tegas.co, YOGYAKARTA -Dalam rangka memperingati ulang tahun yang ke lima Paguyuban Langenastro dan berdirinya Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Gladhen Jemparingan digelar di Alun-alun Kidul, Minggu (30/4/2017) siang.
Jemparingan atau Panahan tradisional Mataram Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat memiliki landasan filosofis “Pamenthanging Gandewo, Pamenthanging Cipto” yang artinya “Menarik busur, rasa hati kita arahkan pada sasaran”
“Mengincar sasaran panah dengan hati bukan dengan mata, anak panah kita tujukan kepada bidikan atau sasaran yang tidak bisa terlihat oleh mata tetapi bisa dirasakan melalui hati” Tutur Pasukan Pemanah Gandewo Mataram, Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat.
Panahan tradisional ini pun tebilang berbeda dengan aksi panahan umumnya, karena masing-masing pesertanya diwajibkan untuk mengenakan busana Jawa lengkap, khususnya busana Mataraman.
Selain itu dalam membidik sasaran nanti pemanah diwajibkan duduk bersila, dengan memposisikan busur mendatar (horisontal) sejajar dengan dada pemanah.
Jemparingan atau cara memanah khas Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat dibuka langsung oleh Gusti Pangeran Haryo Prabukusuma.
Pangeran Prabukusuma menerangkan sebuah filosofi Jemparingan dengan keadaan pejabat-pejabat pemerintah saat ini yang sudah tidak melakukan sesuatu tanpa hati.
“Sekarang ini pejabat kita semua tidak melakukan menggunakan hati dan tanpa niat masyarakat” Tuturnya.
Selain menyinggung tentang pemerintahan, Prabukusumo juga mengaitkan Jemparingan dengan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei nanti.
“Juga bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, saya berharap agar mampu mencetak pemimpin yang pintar, cerdas, santun, mampu berbicara runtut dan taat beribadah. Selain itu bisa menghormati dan memahami agama yang lain” Lanjutnya.
Prabukusumo berpesan, agar didiklah anak cucu kita sebagai seorang pemimpin. Orang tua mendidik anaknya, guru mendidik siswanya, dosen mendidik mahasiswanya, atasan mendidik staff nya agar menjadi pemimpin yang diharapkan kelak.
Jemparingan dibuka secara simbolis oleh Gusti Pangeran Haryo Prabukusuma dengan memukul kentungan bersama jajaran sekaligus melepas burung darah berjumlah 150 ekor.
NADHIR ATTAMIMI / HERMAN
Komentar