Turbulensi tidak hanya terjadi pada pesawat yang sedang mengudara, tapi turbulensi juga menyerang maskapai penerbangan karena tekanan harga avtur. Kenaikan harga bahan bakar pesawat (avtur) di Indonesia sangat tinggi. Sejumlah maskapai penerbangan sampai membatalkan rute terbang tujuan dalam negeri. Tidak tanggung-tanggung wisatawan lebih memilih berwisata ke luar negeri daripada berwisata di negeri sendiri. Sungguh ironis jika harga tiket pesawat Indonesia jauh lebih tinggi dari internasional flight.
Gejolak Tingginya Avtur dan Solusi Pemerintah
Berdasarkan data dan informasi dari pihak penyedia angkutan udara, diketahui jika tingkat kenaikan biaya transportasi udara 2019 dibandingkan dengan 2018 rata-rata mencapai 183 persen. Terdapat beberapa indikator yang menyebabkan pihak maskapai penerbangan menaikkan tarif biaya cargo yaitu kenaikan biaya avtur sebesar 40 persen dan pelemahan kurs rupiah hingga 14 persen. (Merdeka.com, 14/02/2019).
Mahalnya harga tiket pesawat dan kargo (bagasi berbayar) berdampak luas terhadap perekonomian masyarakat dalam negeri. Pertama, dampak yang terlihat pada ekspor perikanan yang terhenti. Harga jual produk perikanan tidak sebanding dengan biaya logistik. Padahal, distribusi dalam sektor perikanan masih mengandalkan jalur udara dengan memanfaatkan jasa kargo. Kedua, berdampak pada sepinya hotel. Restoran penjual makanan dan minuman tujuan wisata pun turut terkena imbasnya. Ketiga, perusahaan logistik gulung tikar.
Terhitung 18 perusahaan pengiriman ekspres pos dan logistik di wilayah Sumatera tutup. Penutupan ini akibat tarif Surat Muatan Udara (SMU) naik hingga 330 persen. Keempat, menghantam sektor pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawan mengalami penurunan drastis akibat harga tiket pesawat yang tinggi.
Harga tiket pesawat dan kargo yang melangit membuat masyarakat menjerit. Sektor perekonomian kian lesu. Mengapa harga bahan bakar pesawat (avtur) di Indonesia menjadi lebih mahal daripada harga internasional? Pertamina adalah satu-satunya pihak tertuduh, karena merupakan perusahaan tunggal penyedia avtur bagi maskapai penerbangan di seluruh Indonesia.
PT Pertamina mengklaim harga Avtur yang berlaku saat ini sudah menyesuaikan dengan formula yang ditetapkan Kementerian ESDM. Artinya, avtur sesuai dengan formula baru, sehingga lebih mahal tapi masih dalam batas wajar. Presiden Joko Widodo pun buka suara soal polemik harga avtur yang dinilai mahal karena monopoli PT Pertamina.
Presiden menganggap solusi terbaik untuk mengatasi polemik harga avtur adalah dengan menghentikan pertamina sebagai perusahaan tunggal dalam menjual avtur. Sehingga memberikan peluang kepada perusahaan lain untuk menjual avtur dengan harga yang lebih kompetitif. Dengan memasukkan pemain swasta untuk menjual avtur di bandara, maka harga akan bersaing. Dengan solusi tersebut diharapkan harga avtur kembali stabil.
Aturan masuknya perusahaan swasta migas dalam menjual migas (termasuk avtur) telah tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 17 K/10/MEM/2019 dan Aturan Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) Nomor 13/P/BPH Migas/IV/Tahun 2008.
Solusi memasukkan perusahaan swasta migas untuk menstabilkan harga avtur hanya ada dalam paradigma sistem kapitalis. Cara pandang ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum transportasi (termasuk bahan bakar migas) yang seharusnya dikelola oleh negara pun dikuasai oleh perusahaan swasta yang mempunyai fungsi bisnis, bukan fungsi pelayanan. Hal ini menjadikan negara tidak berpihak untuk melayani rakyat.
Pengurusan negara dalam sistem kapitalisme akan sangat berbeda dengan sistem Islam. Hal ini dikarenakan penguasa dalam sistem Islam memiliki paradigma bahwa mereka adalah pelayan rakyat. Rasulullah saw bersabda “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR Ibn Majah dan Abu Nu’aim). Mereka pun memahami sabda Rasulullah saw bahwa “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Sehingga terkait pengelolaan sumberdaya alam (termasuk migas) yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak akan diserahkan kepada perusahaan asing. Islam menetapkan bahwa negara memiliki hak untuk memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang dan api (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Baihaqi).
Hadits di atas menjelaskan tentang kepemilikan umum, yaitu kepemilikan rakyat. Air (seperti sungai, laut, pantai, danau); padang yang luas di gunung, dataran, sabana dan hutan; api dengan makna sumber api seperti hutan kayu, tambang batubara, minyak dan gas; semuanya adalah milik umum, milik rakyat. Dan juga barang tambang dari berbagai mineral seperti besi, tembaga, fosfat, uranium, emas, perak dan lainnya. Ini tidak boleh diserahkan kepada swasta atau golongan. Ini merupakan kepemilikan umum yang semata mata digunakan untuk kepentingan rakyat.
Begitupun dengan keberlangsungan transportasi akan dijamin oleh Islam. Negara akan memfasilitasi sarana transportasi dengan baik, murah, terjangkau, bahkan gratis. Rakyat tidak akan dipusingkan oleh melambungnya harga tiket karena bahan bakar transportasi akan disuplay penuh oleh negara. Negara akan memanfaatkan pengelolaan migas semata-mata hanya untuk rakyat. Serta negara berbasis Al-Qur’an dan As-sunah akan memiliki kemandirian ekonomi yang tidak akan terpengaruh oleh lemah atau kuatnya dolar AS, karena menggunakan dinar dan dirham sebagai mata uang.
Jika Islam telah menawarkan kesempurnaan konsep mengenai pengaturan urusan rakyat, Mengapa kita masih enggan untuk menggunakannya dan kokoh pada paradigma kapitalisme? Bukankah hidup kita akan makmur dan tentram jika penguasa negeri ini menjadikan fokus utamanya adalah hajat hidup orang banyak (rakyat), bukan kepentingannya. Maka mari kita kembali pada Islam, sambut seruan Allah dengan menjadikan satu-satunya hukum yang wajib diterapkan dan ditaati hanyalah hukum Allah SWT, hukum sang pencipta dan penguasa alam semesta. Bukan hukum buatan manusia yang penuh hawa nafsu. Hanya dalam sistem Islam, kemakmuran dan ketentraman akan terwujud. Wallahu’alam bi ash-ashowab.
PENGIRIM: ERNI YUWANA (PEMERHATI MASALAH SOSIAL)
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar