Kerusakan generasi muda semakin hari semakin memprihatinkan bak bola salju yang terus membesar dan terus menggelinding. Hal yang sangat memprihatinkan adalah sebagian besar kerusakan terjadi pada generasi remaja, generasi yang biasa disebut-sebut sebagai agent of change, ataupun agent of control. Generasi yang digadang-gadangkan sebagai agen perubahan kini tak bisa diharapkan lagi kontribusinya.
Efek dari penerapan sistem kapitalis ini adalah lahirnya generasi kriminal. Pasalnya kebebasan adalah hal yang menonjol dalam konsep kapitalisme ini. Kebebasan ini mewujud dalam empat hal : beragama, berpendapat, bertingkah laku dan berpemilikan. Jadilah halal dan haram tidak menjadi ukuran perbuatan dalam konsep kapitalis. Orang menjadi sedemikian mudah untuk melakukan kejahatan, termasuk mengeksploitasi anak-anak.
Maraknya kasus kriminalitas di kalangan generasi muda sampai dalam bentuk penghilangan nyawa berulang terjadi di negeri ini. Padahal pemerintah telah memasukkan pendidikan berkarakter dalam kurikulum pendidikan. Maksud dari pendidikan berkarakter atau pendidikan moral (moral education) dalam konteks sekarang diharapkan sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita.
Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Disamping itu pemerintah di masa Presiden sekarang juga mengkampanyekan pentingnya revolusi mental pada bangsa ini. Revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinil bangsa Indonesia, yaitu bangsa berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotongroyong. Berbagai model kampanye revolusi mental tersebut telah dilaksanakan diberbagai sekolah.Tapi kriminalitas remaja terus terjadi menimpa negeri ini.
Paradigma yang salah sejak lama telah tertanam dalam benak para remaja. Bahwa kehidupan yang mereka jalani untuk mendapatkan kesenangan, just having fun. Gadget, motor, pakaian yang selalu up to date ditambah keberadaan pacar selalu menjadi standar kesenangan mereka. Remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri selalu ingin mencoba segala hal yang baru dan menjadikan berbagai kesenangan materi tadi sebagai tujuan hidup mereka.
Sehingga wajar jika pendidikan berkarakter di bangku sekolah ataupun gerakan revolusi mental seakan sulit berhasil karena belum menyentuh perubahan pola fikir yang mendasar bagi para remaja. Masih hanya sebatas niai-nilai kebaikan yang disampaikan tapi belum mampu membrikan kesadaran yang bagi mereka. Ditambah lagi kondisi tersebut diperparah oleh dukungan lingkungan.
Potret buram ini menjadi salah satu bukti bahwa generasi muda saat ini tengah diambang kerusakan yang sangat besar. Tentunya berdiam diri bukanlah solusi yang tepat dalam menghadapi permasalahan ini. Nyatanya sudah banyak elemen masyarakat yang fokus dan melakukan berbagai edukasi untuk menyelesaikan masalah generasi saat ini, hanya saja mayoritasnya belum mampu melihat apa yang menjadi akar masalahnya, sehingga berbagai upaya yang dilakukan hanya berujung pada terulangnya masalah-masalah yang serupa.
Solusi tuntas untuk memberantas kriminalitas tidak lain dengan meninggalkan hukum buatan manusia dan kembali kepada aturan Allah SWT. Sistem kehidupan Islam dinilai mampu mencegah terjadinya tindak kriminalitas. Dari waktu ke waktu, kriminalitas semakin meningkat, baik dari segi kuantitas, kualitas, maupun kompleksitasnya. Peningkatan angka kriminalitas semakin memprihatinkan, bahkan bentuknya sudah berada di luar batas kemanusiaan dan akal sehat.
Kerusakan generasi pada hakikatnya disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan dan tak bisa dipisahkan. Bukan hanya masalah keluarga atau pendidikan saja, namun melibatkan faktor-faktor lain seperti sosial, ekonomi, budaya dan politik yang menjadi lingkungan bagi keluarga dan institusi pendidikan. Maka dapat ditarik sebuah benang merah yang menghubungkan ketiganya bahwa permasalahan generasi merupakan permasalahan yang sistemik.
Pertama, faktor ketahanan keluarga yang saat ini didominasi oleh paham kapitalis menempatkan materi sebagai standar kebahagiaan keluarga, sehingga dampaknya keluarga menjadi miskin visi. Hidup mereka hanya didominasi oleh upaya untuk sekedar mengumpulkan harta dan kesenangan sesaat. Suami dan istri sama-sama disibukkan oleh kerja dan karir hingga mereka lupa peran dan kewajibannya yang hakiki sebagaimana telah diatur oleh hukum-hukum syara’. Dari sini, mulailah keluarga menjadi pincang. Anak-anak kehilangan pegangan, kehilangan panutan dan sedikit demi sedikit lepas kontrol.
Di sisi lain, nilai-nilai agama semakin terkikis dan menjauh dari keluarga oleh paham sekular. Agama dihayati hanya sebatas ibadah ritual belaka dan kehilangan ruhnya sebagai pedoman dan peraturan hidup. Maka tak heran apabila keluarga kehilangan orientasi hidupnya sehingga nasehat amar ma’ruf nahi munkar antara orangtua dan anak menjadi semakin langka. Hubungan antara orangtua dan anak menjadi kendor. Walhasil ketahanan keluarga menjadi hancur dan rapuh.
Kedua, faktor edukasi publik atau kontrol masyarakat yang harusnya mampu menguatkan suasana keimanan dan ketaatan masyarakat terhadap Islam dan hukum-hukumnya sudah tercerabuti oleh sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, edukasi public justru menjadi sarana penyebaran virus materialis dan hedonis. Gaya hidup yang mengedepankan kesenangan dan kenikmatan materi ini adalah sarana bagi kaum kapitalis untuk memastikan barang-barang produksi mereka laris manis di pasaran.
Ketiga adalah faktor sistem pendidikan sekuler yang diterapkan dalam institusi pendidikan saat ini. Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum sekuler. Artinya, Islam hanya dipahami sebagai agama yang mengatur urusan akhirat saja, bukan sebagai sistem kehidupan yang mengatur dan memberikan solusi atas setiap persoalan kehidupan manusia. Kurikulum pendidikan menjadi sarana menyebarluaskan paham-paham sesat arahan Barat seperti pluralisme dan liberalisme. Apabila pemikiran semacam ini sudah terinstall dalam benak para pemuda, akan mudah bagi Barat untuk menancapkan hegemoni ideologinya di negeri muslim terbesar ini. Islam hanya dijadikan sebagai baju luar saja, namun pemikiran yang diemban adalah pemikiran Barat.
Maka selama sistem kapitalis yang mendominasi warna negara ini tidak di hapuskan, maka selama itu pula semua persoalan kerusakan generasi yang terjadi tidak akan bisa terselesaikan secara tuntas. Oleh karena itu, sudah saatnya kita berpaling dari sistem kapitalis-sekuler dan kembali kepada sistem Islam yang telah Allah jadikan sebagai solusi bagi setiap permasalah kehidupan. Alhasil penerapan syariah yang agung itu jelas membutuhkan institusi Khilafah dan tidak mungkin diterapkan dalam sistem hukum selainnya. Karena itu umat Islam wajib untuk bersegera menerapkan syariah Islam secara total dalam naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
PENGIRIM: RISNAWATI, STP (STAF DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KOLAKA)
PUBLIKASI: MAS’UD