Keteladanan dan Tawuran Pelajar

Kita sebagai bangsa Indonesia harus bersyukur dan boleh bangga, karena memperoleh kepuasan batin serta keuntungan materi dengan berlangsung dan berakhirnya dengan baik Asian Games ke-18 yang lalu di mana Indonesia menduduki peringkat ke-4 dari 45 negara dengan perolehan 31 medali emas.

Keteladanan Dan Tawuran Pelajar
FOTO ILUSTRASI INTERNET

Sebagai tuan rumah kita berhasil menjamu serta menyuguhkan kondisi yang baik dan nyaman bagi atlit, official serta turis sejak pembukaan, penyelenggaraan dan penutupan, suatu pesta olahraga dan budaya bagi masyarakat Asia bukan hanya bagi warga Jakarta-Palembang bahkan disaksikan dan dikagumi Dunia.

Tak aga gading yang tak retak,tetapi harus diakui bahwa kita berhasil penuh, bukan basa-basi, secara moral dan spiritual kita memperoleh kenyamanan bukan hanya secara pisik tetapi juga bathin.

Ketika persiapan penyelengaraan Asian Games secara pisik dimulai sejak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) Gubernur DKI Jakarta, suara miring dan nyinyir mulai muncul, tetapi dia gigih melaksanakannya walaupun tidak diberikan “waktu” baginya untuk merampungkan sebab terkena masalah hukum.

Pemanasan tahun politik terjadi sampai Pilkada di beberapa daerah tingkat I dan II dan Pilkada DKI terjadi ketidak harmonisan, berbagai kondisi dan situasi tidak menentu bisa terjadi tiba-tiba “pemaksaan kehendak” dan seolah tidak ada batasan hukum, etika dan moral, juga ada menganggap diri sebagai “pemilik” kebenaran.

Semoga perlakuan kita “para orangtua” itu tidak diikuti apalagi diteladani para anak-cucu kita, sebab demonstrasi memaksakan kehendak dengan dalih kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul, adalah bagian atau skala besar dari tawuran pelajar bila tidak dikendalikan, walaupun kita katakan sebagai kenakalan remaja.

Menjelang Asian Games ke-18 yang dimulai tangal 18 Agustus 2018, setelah deklarasi bakal calon presiden/wakil presiden oleh Joko Widodo=Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, suasana perpolitikan nasional sungguh memanas dengan berbagai pernyataan yang kadang sudah tidak proporsional serta sudah menjurus penghalalan segala cara.

Tetapi, karena Tuhan beserta kita sehingga “damai sejakteraNya” dilimpahkan kepada bangsa kita, pada saat berlangsungnya pertandingan final pencak silat perorangan putra di mana Hanifan Yudani Kusumah memenangkan medali emas, dengan berselimutkan merah putih di punggungnya  berlari ke tiribun kehormatan memberi hormat kepada Presiden Joko Widodo sekaligus merangkul keduanya bersama Prabowo Subianto, ditonton seluruh rakyat Indonesia terutama politisi-politisi “kepanasan”, keduanya sebagai Bacapres 2019 yang sudah mulai dipersepsikan segelintir pendukungnya sebagai “musuh bebuyutan” ternyata bisa menyatu keduanya  “tenggelam” diikat sang saka merah putih, dirangkul Hanifan.

Seketika itu ketenteraman bathin menyiram hati masyarakat, seolah tidak ada oposisi, Jokowi-Prabowo satu, tidak ada minoritas-mayoritas yang ada hanya sesama saudara sebangsa setanah air dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai sampai Rote.

Mudah-mudahan siraman kedamaian itu tidak berlalu begitu saja, kita berharap kedamaian dan kenyamanan itu berlangsung sampai terpilih presiden periode 2019-2014, tidak ada lagi gontok-gontokan, unjuk rasa berlebihan apalagi pemaksaan kehendak yang sungguh mengganggu keamanan dan ketertiban.

Kita berharap agar Jokowi-Prabowo sering-seringlah bertemu agar para pendukungnya berubah karena sering bagaikan “lampu yang nyala tetapi semprong yang lebih panas”.

Sebab terbukti, kalau orang tua saling mengsihi di rumah, anak-anaknya juga akan membawa kedamaian di luar serta di perjalanan. Tetapi apabila ayah-ibu sering bicara dengan sebutan nama peliharaan dan binatang jalang, anak-anak akan terbawa-bawa dan terbiasa mengikuti orangtuanya.

Demikian juga dengan maraknya kenakalan remaja serta tawuran pelajar, tidak mungkin terjadi kalau tidak ada kebocoran-kebocoran perilaku yang menyimpang yang memberikan peluang terjadinya kekendoran disiplin, etika dan moral. Agak jarang anak dari suatu keluarga yang rukun menjadi dalang kenakalan remaja atau ikut tawuran. Biasanya siswa dari suatu sekolah unggulan yang tertib dan disiplin serta belajar penuh jarang terlibat tawuran. Guru-guru yang berdedikasi tinggi murid-muridnya akan berprestasi, murid berprestasi akan merasa rugi ikut tawuran.

Agar anak cucu kita menjadi anak-anak yang baik, marilah kita orang tua, guru, pejabat pemerintah, wakil rakyat – generasi tua memberi suri tauladan, contoh memulai dari diri sendiri.

Bagaimana mengingatkan anak-cucu untuk tidak korupsi, kalau orang tua me-mark up nilai proyek, melakukan proyek fiktif, praktek money politics, memanipulasi data dan fakta, memperdagangkan hukum dan keadilan?

Mana mungkin anak-anak bicara sopan kalau ayah-ibunya sering bicara disertai piring pecah? Bagaimana kita mengatakan tidak baik tawuran, kalau TNI-Polri suka serbu-serbuan-berantam?

Mari sadar bersama, lebih baik mencegah daripada mengatasi, generasi tua mengoreksi diri kita berikan ketauladanan saling asih, saling asah serta saling asuh. Kalau tidak dicegah, dengan perkembangan informasi dan tekhnologi mereka bisa egois, saling memakan-homo homini lupus. Masa depan generasi muda yang lebih baik dari sekarang adalah tanggungjawab kita generasi sekarang.***

BACHTIAR SITANGGANG

PENULIS ADALAH WARTAWAN SENIOR DAN ADVOKAT BERDOMISILI DI JAKARTA

PUBLISHER: TEGAS.CO

Komentar