Tinjauan Hukum, Mengapa Basuki Tjahaya Purnama Menjadi Pusat Perhatian Dunia?

Ir. Basuki Tjahaya Purnama MM (Ahok) Gubernur (non-aktif) DKI Jakarta, orang keras, tegas, konsisten dalam berprinsip serta konsekwen dalam bertindak, jujur dan anti korupsi sehingga diidolakan sebagian rakyat Jakarta, karena berhasil merubah wajah dan kehidupan di Jakarta.

Tinjauan Hukum, Mengapa Basuki Tjahaya Purnama Menjadi Pusat Perhatian Dunia?
Tinjauan Hukum, Mengapa Basuki Tjahaya Purnama Menjadi Pusat Perhatian Dunia? FOTO : INT

Hasil kerjanya menyentuh segi-segi kehidupan masyarakat, mengatasi banjir, menjadikan pemukiman layak, terjaungkaunya pendidikan dan pemerataaan kesehatan.

Namun Ahok adalah “harimau pemangsa” bagi koruptor, manipulator dan para pelanggar hukum. Tidak ada lagi proyek fiktif, penggunaan anggaran tertib, penyalahgunaan kewenangan terhenti.

Para kontraktor yang pat gulipat berkantor di kantong mati kutu. Semua pihak yang selama ini bermain-main dengan proyek dan anggaran Pemda kehilangan rejeki dan tentunya kemewahan dan kesenangan, menganggap Ahok sebagai perampok rejekinya.

Akibatnya Ahok menjadi musuh bersama pengusaha curang dan konglomerat hitam. Maka kalau Ahok bertahan rejeki akan hilang, untuk itu harus dilakukan perlawanan, dan banyak pihak menanti keadaan agar berbalik. Bagaikan pucuk dicinta ulam tiba, ketika Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Pulau Seribu, di sana ada proyek pembudidayaan ikan. Dia berpidato mengajak masyarakat untuk turut serta dalam program tersebut, tanpa perlu memikirkan apakah nanti akan memilihnya atau tidak di Pilkada, dengan menyinggung Surah Almaida 51.
Sampai di situ, tidak ada masalah, tetapi setelah acara tersebut dipublikasikan Pemda DKI lalu diedit Buni Yani (masih harus dibuktikan) mulailah timbul persoalan dan muncullah reaksi dan dianggap sebagai penistaan dan atau penodaan agama.

Gelombang Protes dan Lapor Polisi

Postingan Buni Yani atas pidato Ahok itu, muncullah berbagai protes dan dilaporkan ke Mabes Polri dan gelombang protespun serta tunutan mengalir agar Ahok diproses dan ditahan. Ahok sendiri menyikapi keberatan itu dengan minta maaf serta mendatangi Mabes Polri untuk memberi klarifikasi bahwa tidak ada niat untuk menista agama.

Tim Penyidik yang menangani penistaan agama tersebut berjumlah 21 orang, tetapi tidak semuanya mengangap ucapan Ahok itu sebagai tindak pidana, sebagaimana keterangan Kabareskrim dan Kapolri sehingga ada disetting opinion (Pendapat yang berbeda).

Kapolripun mengakui para ahli bahasa dan ahli hukum pidanapun berbeda pandangan yang tercermin juga dalam keterangan mereka di Pengadilan. Akan tetapi Majelis Ulama (MUI) sudah sempat mengeluarkan fatwa bahwa pidato Ahok itu adalah penistaan agama.

Kemudian muncul Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI dengan mengadakan unjuk rasa menuntut proses hukum terhadap Ahok.
Walaupun ada perbedaan pendapat para penyidik, Polri tetap menyerahkan perkara tersebut ke Kejaksaan Agung (P-21) dengan proses yang sangat cepat.

Kejaksaanpun memprosesnya singkat dan melimpahkannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pengadilanpun secepat “kilat” menyidangkannya.
Prosesnya sebenarnya berjalan normal, hanya saja menjadi soorotan publik, karena pemeriksaan Ketua MUI Ma’ruf Amin yang sudah tua diperiksa sampai sembilan jam.

Pilkada DKI, Ahok Kalah

Ahok sebagai petahana, menurut hasil survey bahwa 70 % rakyat DKI puas atas kinerjanya bersama pasangannya Djarot Saiful Hidayat, dan diprediksi memenangkan Pilkada. Walau dukungan tinggi tetapi serangan gencar sebagai penista agama serta sudah mengarah pada SARA, kafir turunan Cina.

Hasil Pilkada putaran pertama, Agus – Sylvyana memperoleh 17,06%, Basuki-Djarot 42,96% dan Anies-Sandi 39,97%. Karena tidak ada di atas 50% maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak akan masuk ke putaran ke dua.

Putaran ke dua menjadi terbalik, Basuki- Djarot hanya mendapat 42,04% sementara pasangan lawannya Anies-Sandi menjadi 57,96%.

Lautan Kembang
Suatu fenomena aneh terjadi lagi, bagaimanapun kekalahan Ahok harus diterima tetapi perlawanan dilakukan dengan mengalirnya karangan ke Ahok-Djarot di Balaikota Jakarta sebagai rasa prihatin dan simpati kepada Ahok-Djarot.

Mungkin kekalahan itu daianggap sebagian orang tidak layak, akan tetapi karena adanya serangan masif menyerang Ahok sebagai kafir dan penista agama. Masalahnya, ucapan prihatin dan simpati tidak hanya di Jakarta, juga di daerah lain, kadangkala tidak masuk akal misalnya kalau ada yang mengirim kembang untuk Ahok di Batam.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Sebelum dan selama persidangan gelombang unjuk rasa sangat mengkhawatirkan masyarakat sekitar Jakarta, walaupun namanya aksi damai rasa was-was tetap ada, memang tidak meninggalkan hal-hal yang merugikan masyarakat.

Sebenarnya, JPU dalam Dakwaannya mengikuti keraguan Penyidik, karena JPU mendakwanya Ahok dengan Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.

Pasal 156:

Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pasal 156a.

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Keraguan JPU dalam Dakwaan itupun dilanjutkan JPU dalam Tuntutan, karena Ahok dituntut dengan pasal 156 yaitu : menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia bukan sebagai Pasal 156a yaitu : dengan sengaja di umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan,
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Oleh karenanya JPU menuntut hukuman 1 tahun penjara dalam masa percobaan selama 2 tahun. Artinya, Ahok diminta dihukum 1 tahun penjara tetapi tidak usah masuk penjara, kecuali dalam jangka waktu 2 tahun Ahok melakukan tindak pidana.

Putusan Majelis di luar kebiasaan

Ternyata Majelis Hakim berbeda dengan JPU, Majelis menyatakan Ahok melanggar Pasal 156a, secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penodaan agama, oleh karenanya dihukum 2 tahun penjara dengan perintah Terdakwa ditahan.

Dengan dua hal yang memberatkan, yaitu Terdakwa tidak menyesal atas perbuatannya dan telah menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Putusan tersebut dianggap tidak lazim dan kontroversial, karena Majelis Hakim seolah berusaha membuktikan kesalahan Terdakwa dan bukan JPU. Semakin kontroversial lagi karena JPU langsung menahan Ahok dengan memasukkannya ke Rumah Tahanan Cipinang.

Mengapa Kontroversial

Penerapan hukum dalam kasus Ahok dianggap banyak pihak kontroversial. Pertama, memang majelis hakim boleh menggunakan pasal yang ada dalam Dakwaan JPU, tetapi harus sesuai unsur-unsur Pasal yang digunakan. Dengan menggunakan Pasal 156a KUHP, yang berasal dari PSPN No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, seharusnya harus memenuhi perintah PNPS tersebut yaitu
Pasal 2.
(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3.
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Pasal 4.
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 156a,
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan,
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

Ketentuan Pasal 2 di atas belum pernah terjadi dan tidak pernah ada, maka penerapan Pasal 156a tersebut tidak memenuhi syarat, Sebab tidak pernah diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Mendagri.
Karena tidak memenuhi ketentuan tersebutlah (mungkin) sehingga JPU tidak mmenggunakan Pasal 156a KUHP. Itulah (mungkin) alasan JPU menyatakan Banding, agar JPU tidak dianggap “bermain” karena Jaksa Agungnya dari Nasdem.

Dalam hal ini JPU bukan mewakili kepentingan Terdakwa tetapi tentunya juga bertanggungjawab dalam penerapan hukum yang adil dan benar, bukan masalah tingginya hukuman semata. Kontroversi juga terjadi dengan tindakan JPU yang langsung menahan Ahok, sebab Putusan Majelis itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).

Putusan Majelis menghukum Terdakwa 2 tahun penjara dan memerintahkan Terdakwa untuk ditahan, itu hanya standar putusan agar tidak batal demi hukum sebagaimana Pasal 197 ayat (1) huruf k.

Akan tetapi tindakan JPU tersebut bertentangan dengan Pasal 270 KUHAP: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”.

Apa dasar JPU menahan Ahok, pada hal di depan Majelis telah menyatakan banding, karenanya, putusan belum berkekuatan hukum tetap, sehingga belum bisa dieksekusi, sebab dasar hukum JPU dalam melaksanakan putusan Hakim adalah Pasal 270 KUHAP di atas.

Gelombang Penyalaan Lilin
Akibat dari kentalnya dugaan banyaknya faktor di luar hukum dan justru lebih berat warna dan aroma politiking, maka gelombang simpati mengalir melalui penyalaan lilin tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri, kecuali Makassar dan Padang.

Ahok telah dihukum 2 tahun dan dia naik banding akan tetapi telah dijebloskan ke Rutan saat ini di Mako Brimob. semua pihak harus menghormati proses hukum, biarlah proses hukum juga mengoreksi apabila ada penyimpangan dan kesalahan penerapan hukum.

Pengajuan penangguhan penahanan telah diajukan, mudah-mudahan dapat dijelaskan apakah penahanan itu suatu kekeliruan atau kecerobohan JPU karena dalam praktek masih polemik dengan berbagai penafsiran.
Sebab kalau Majelis Hakim berniat menahan Ahok seyogyanya sebelum membacakan putusan sudah mengeluarkan Penetapan agar Terdakwa ditahan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan seperti sekarang. Sebab kemungkinan sekali JPU menafsirkannya sebagai “segera masuk” seperti sebelum KUHAP.

Tetapi sebagai catatan, bahwa Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok adalah dirinya sendiri dia tidak personifikasi siapa-siapa, baik suku maupun agama tertentu. Tetapi Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok adalah mewakii dirinya sendiri sebagai orang jujur, tegas, konsekwen dan konsisten, sehingga dibencii bukan karena kejahatannya. Oleh karena itu ada sebagian pihak yang menghendaki agar Ahok Banding, karena dia dihukum bukan karena hukum melainkan kepentingan politik dan kebencian, yang tidak ada hukumnya.

Akan tetapi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak sama dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, kalaupun sama biarkan saja Ahok menjadi “martir”, korban dari kejujuran dan ketegasannya, Ahok memang karakternya kasar, biarlah sejarah mencatatnya.***

Bachtiar Sitanggang SH
Advokat di Jakarta.

Komentar