Kasus Prostitusi Anak Meningkat Nasib Anak Kian Terpuruk

Zuharmi  Hamaku, S. Si (Pemerhati Masalah Sosial)
Zuharmi  Hamaku, S. Si (Pemerhati Masalah Sosial)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Publik kembali dikagetkan dengan kasus penggerebekan hotel milik artis Cynthiara Alona yang diduga dijadikan sebagai lokasi prostitusi online . Dari lokasi diamankan 15 anak di bawah umur yang berusia rata-rata 14 sampai 16 tahun,  3 orang tersangka  yakni CA selaku pemilik hotel, DA selaku mucikari dan AA selaku pengelola hotel.

Dari keterangan tersangka menyebutkan motif pelaku karena untuk menutupi  biaya operasional  hotel selama pandemi Covid-19. Ketiga tersangka tersebut akan dijerat dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak  dan atau Pasal 296 KUHP dan atau Pasal  506 KUHP dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara (cnnindonesia.com, 19/03/2021). Sebulan sebelumnya juga pihak kepolisian Mojokerto berhasil menangkap mucikari jaringan OS dan mengamankan  sebanyak 36 anak berusia 14 hingga 16 tahun yang duduk di bangku SMP dan SMA (cnnindonesia.com, 6/02/2021).

Dari dua kasus di atas cukuplah menggambarkan kepada kita semua bahwa kasus prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur kian hari kian bertambah dan meresahkan.  Anak sebagai penerus bangsa  sejatinya  dilindungi dan diarahkan bukan menjadi sasaran nafsu bejat pemuja seks bebas.

Berdasarkan  data dari Komisi Perlindungan Anak dan Indonesia (KPAI) pada awal bulan Januari 2021, di Jakarta pihak kepolisian menemukan 47 orang anak yang diduga terlibat dalam jaringan prostitusi di Apartemen Green Pramuka. Di Mojokerto dan Sidoarjo Jawa Timur 36 orang anak menjadi korban prostitusi dengan pola reseller online di kos-kosan. Data ini menunjukkan bahwa  pandemi Covid-19 tak menyurutkan maraknya kasus jual beli dan eksploitasi anak.

Hasil tabulasi data pengawasan KPAI terdapat 149 kasus sampai dengan 31 Desember 2020. Berbagai modus dilakukan dalam rekrutmen jaringan prostitusi melalui proses offline maupun online di media sosial, modus lowongan kerja, modus jadi pacar, hingga mengajak teman (peer recruitment) untuk masuk dunia prostitusi. (tempo.co, 4/02/2021). Sebuah fakta yang mengagetkan sekaligus mengerikan.

Menyikapi hal tersebut, KPAI melalui Komisioner Ai Maryati dalam siaran persnya (5/02/2021) mengeluarkan beberapa rekomendasi di antaranya :

Pertama, mendorong koordinasi antar pemangku kepentingan perlindungan anak, Gugus Tugas TPPO, dan penegakan hukum dalam membangun situasi kondusif penanganan korban dan sanksi pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Kedua, memastikan anak mendapatkan pemenuhan layanan rehabilitasi psiko-sosial dengan memenuhi protokol kesehatan, terutama intervensi kesehatan reproduksi (kespro) fisik dan psikologis.

Ketiga, aparat penegak hukum segera mengungkap kasus-kasus tersebut dan menangani sampai akarnya dengan menggunakan aturan yang berlaku, yakni UU No 35/2014 tentang perlindungan anak, UU No 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO dan aturan perundangan lainnya.

Keempat, meningkatkan pengetahuan dan wawasan orang tua dan kalangan pelajar mengenai pemahaman kespro dan tindak pidana perdagangan orang.

Kelima, mendorong partisipasi anak dalam pembangunan sehingga anak memiliki kegiatan positif dalam pemanfaatan waktu luang dan terhindar pada situasi buruk prostitusi.

Keenam, perlu mengingatkan edukasi internet sehat dan pemanfaatan digital untuk kegiatan positif.

Ketujuh, berdasarkan masukan dari masyarakat, meminta pemerintah menutup platform media yang menyediakan aplikasi pertemanan yang potensial bahkan sangat masif digunakan untuk kegiatan prostitusi Online (kpai.go.id, 5/02/2021).

Rekomendasi ini diharapkan mampu mengurangi bahkan memutus mata rantai prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur. Walau faktanya angka kasus dari tahun ke tahun tak pernah berkurang bahkan cenderung meningkat tajam.

Sebagai agama yang sempurna, islam sesungguhnya memberikan solusi terhadap permasalahan anak terkhusus prostitusi. Solusi ini melibatkan komponen negara sebagai pemegang kebijakan, masyarakat dan individu/keluarga. Negara sejatinya sebagai pengayom, pelindung dan benteng bagi keselamatan rakyat seluruhnya termasuk anak. Mekanisme perlindungan negara haruslah bersifat sistematis, karena permasalahan prostitusi anak melibatkan banyak aspek seperti aspek ekonomi, pendidikan, sosial, pengaturan media massa dan aspek hukum/sanksi. Setidaknya ada beberapa aspek yang harus mendapat sorotan yaitu:

Pertama, sistem ekonomi, di dalam islam dikenal dengan sistem ekonomi islam. Beberapa kasus kekerasan anak terjadi karena fungsi ibu sebagai pendidik dan penjaga anak kurang berjalan. Tekanan ekonomi memaksa ibu untuk bekerja meninggalkan anaknya. Untuk itu Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang cukup dan layak agar para kepala keluarga dapat bekerja dan mampu menafkahi keluarganya. Sehingga, tidak ada anak yang terlantar, krisis ekonomi yang memicu kekerasan anak oleh orang tua yang stres bisa dihindari, dan para perempuan akan fokus pada fungsi keibuannya (mengasuh, menjaga, dan mendidik anak) karena tidak dibebani tanggung jawab nafkah.

Kedua, sistem pendidikan, di dalam islam  negara wajib menetapkan kurikulum berdasarkan akidah Islam yang akan melahirkan individu bertakwa. Salah satu hasil dari pendidikan ini adalah kesiapan orang tua untuk menjalankan salah satu amanahnya dalam merawat dan mendidik anak-anak, serta mengantarkan mereka ke gerbang kedewasaan.

Ketiga, sistem sosial. di dalam islam  negara wajib menerapkan sistem sosial yang akan menjamin interaksi antara laki-laki dan perempuan berlangsung sesuai syariat. Di antaranya perempuan diperintahkan menutup aurat dan menjaga kesopanan, larangan berkhalwat, larangan memperlihatkan dan menyebarkan perkataan serta perilaku yang mengandung erotisme dan kekerasan (pornografi dan porno aksi) serta akan merangsang bergejolaknya naluri seksual.

Keempat, pengaturan media massa. Berita dan informasi yang disampaikan media hanyalah konten yang membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan. Apa pun yang akan melemahkan keimanan dan mendorong terjadinya pelanggaran hukum syara akan dilarang keras.

Kelima, sistem sanksi, di dalam Islam negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para pelaku kejahatan, termasuk bagi pelaku kekerasan dan penganiayaan anak. Hukuman tegas akan membuat jera orang yang terlanjur terjerumus pada kejahatan dan akan mencegah orang lain melakukan kemaksiatan tersebut.

Selain itu, orang tua juga mempunyai peranan penting dalam menyayangi anak-anak, mendidiknya, serta menjaganya dari ancaman kekerasan, kejahatan, serta terjerumus pada azab neraka (QS. at-Tahrim [66]:6). Salah satu materi pendidikan yang harus diberikan orang tua adalah terkait syariat Islam.

Seperti batasan aurat, konsep mahram, khalwat, menundukkan pandangan, batasan berinteraksi dengan orang lain baik dalam memandang, berbicara, berpegangan maupun bersentuhan, pemisahan tempat tidur, dan hukum meminta izin dalam tiga waktu aurat.

Di saat yang sama masyarakat juga wajib melindungi anak-anak dari kekerasan. Masyarakat wajib melakukan amar makruf nahi mungkar. Tidak akan membiarkan kemaksiatan masif terjadi di sekitar mereka. Masyarakat pun berkewajiban mengontrol peran negara sebagai pelindung rakyat. Bila hal di atas dilakukan maka akan memutus mata rantai kasus prostitusi yang terjadi dan anak-anak pun akan tumbuh dan berkembang dalam keamanan dan kenyamanan serta jauh dari bahaya yang mengancam (Wallahu a’lam).

 

Penulis: Zuharmi  Hamaku, S. Si (Pemerhati Masalah Sosial)

Editor: H5P

 

Komentar