling berperan secara efektif dalam upaya preventif dan kuratif dalam penjagaan aqidah umat.
Wallaahua’lam bishshowab.
Tangerang, 3 Januari 2020
Penulis: Ati Solihati, S.TP (Aktivis Muslimah, Penulis, Praktisi Pendidikan)
Editor: H5P
Komentar