TEGAS.CO., NUSANTARA – Tempe merupakan salah satu bahan makanan yang bayak digemari oleh masyarakat Indonesia. Tempe bisa diolah menjadi berbagai macam makanan yang lezat, bisa diolah menjadi tempe bacem, tempe goreng bahkan bisa diolah menjadi steak tempe. Namun sudah sepekan ini tempe dan tahu menghilang di pasaran. Hal ini dikarenakan para penjual dan para produsen tempe dan tahu sedang melakukan aksi protes ke pemerintah. Harga kacang kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu melonjak naik, dari Rp.7000 per kg menjadi Rp.9.500. Hal ini membuat para produsen memilih untuk berhenti berproduksi.
Para produsen tempe dan tahu di Kab. Bandung pun merasakan dampak dari kenaikan harga kedelai tersebut, seperti yang dilansir oleh PRFMNEWS – Harga kedelai yang menjadi bahan utama pembuatan tahu terus mengalami kenaikan. Hal itu berimbas pada produksi tahu di sejumlah daerah termasuk Kabupaten Bandung.
Para pengrajin tahu mulai menjerit dengan naiknya harga kedelai. Salah seorang pengrajin tahu di Kabupaten Bandung, Dadang mengaku ikut terpengaruh tingginya harga kedelai. Ia pun terpaksa berhenti memproduksi tahu. “Karena bahan kedelai mahal. Makanya kami berhenti semua. Di Jawa Barat harga kedelai ini bisa sampai Rp.9.500 per kilogramnya.
Kenaikan harga kedelai dikarenakan adanya kelangkaan kedelai, hal ini terjadi karena adanya kendala dari negara importir. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mendatangkan beberapa komoditi pangan dari negara lain seperti kedelai dari Amerika, bawang putih dari China.
Kemudahan melakukan impor ini diatur dengan lahirnya Perpres No.58 Tahun 2020. Dalam Perpres tersebut pemerintah mengatur penyederhanaan impor untuk kebutuhan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku. Dalam aturan tersebut, pemerintah menetapkan penataan dan penyederhanaan izin impor barang dan bahan baku untuk pencegahan atau penanganan bencana.
Negeri yang subur ini ternyata tidak menjamin rakyatnya bisa hidup makmur. Kebijakan pertanian dan perdagangan yang tidak dikelola dengan baik, terbukti telah membuat Indonesia sebagai negara agraris ini terus menerus dihantui krisis kelangkaan pangan.
Rakyat kembali jadi korban, terutama mereka para perajin dan pemilik industri kecil. Jika ini terus terjadi dalam jangka panjang, tentu akan memengaruhi pertumbuhan dan kualitas hidup rakyat. Kesalahan pemerintah mengambil kebijakan dalam sektor pangan ini tampak dalam rendahnya pasokan pangan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Sementara permainan kartel telah membuat harga terus melambung tinggi.
Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan Khilafah sebagai kepala negara. Kebijakan yang akan diambil dalam sistem Islam untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri yaitu dengan cara meningkatkan produksi pertanian. Memanfaatkan lahan pertanian yang ada, menghidupkan lahan mati, dan negara juga dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.
Persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan pada masa Umar bin Khaththab di Irak.
Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian.
Disamping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut dirampas oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR Bukhari)
Selain mengambil kebijakan dalam meningkatkan produksi pangan sistem Islam juga mengambil Kebijakan di sektor industri pertanian. Negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor nonriil yang diharamkan seperti bank ribawi dan pasar modal tidak akan diizinkan untuk melakukan aktivitas.
Dengan kebijakan seperti ini, maka masyarakat atau para investor akan terpaksa ataupun atas kesadaran sendiri akan berinvestasi pada sektor riil baik industri, perdagangan ataupun pertanian. Karena itu sektor riil akan tumbuh dan berkembang secara sehat sehingga akan menggerakkan roda-roda perekonomian.
Untuk menjaga kestabilan harga dipasarkan dalam sistem Islam melakukan beberapa kebijakan yaitu dengan cara :
Pertama: Menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariat yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik.
Abu Umamah al-Bahili berkata,
“Rasulullah Saw. melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Jika pedagang, importir, atau siapa pun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan Khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.
Kedua: Menjaga keseimbangan supply dan demand. Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.
Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara). Perajin tempe secara individu atau berkelompok bisa langsung mengimpor kedelai. Dengan begitu, tidak akan terjadi kartel importir.
Dengan menjalankan syari’at Islam di berbagai lini kehidupan, termasuk dalam sektor ekonomi ini. Akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga negeri ini tidak lagi tergantung pada impor pangan. Sehingga swasembada pangan pun dapat dicapai.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Penulis: Anita (Ibu Rumah Tangga)
Editor: H5P
Komentar