tegas.co., JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilios di awal 2019 diprakirakan aktifnya monsun Baratan akan lebih mendominasi terjadinya variasi musim di Indonesia dibandingkan dengan pengaruh el nino, karena el nino diprediksi akan kembali netral di awal tahun 2019. BMKG menjelaskan bahwa awal musim hujan 2018/2018 akan terjadi pada Oktober-November-Desember 2018.
“Pada Setiap wilayah berbeda-berbeda memasuki musim hujan. Sementara itu, Puncak musim hujan 2018/2019 terjadi pada Januari-Februari 2019,” jelas Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, melalui rilis yang diterima, Selasa (4/9).
Lebih lanjut, Kepala BMKG menjelaskan sebanyak 78 ZOM (Zona Musim) (22.8%) di wilayah Sumatra, sebagian besar Jawa, NTT, sebagian Sulawesi, awal musim hujan terjadi pada Oktober 2018.
Sementara itu, yang awal mulai November 2018 sebanyak 147 ZOM (43.0%) meliputi Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan 85 ZOM (24.9%) di bulan Desember 2018.
“Awal Musim Hujan 2018/2019 di Indonesia umumnya mundur sebanyak 237 ZOM (69.3%), sama dengan rata-ratanya 78 ZOM (22.8%) dan maju sebanyak 27 ZOM (7.9%). Prakiraan Sifat Hujan selama periode Musim Hujan 2018/2019 diprakirakan Normal atau sama dengan rata-rata nya sebanyak 246 ZOM (71.9%), kemudian 69 ZOM (20.2%) akan Bawah Normal (lebih rendah dari rata-ratanya) dan 27 ZOM (7.9%) akan mengalami Sifat Hujan Atas Normal (lebih tinggi dari rata-ratanya),” tuturnya.
Dijelaskan Dwikorita, dalam sepekan ini, berdasarkan pengamatan BMKG, terdapat aktivitas MJO (Madden Jullian Oscillation) atau massa udara basah dan fenomena gelombang atmosfer lainnya (Rossby dan Kelvin Wave) yang cukup signifikan terjadi di wilayah Indonesia.
Akibatnya, lanjut Dwikorita memberikan signifikansi pada peningkatan curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia.
Dalam rilis, Dwikorita menerangkan kondisi tersebut pun diperkuat dengan adanya pelemahan pusat tekanan tinggi di wilayah Australia yang mengakibatkan dorongan massa udara kering dan dingin dari Australia semakin melemah sehingga massa udara di wilayah Indonesia khususnya bagian selatan ekuator relatif menjadi lebih lembab.
“Kondisi ini menyebabkan terjadinya potensi pertumbuhan awan hujan semakin meningkat. Dalam sepekan terakhir tercatat kejadian hujan lebat di wilayah Riau, Bengkulu, Kepri, Jabodetabek, Kalteng, Kalbar, Kalsel, Kaltara, Maluku, dan Papua,” lanjutnya.
Dwikorita pun mengimbau masyarakat untuk mewaspadai potensi lebat disertai kilat/petir dan angin kencang di sekitar wilayah Indonesia dalam periode 3 hari kedepan, antara Aceh, Sumatra Barat, Bengkulu, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Sementara itu, bagi masyarakat pesisir dan para nelayan harap waspada potensi gelombang tinggi 2.5 hingga 4.0 meter hingga 7 hari ke depan yang diperkirakan akan terjadi di Perairan Bengkulu hingga Barat Lampung, Perairan Selatan Banten, Samudra Hindia Barat Bengkulu Hingga Lampung, Samudra Hindia Selatan Banten.
Ia juga menuturkan berdasarkan pengamatan BMKG, masih terjadi gelombang tinggi (1.25-2.5 m) kategori waspada dan bahkan berpeluang mencapai 2.5-4.0 m kategori Berbahaya pada bulan September-Desember.
Pada bulan September, sambung Kepala BMKG, terjadi gelombang 1.25-2.5 m atau kategori waspada di Laut Jawa bagian tengah, Laut Arafuru, Perairan Kep.Sermata-Kep.Tanimbar; sementara di Samudra Hindia barat Sumatra, Samudra Hindia selatan Jawa hingga NTT gelombang mencapai 2.5-4.0 m.
“Untuk Bulan Oktober, masyarakat pesisir dan nelayan di sekitar Laut Natuna utara, Pesisir Bengkulu, Laut Jawa bagian tengah, Laut Arafuru, Perairan Kep.Sermata-Kep.Tanimbar harap mewaspadai gelombang setinggi 1.25-2.5 m, sedangkan potensi gelombang setinggi 2.5-4.0 m berpeluag terjadi di Samudra Hindia barat Sumatra, Perairan selatan Jawa-Sumba, Samudra Hindia selatan Jawa-NTT,” imbau Dwikorita.
Pada bulan November, berpeluang gelombang 1.25-2.5 m di Samudra Hindia barat Sumatra, Perairan selatan Jawa-Sumba, Perairan Kep. Sermata-Kep.Tanimbar; dan bahkan, berpeluang terjadi gelombang tinggi 2.5-4.0 m di Samudra Hindia selatan Jawa-Bali. Sedangkan, Bulan Desember terjadi gelombang tinggi setinggi 1.25-2.5 m di Perairan barat Sumatra, Perairan selatan Jawa-NTT, Laut Arafuru, Perairan utara Papua; Untuk wilayah Laut Natuna Utara terjadi gelombang setinggi 2.5-4.0 m (berbahaya).
Dwikorita pun kembali mengimbau untuk menghadapi kondisi puncak musim hujan, masyarakat perlu mewaspadai wilayah yang rentan terhadap bencana yang ditimbulkan oleh curah hujan yang tinggi seperti banjir, genangan, tanah longsor, angin kencang dan juga puting beliung.
Perkembangan Musim Kemarau 2018
Pada pertengahan Februari 2018, BMKG telah merilis bahwa awal Musim Kemarau di Indonesia akan terjadi mulai bulan April dan Mei 2018.
“Berdasarkan hasil monitoring perkembangan musim kemarau hingga akhir Agustus 2018 ini menunjukkan hampir seluruh wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau yaitu sebanyak 99.12 %. Sedangkan sisanya 0.88% belum memasuki musim kemarau meliputi Payakumbuh (Sumatra Barat), Pulau Buru bagian utara (Maluku), Pulau Seram bagian selatan (Maluku),” tuturnya.
Sementara itu untuk kondisi El-Nino, Dwikorita menjelasakan akan melemah dan diprediksi berpeluang aktif pada September 2018 hingga tahun 2019. El Nino lemah ditandai oleh lebih panasnya suhu muka laut di wilayah Pasifik bagian tengah atau dikenal dengan indek ENSO positif.
Kondisi ini, sambung Kepala BMKG, akan berdampak langsung pada peralihan sirkulasi angin Timuran menjadi Angin Baratan akan sedikit terlambat, kondisi inilah yang secara tidak langsung menyebabkan awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia menjadi terlambat dari biasanya atau klimatologisnya.
Namun, dijelaskan di awal tahun 2019 diprakirakan aktifnya monsun Baratan akan lebih mendominasi terjadinya variasi musim di Indonesia dibandingkan dengan pengaruh el nino, karena el nino diprediksi akan kembali netral di awal tahun 2019.
Biro Hukum dan Organisasi BMKG/EN
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar