Jika usia 58 tahun, kita lihat pada seorang lelaki/wanita maka ia telah memasuki paruh baya menuju usia senjanya. Tentu ia telah melewati masa produktifnya dalam ukuran kebanyakan orang, walau tak sedikit yang menyatakan bahwa hidup dimulai setelah 40 tahun usia.
Kembali ke Muna…
Setelah lebih dari setengah abad, hiruk pikuk pergantian kepala daerah, hingga cerita tentang rimbun hutan jati yang hanya tinggal cerita. Juga tentang migrasi besar-besaran orang di pulau ini ke seberang atau entah kemana (tentu karena urusan pendidikan) untuk memperbaiki harkat hidupnya.
Pada suatu keadaan, tentu kita tak boleh putus asa dengan keadaan. walau jauh dari kata “sejahtera”. Tapi mengharap lebih juga. pada nasib bukanlah solusi.
Ya… saya akan mulai dengan cerita tentang kota dan kewilayahan sebagai base keilmuan, biar terkesan wajar.
Jika melihat Muna dalam kacamata ini, maka posisinya berada pada orde kota/wilayah sekunder dalam jejaring kota/wilayah lain di lokus kota/wilayah Sultra. Hal ini bertautan dengan statusnya bukan sebagai pusat kegiatan utama/pasar utama.
Lantas…. Apa dan Bagaimana kondisi di kota/wilayah dengan status sekunder…?? Saya akan mendahuluinya dengan tantangan.
Pertama, kota/wilayah sekunder memiliki karakteristik product/commodity base (wilayah produksi) selain untuk memenuhi kebutuhan internal juga sebagai penyokong kebutuhan sumber/material/barang dari kota/wilayah primer/core.
Keadaan seperti ini disebut sebagai “regionalisme”, dimana status wilayah tidak hanya ditentukan oleh letak spasialnya secara geografis tapi lebih dari itu, levelnya di tentukan oleh statusnya dalam jejaring regional wilayah secara ekonomi (market network).
Kecenderungan jejaring global market telah membentuk kutub/pola/segentasi tertentu dewasa ini.
Maka… marilah kita mulai melihat posisi Muna dalam perspektif ini, apakah Muna telah menjadi wilayah produksi komoditas dalam regional Sultra?? Kita sekalian tentu punya jawaban masing-masing… tapi nampaknya, masih belum menunjukkan posisi yang strategis.
Kedua, Regional Network mensyaratkan hilir mudik/arus produksi dalam keadaan yg baik dan prima. Maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah infrastuktur pendukung haruslah dalam kondisi yang layak dan baik, mulai dari infrastruktur pendukung produksi hingga infrastruktur pelayanan dasar wilayah (utamanya energi dan transportasi).
Riset pribadi yg saya publikasikan pada Simposium Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa Infrastruktur Sultra masih belum cukup baik menunjang hilir mudik barang dan penumpang untuk interkoneksitas antar kepulauan di Sultra.
Salah satu yang masih jauh dari standar pelayanan dan aksesibilatasnya adalah pulau Muna, daerah kita tercinta ini. Lihat saja bagaimana kepadatan arus mudik dan arus balik saat lebaran kemarin, itupun diluar pembahasan soal calo tiket yg dengan bebas menjual di luar loket yang tak jauh dari posko pengamanan pihak berwajib… tentu ini ironi.. dan harusnya tak bisa kita tolerir…!!! Belum lagi soal persentasi pertumbuhan ruas jalan, atau terlalu muluk… yaa, hmm perawatan dan perbaikan jalan yang telah rusak kalau begitu… ini sudah rahasia umum.. nampaknya. Moga ini dapat diperbaiki…
Ketiga, Regionalisme ternyata memilki dua sisi yang saling berlawanan yakni efek sentripetal dan sentrifugal… Seperti hukum fisika tentunya, kota/wilayah dengan orde primer memiki kekuatan untuk menarik sumber daya dan sumber ekonomi, dan sekaligus mementalkan kota/wilayah yg tidak seirama (baca; tidak berjejaring) dengan kota orde primer tersebut.
Lalu, apa hubungannya dengan Muna??? Mari kita lihat.
Tiap tahun… Pulau Muna terjadi migrasi besar-besaran keluar (entah secara permanen atau sekedar sebagai migrasi sirkuler). Pada perspektif diatas, katakanlah Kendari sebagai urban Core (pusat pertumbuhan) dipadati oleh arus migrasi dengan berbagai motif dan tujuan tentunya. Tapi jika dalam konteks ekonomi angkatan kerja dengan rentang usia produktif membanjiri kota ini, selain Bau-Bau tentunya. Apa yg terjadi? Tentu ribuan orang tua harus tiap bulan mengirimkan uang bulanan anaknya yg kuliah/merantau kekendari. Asumsi sederhananya jika rata-rata tiap Kk memiliki 1 anak dengan uang bulanan Rp.500.000,- maka berapa rupiah *fresh money yg berputar di kota Kendari/Bau-Bau jika 1000 mahasiswa yang bermigrasi tiap tahunnya..??? Apa efeknya terhadap Muna?? kita telah kehilangan angkatan kerja dan potensi pendapatan rill tentunya.
Terakhir… apa yang bisa kita lakukan??
Untuk menjawab ini, nampaknya tak cukup di status ini… tapi saya akan memberikan beberpa contoh.
Lombok, sebagai bagian dari core kota/wilayah kawasan pariwisata Bali jeli melihat peluang dan potensi pasar. Hingga akhirnya dapat ikut merasakan limpahan pasar pariwisata Bali. Secara sepintas apasih yang berbeda dari Lombok, jika sederhannya hanya menawarkan wisata pantai/pulau sudah pasti tak jauh berbeda objeknya. Tentu tak perlu studi banding yang muluk-muluklah untuk mengetahui jawabannya, bahwa Lombok sukses dengan apa yang disebut dengan “City Branding”. Hal yang sama dengan Jogja, Solo (dengan branding culturalnya), atau Bandung (dengan branding “City of Inovation-nya”). Muna tentu tak kekurangan orang cerdas untuk memikirkan hal ini… “mungkin hanya kurang yang memulai dan menginovasi… hehehe…. Saya pun pada beberapa kesempatan telah menulis di harian kendari pos beberapa waktu yang lalu.. bagaimana inisiasi komunitas dan masyarakat lokal menjadi kekuatan dan potensi pengbangan wilayah, apalagi saat ini “Desa memiliki kekuatan finansial untuk berdaya dan bangkit…!!!
Soal infrastruktur (aksesibilitas dan energi) … nah ini yg agak ruwet!!!
Kenapa demikian karena hal ini terkait *political will dari pemangku kebijakan. Apakah berpihak pada rakyat atau hanya mengugurkan kewajiban, tentu tidak usah lagi di bahas jika hanya soal janji di panggung pilkada… tentu bukan itu poinnya.
Polical will terkait bagaimana keseriusan dan kesungguhan pemanggu kebijakan dannkepentingan untuk mengupayakan ini. Kekuatan jejaring politik dan pemerintahan dalam planning, loby dan eksekusi dokumen rencana yang telah disusun. Oh… iya, tentu tak juga kalah penting kekuatan dan konsolidasi rakyat untuk mengawal aktualiasi rencana tersebut tentunya.
Tengoklah bagaimana raja ampat (baca; papua) atau batam melakukan ini.
Hmmm… okelah jika Papua adalah ladang emas dan Batam adalah Malaka yg berubah nama, jadi wajar jika mereka diperhatikan “secara khusus”. tapi jika begitu jawabannya… utk apa wakil rakyat kita di parlemen daerah hingga nasional terpilih.. justru itulah agenda politik yang harus diperjuangkan !!! Pada kasus ini… saya hanya melepas opini, untuk mencari diskursus bersama… sudah saatnya kita kritis dengan rasional dan terbuka.
Sebagai salah satu anak yang terlahir di pulau Muna tercinta… saat ini mungkin hanya melalui ini yg bisa dilakukan sementara.
Tentu ini sangat berat… tapi bukan berarti tak mungkin… Kata Kang Emil; kenapa jomblo bisa berkepanjangan… ??? karena hanya kompetisi tak ada kolaborasi… hehehe
Dan saya akhiri dengan mengutip pepatah lama… “Koemo wuto sumanomo liwu”
MUNANTA
PUBLISHER : MAS’UD
Komentar