Example floating
Example floating
Berita Utama

Saatnya Elang Mencengkeram Tikus-Tikus Senayan

1088
×

Saatnya Elang Mencengkeram Tikus-Tikus Senayan

Sebarkan artikel ini
Kita terlahir di bumi untuk menebar benih kebaikan. Melawan kezholiman. Amar ma’ruf nahi mungkar.
FOTO: ILUSTRASI

tegas.co,. KENDARI, SULTRA – Kita terlahir di bumi untuk menebar benih kebaikan. Melawan kezholiman. Amar ma’ruf nahi mungkar. Tentu tiada yang sempurna. Ada yang suka, banyak yang mencela. Bagi saya sederhana, kita berbuat, perbaiki niatan. Selanjutnya, biar manusia dan Tuhan yang menilainya. Biarlah waktu yang jadi penguji setianya!

Terima kasih atas catatan tentang saya dari sahabat Suhardiyanto (Anto). Anak muda asal Pulau Kaledupa, Wakatobi. Kampung asal kakek dan ibu saya.
===

SAATNYA ELANG MENCENGKERAM TIKUS-TIKUS SENAYAN

(Oleh: SUHARDIYANTO, Penulis)

“Pemimpin itu seperti elang: berani berjuang sendiri, gemar mengendarai badai.”

Petuah di atas saya ikat dari babaran Erwin Usman tempo hari. Itu perjumpaan perdana kami. Singkat, namun berbobot. Banyak hal yang kami bahas. Mulai dari kondisi kekinian Buton, kearifan lokal, pendidikan literasi, hingga mengerucut pada peran pemuda hari ini. Poin terakhir begitu mengesankan.

Perihal pemuda, Bang Erwin mengkritik lakon pemuda yang terkesan ‘Lembek’. Mudah goyah. Entah digoyah lewat kekerasan atau empuknya harta dan jabatan. Kita menemukan banyak pemuda cerdas, namun tak memiliki integritas. Aktivis kardus. Tak adanya kesatuan antara pengetahuan dan perbuatan. Golongan serupa ini murah dilelang.

Pada babaran di atas, jiwa kritis saya tergelitik. “Apa benar lelaki berwajah manis ini seorang aktifis sejati?” ucap saya dalam hati. Lekas jemari saya berselancar ke mesin pencari Google. Saya ketik ‘Erwin Usman’. Hasilnya…. Silahkan Anda coba sendiri. Ngeri kone! Singkatnya, perjuangan Erwin Usman dalam menumpas bobroknya ketidakadilan di negeri ini sudah teruji. Jejak karya dan sepak terjangnya jelas. Tidak mengada-ada. Tak sekadar retorika seperti tokoh-tokoh yang saya temui (Yang dianggap tokoh oleh sebagian besar orang di kampung saya) namun nirkarya.

Saya menyebut Bang Erwin sebagai aktivis ‘negeri’ karena kiprahnya menasional. Aktifis 98 ini turut menghajar korporasi besar yang merongrong kedaulatan dan kesejahteraan bangsa. Salah satunya melumat mafia migas yang merugikan negara triliunan rupiah. Di tingkat lokal, Bang Erwin tak segan-segan melibas pemimpin daerah yang bertindak zalim dan semena-mena.

“Edan…kok saya telat tahu ikhwal putra daerah ini,” gumam saya.

“Eh silahkan diminum kopinya,” seorang perempuan renta membuyarkan konsentrasi saya. Aroma kopi ditambah gorengan ubi kayu, sukses merehatkan logika. Lambat laun saya mafhum kalau dialah ibunda Erwin Usman.

Tunggu! Saya ingin berbagi satu hal tentang Bang Erwin. Ahmad, salah satu sahabat Erwin Usman pernah bertutur tentang alasan Bang Erwin tak memugar rumah kayu orang tuanya. Rumah itu dibiarkan sederhana. Apa adanya. Padahal, sebagai komisaris BUMN, merupakan hal yang mudah bagi Erwin Usman untuk mengistanakan gubuk itu. “Mad, saya ingin mempertahankan kesadaran bahwa saya adalah anak rakyat jelata,” kisah Ahmad mengulang ucapan Erwin Usman.

Empati, satu hal yang dititipkan Erwin Usman pada saya. Menurutnya, empati tak bisa dipelajari. Hanya bisa digapai manakala hati dibiasakan bercengkrama dengan rakyat jelata. Menjadi bagian dari mereka. Menjadi senyum yang mengambang bersama kebahagiaan mereka. Menjadi nafas yang berhembus bersama detak kehidupan mereka. Menjadi punggung tangan yang menghapus air mata penderitaan serta nurani yang berdegup bersama darah perjuangan rakyat yang tertindas.

Idealnya, empati inilah yang mesti dimiliki pemimpin hari ini.

Bang Erwin menutup bincang kami lewat cerita Bebek dan Elang. Kedua hewan itu dianalogikan sebagai citra pergerakan pemuda milenial.

Bebek sebagaimana hewan yang bergerak bergerombol. Mencari makan dengan tunduk dan menyedot lumpur. Sedangkan Elang adalah hewan agung yang mengendarai badai. Dia menyongsong angin berputar itu dengan riang gembira. Hanya melalui badailah, ia bisa mencapai langit-langit tertinggi. Elang adalah hewan sunyi, berani berjuang sendiri.

Hai pemuda, sebagai apa posisi kalian hari ini? Elang atau bebek?

Tiba saatnya elang mencengkram tikus-tikus Senayan.

Kepulauan Buton, 26 September 2018.

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos