Sebelum menanggapi wacana anti toleransi sehingga dibutuhkan penghapusan sebutan kafir. Kami akan memberikan gambaran tentang kehidupan Suku Tengger dengan warna agama yang bermacam-macam namun mempunyai toleransi tinggi.
Suku Tengger adalah suku yang berada di sepanjang lereng gunung Bromo yang meliputi beberapa wilayah seperti Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang di provinsi Jawa timur. Ada beragam agama dalam suku Tengger seperti Islam, Kristen dan Hindu. Agama Hindu adalah agama mayoritas Suku Tengger. Namun walau berbeda agama, kami hidup dalam suasana rukun, saling menghormati, saling mengasihi, saling menghargai, saling menyayangi. Ya, walau berbeda agama.
Tak sedikit dalam satu keluarga besar mempunyai multi agama (agama yang berbeda). Tak luput juga keluarga kami. Ya, keluarga kami multi agama. Jadi, dalam keluarga besar kami terdapat beragam agama, baik Kristen, Hindu maupun Islam. Kami saling menghargai antara satu agama dengan agama lain. Agama lain pun menghargai Islam sebagai agama kami walaupun Islam agama minoritas di Suku Tengger. Kami juga saling menjaga makanan satu sama lain, dalam artian ada makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh orang Islam seperti babi dll. Pakaian syar’i dan ketidakhadiran kami dalam perayaan agama lain pun tidak di permasalahkan dan bukan menjadi masalah bagi Suku Tengger. Indah dan tinggi bukan toleransi yang ada di Suku Tengger?
Tanggal 7 Maret 2019 bertepatan dengan perayaan Nyepi bagi agama Hindu. Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan,
Menurut orang Tengger, nyepi adalah “PATI GENI” yang berarti didalamnya mereka harus berpuasa selama 24 jam dan tidak boleh melihat api ataupun benda benda yang menyala seperti HP, televisi dll. Saat Nyepi, wilayah tengger seluruhnya harus dalam keadaan gelap. Listrik seluruh wilayah Tengger dipadamkan dari pusat untuk menghormati Suku Tengger yang beragama Hindu. Kaum muslim masih bisa melaksanakan aktivitasnya dan tidak ada keluh kesah dari bibir kaum muslimin. Itu adalah hal yang biasa bagi kami.
Saat Nyepi, wisata Bromo di tutup. Wilayah Tengger yang tidak ada penduduk muslim di dalamnya, maka kendaraan dilarang lewat dan melintas. Semata-mata agar suasana Nyepi kondusif dan syahdu. Tapi jika masih ada penduduk muslim atau yang lain dalam wilayah tertentu masih di perbolehkan menggunakan kendaraan. Tapi tetap harus menjaga adab dan akhlak yang baik. Inilah kehidupan Tengger.
Dan sering sekali Dalam kutbah-kutbah kaum muslim terdengar kata penyebutan ‘kafir’. Akan tetapi hal itu tidak menjadi masalah dan tidak ada pertentangan dari kaum mayoritas Hindu di Tengger. Sebab kaum muslimpun juga tidak mengusik ceramah-ceramah di tempat ibadah mereka.
Sungguh ironis jika suku tengger yang mayoritas bukan agama Islam tidak mempermasalahkan penyebutan Kafir (dalam kajian atau khutbah umat muslim), malah mereka yang tinggal di mayoritas muslim justru mempermasalahkan sebutan dari Allah tersebut. Mereka hendak mengajarkan penyebutan yang mereka anggap lebih bagus daripada penyebutan yang diberikan oleh sang pencipta, Allah SWT. Mereka hendak menandingi Allah sebagai sebaik-baik pemberi sebutan.
Hendaklah kita sebagai masyarakat harus tetap bijak mengenai persoalan ini. Toleransi adalah menghargai bukan mengikuti peribadatan agama lain. Toleransi boleh tapi jangan sampai mengorbankan aqidah dan mengotak atik aturan Allah. Sudah seyogyanya seorang muslim harus tetap teguh dalam syari’at Allah SWT. Belajarlah dari Suku Tengger bahwa toleransi tetap berjalan dengan penuh kemuliaan dan ketinggian adab tanpa harus ada penghapusan kata kafir. Karena kata kafir adalah bagian kitab suci umat Islam yang tertulis di dalamnya 525 kali. Wallahu a’lam bi ash showab.
PENGIRIM: IKA UMMU AL FATIH AKTIVIS MUSLIMAH SUKU TENGGER
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar