Oleh: Bachtiar Sitanggang
Kita sebagai masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, siapakah musuh kita? Musuh adalah istilah untuk sesuatu yang dipandang sebagai yang akan merugikan atau menjadi sebuah ancaman bagi yang lain sebagai ancaman bersifat abadi. Musuh kita antara lain dapat dikatakan adalah korupsi yaitu tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Jelas pelaku tindakan korupsi adalah musuh masyarakat bangsa dan negara sebab hak-hak masyarakat menjadi terhambat terpenuhi karena disalah gunakan para koruptor, kesejahteraan masyarakat terbengkalai dan tingkat kehidupan tetap tertunda dan kemajuan di segala bidang terhambat karena dananya dikorup.
Berapa besar jumlah uang yang dikorupsikan para koruptor di Sulawesi Tenggara sesuai putusan pengadilan pertahun, berapa besar kerugian negara dan terbengkalainya penyelenggaraan pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat, sangat dahsyat hanya saja belum banyak yang menghitungnya.
Pembangunan sarana dan prasarana, pendidikan dan peningkatan kesehatan, pelestarian hutan dan lingkungan, hasil tambang yang disedot pihak tertentu dengan merugikan negara, daerah, lingkungan dan masyarakat hukum adat dan berbagai kerugian lainnya karena tindakan para koruptor itu.
Hari-hari terakhir ini, pelaku korupsi dan atau koruptor menjadi topik bahasan secara nasional berkaitan dengan patut-tidaknya koruptor atau mantan nara pidana korupsi menjadi calon wakil rakyat di DPR, DPRD Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi?
Patut-tidak atau pantas tidaknya yang diperbincangkan, karena secara hukum para koruptor telah diperkenankan Mahkamah Agung untuk menjadi calon legislatif.
Pada awalnya Mahkamah Konstitusi (MK) badan peradilan yang berwenang memeriksa dan mengadili bertentangan tidaknya suatu Undang-undang dengan pasal-pasal UUD 1945, memberi pertimbangan bahwa yang dapat membatasi hak dan kebebasan warga negara hanya Pengadilan melalui Putusan Hukum yang berkekuatan tetap. Sehingga pembentuk UU tidak boleh melarang seseorang terpidana korupsi sekalipun untuk mencalonkan diri jadi kepala daerah maupun calon legislatif.
Karenanya dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 240 huruf g menyebutkan: “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
Tetapi KPU sebagai pelaksana Pemilu mengeluarkan peraturan yaitu: PKPU No. 20 Tahun 2018 di dalam Pasal 4 ayat (3) menyebutkan: “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
Atas pasal 4 ayat (3) PKPU tersebut ada yang memohon judicial revieuw ke MA, memutuskan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, sehingga yang berlaku adalah Pasal 240 huruf g UU No. 7 Tahun 2017.
Menungu perkembangan selanjutnya, untuk sementara, putusan MA harus dihormati semua pihak, tetapi bagaimana kehadiran koruptor ini menjadi wakil rakyat, pada hal secara sah dan meyakinkan telah merugikan keuangan negara.
Pantas atau patutkah diberikan kekuasaan atau kewengan kepada orang yang sudah terbukti merugikan bangsa, negara dan masyarakat?
Tanggung jawab moral kembali kepada rakyat pemilih dan partai politik sebagai pembawa dan penyalur aspirasi masyarakat, apakah merasa perlu mendukung pemerintahan yang bersih dan berwibawa, atau “menyusupkan” koruptor ke dalamnya?
Partai sendiri mungkin menghadapi dilema mungkin karena “hutang budi”, “pengaruh uang”, sehingga tutup mata terhadap “cap koruptor” bacaleg. Masyarakat kita pelupa, sehingga tidak takut disebut sebagai partai “sarang koruptor”. Walaupun perlu diingat bahwa korupsi itu bermacam-macam ada yang tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Semua filter hukum dan lembaga moral di atas meloloskan koruptor menjadi calon DPR RI, DPRD Kota/Kabupaten dan DPRD Propinsi, terakhir keputusan di tangan rakyat pemilih. Kalau memilih bekas nara pidana korupsi atau koruptor yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan merugikan keuangan negara dan merampas hak rakyat, memilih koruptor berarti membesarkan musuh. Terserah pemilik suara saja.
Penulis adalah watawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta
Komentar