Oleh: Jerry Massie
Kerugian akibat gempa di Palu, Sigi dan Donggala ditaksir BNPB sebanyak Rp10 triliun. Coba kalau kita punya alat pendeteksi tsunami maka jumlah korban tak sebanyak yang dilaporkan.
Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas dana APBN hanya dapat membiayai 8,7% dari total kebutuhan di sektor infrastruktur, sementara negara membutuhkan anggaran infrastruktur lebih dari Rp5.000 triliun hingga 2019.
Bisa dibayangkan! Anggaran infrastruktur kita tahun 2017 dipatok sebesar Rp387,3 triliun. 2018, dana infrastruktur dicanangkan mencapai Rp409 triliun.
Sejauh ini, Rp409 triliun anggaran yang dipakai untuk 245 proyek infrastruktur dan dua program dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) hingga 2019.
Hingga Juni 2017 saja, sebanyak lima proyek telah rampung dan 130 proyek dalam tahap konstruksi. Ada 14 proyek yang dicoret Jokowi. Bukan hanya itu, ada 33 proyek pelabuhan mangkrak.
Belum lagi, pengerjaan jalur kereta api sepanjang 80 kilometer dari stasiun besar kereta api Medan menuju Besitang atau daerah perbatasan Sumatera Utara dan Aceh itu kini terlihat ditinggalkan begitu saja.
Dengan pembiayaan infrastruktur yang besar dari APBN 2018 dengan total belanja: Rp2.220,6 triliun, tapi tak mampu membeli alat pendeteksi tsunami. Pemerintah Jokowi harus menyiapkan alat ini. Jangan menunggu ribuan korban bahkan ratusan ribu baru disiapkan. Jangan lambat berpikir.
Langkah yang Tepat
Langkah yang baik selain menanam mangrove di bibir pantai bahkan laut, perlu juga menanam pohon kelapa. Pasalnya, pohon ini banyak membantu saat terjadi tsunami.
Hampir sebagian wilayah Indonesia ternyata berada pada Ring of Fire. Jadi sangat rentan terkena bencana baik itu gempa bahkan tsunami.
Indonesia tak belajar pada peristiwa tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 berkekuatan 9,1 Skala Richter.
Akibat Gempa dan tsunami di Aceh tercatat lebih dari 230 ribu korban. Korban tersebut tersebar di 14 negara yang juga terkena dampak dari gempa dan tsunami tersebut. Indonesia sendiri, terdapat 160 ribu jiwa menjadi korban.
Sementara, korban gempa Palu dan Donggala seperti dikabarkan sudah mencapai 1424 orang. Atas kejadian ini, maka pemerintah mulai saat ini harus think out of the box. Jangan hanya lagi berpikir membangun jalan tol dan jembatan tapi lebih membeli alat pendeteksi tsunami.
Menurut BNPB alat ini sudah tak berfungsi sejak 2012 lalu. Menurut saya nyawa manusia lebih berharga dari pembangunan infrastruktur. Saat ini Jokowi mulai change the concept (merubah konsep).
Jadi what the matter most or first things first (hal-hal utama) yang harus dilakukan, yaitu menyiapkan alat pendeteksi tsunami atau early warning system. Masakan alat ini tidak bisa dibeli. Anggaran untuk pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali sebanyak Rp1 triliun saja bisa apalagi dengan alat ini.
4 model alat pendeteksi tsunami:
1) Accelerometer
Fungsinya merekam dan mencatat gelombang gempa.
2) GPS geodetik dan Tide Gauge
Alat ini difungsikan untuk tujuan mitigasi gempa. Sedangkan tide gauge bertujuan untuk mendeteksi pasang surutnya air laut pasca terjadinya gempa bumi.
3) Buoy
Alat yang berfungsi sebagai penanda yang dipasang di laut.
4) Sistem Komunikasi Accelamator, GPS, Tide Gauge dan Buoy
masing-masing alat menghasilkan data.
Belajarlah ke Chili, negara terkuat dalam penanganan masalah gempa dan tsunami.
Dikutip dari The Guardian, ketika gelombang tsunami setinggi 4,5 meter menerjang Coquimbo pada 16 September 2010, lingkungan tempat tinggal para nelayan hancur disapu gelombang.
Tak kurang dari 200 perahu hancur, beberapa diantaranya terseret ke laut, dan sebagian lainnya menumpuk di darat bak tumpukan kayu bekas.
Kendati wilayah tersebut dihuni sekitar 150.000 orang, saat peristiwa ini terjadi hanya 13 orang yang meninggal dunia. Sembilan di antaranya adalah warga Coquimbo dan empat lainnya adalah warga yang tinggal di wilayah lain di Chile.
Lantas mengapa hanya 13 orang yang meninggal pada saat gempa bermagnitudo 8,4 terjadi? Sementara di beberapa belahan dunia lain, seperti Haiti, Nepal, bahkan Indonesia, yang mengalami gempa dengan magnitudo lebih lemah tetapi menimbulkan korban lebih banyak? Ternyata mereka menggunakan metode “Chile Prepares”.
Di mana bagian utama dan yang paling penting adalah latihan evakuasi. Setiap tahun negara ini minimal menjalankan enam hingga tujuh evakuasi di semua wilayah.
Selain Chile ada pula Jepang. Negara ini punya alat canggih yang dikenal dengan broadband Strong Motion Meters, yang terpasang di 80 titik di Jepang. Perangkat ini akan mendeteksi gelombang seismik dalam cakupan yang luas yang diakibatkan gempa bumi.
Teknologi ini didukung operasional berskala besar untuk memastikan warga yang tinggal di area paling berisiko dapat menerima peringatan tsunami serius dalam waktu 3 menit.
Sedangkan berpikirnya lambat dan tidak belajar peristiwa tsunami di Aceh. Tak salah pemerintah membangun insfrastruktur, tapi ketika ada gempa dan tsunami maka semua yang dibangun itu hancur lebur dilulu-lantahkan gempa.
Padahal, Indonesia sedang membangun bekerja sama dengan Yayasan Sains Nasional Amerika Serikat terkait pengembangan sistem teknologi canggih yang terdiri dari sensor bawah laut, pengumpulan data lewat gelombang suara, serta kabel optik.
Bayangkan jumlah total Pulau di Indonesia sebanyak 14.572. Jadi, penduduk kita tinggal di pulau-pulau bahkan pesisir yang rentan dengan tsunami.
Mulai saat ini, pemerintah lebih fokus ke penyedian alat pendeteksi tsunami ketimbang membangun infrastruktur yang wah! Nyawa manusia lebih berharga dari infrastruktur. Langkah preventif perlu dilakukan.
Lakukanlah metode: Cepat, Tangkas dan Tanggap (CTT).
Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik – Indonesian Public Institute (IPI)
Komentar