Keputusan Gubernur Sultra Bukan Angin Surga

Gubernur Sultra, H. Ali Mazi FOTO: MAS’UD

Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi SH cepat tanggap mendinginkan situasi sekaligus meyakini bahwa ada yang tidak beres sehingga membekukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) 15 perusahaan di Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan.

Ali Mazi menyikapi unjuk rasa masyarakat Wawonii yang tergabung dalam Forum Rakyat Sulawesi Tenggara Bela Wawonii (FRSBW) Senin (4/3) dan mahasiswa Rabu (6/3) yang menuntut pencabutan IUP perusahaan tambang serta mencopot Kepala Satpol PP, dua-duanya dikabulkan Ali Mazi, Selasa kemarin.

Iklan Pemkot Baubau

Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan luas daratannya 867,58 Km2 dari 1.513,98 Km2 luas wilayah dengan penduduk 30.396 jiwa (tahun 2016), ada 18 IUP bagaimana ruang gerak penduduk pulau itu. Ke-18 IUP tersebut dikeluarkan sejak 2007-2013, 15 dibekukan dan tiga sudah game over (selesai) menurut Gubernur. Izinnya dibekukan sementara dan mencari tahu bagaimana izin itu bisa keluar. Pada hal izin-izin itu keluar pada masa bhakti Bupati Lukman Abunawas yang sekarang sebagai Wakil Gubernur.

Walau pembekuan 15 IUP tersebut sementara dan masih akan panggil para pemegang IUP itu satu persatu kenapa bisa keluar izinnya, artinya izin-izin itu harus diaudit apakah melangggar peraturan atau tidak, sebab gubernur juga tidak boleh menabrak UU, tetapi kepentingan masyakat yang harus diutamakan.

Data di Pertambangan, perusahaan tambang nikel dan kromit Wawonii total luas lahan IUP sebanyak 23.373 hektare atau 32,08 persen dari total luas daratan Kepulauan Wawonii yang mencapai 73.992 hektare. Pengunjuk rasa berpendapat, merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dengan perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pulau kecil dengan panjang kurang dari 2 ribu kilometer dilarang untuk aktivitas penambangan pasir dan mineral pada wilayah teknis, ekologis sosial dan budaya karena akan menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta merugikan masyarakat.

Bahkan menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra Saharuddin menyebutkan bahwa selain Pulau Wawonii, Pulau Kabaena juga tidak diperuntukan bagi eksplorasi pertambangan, akan tetapi pulau-pulau kecil ini hanya untuk pertanian, perikanan dan pariwisata.

Sikap Gubernur harus didukung semua pihak, dan jadi pelajaran bagi bagi Pemerintah Provinsi dalam member izin-izin usaha, juga bagi anggota DPRD harus tanggap terhadap aspirasi rakya. Provinsi dan DPRD Kabupaten untuk tanggap sehingga tidak sampai menimbulkan amarah masyarakat.

Rakyat berharap pembekuan sementara 15 IUP itu oleh Gubernur tidak hanya “angin surga” atau pelipur lara semata, tetapi benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat.

Tugas Gubernur tidak hanya menata Wawonii, sebab menurut data di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Sultra, Daftar Kepatuhan Pemegang IUP CNC Mineral Logam dan Batu Bara sampai tahun 2019 di Prov. Sultra ada 241 perusahaan. Anehnya ada satu orang Direktur/Komisaris memiliki 12 IUP walau beda-beda perusahannya.

Satu grup perusahaan memiliki 10 IUP dengan nama perusahaan beda-beda, kemudian satu orang memiliki 8 IUP dengan perusahaan berbeda; satunya lagi satu orang memiliki 7 IUP untuk berbagai perusahaan, satu 6 IUP, empat orang masing-masing 5 IUP; tiga orang masing-masing 4 IUP serta Sembilan orang masing-masing 3 IUP serta 18 orang masing-masing 2 IUP dan 95 perusahaan masing-masing satu IUP.

Kalau melihat banyaknya perusahaan tambang di Sultra kalau dikelola dengan baik serta diawasi sesuai peraturan perundang-undangan rakyat Sultra sudah harus makmur sejahtera. Kalau biasa-biasa saja, kemana hasil kekayaan alam itu? Ketidak beresan dalam mengelola dan membina daerah harus dimulai dari sekarang, belajar dari masa lalu, ambil hikmahnya, tidak harus antri menghadapi meja hijau.

Menoleh ke belakang, Pemprov Sultra harus mengintrospeksi diri mulai audit perijinan, awasi produksi, intensifkan cukai, pajak dan retribusi. Kekayaan alam dan isinya adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tidak untuk pemilik modal dengan meninggalkan lobang-lobang maut bekas penambangan.

Ali Mazi dengan mudah menertibkan daerahnya dengan memulai penerapan peraturan perundang-undangan serta taat hukum, etika dan moral bagi semua pihak, ASN, pengusaha dan perusahannya dengan disiplin dan profesionalnya aparat penegak hukum.
Dengan demikian mekanisme kerja dan manajemen berjalan dengan baik, tetapi seperti yang sering dikemukakan Prof. Dr. Sahetapi SH, bahwa ikan busuk itu dimulai dari kepalanya.

Sebaliknya, kalau kepalanya sehat dan bersih, tubuh dan ekornya juga akan menurut. Janji kampanye, adalah untuk mensejahterakan rakyat kalau terpilih dan sudah terpilih jadilah pelayan masyrakat dan bukan untuk dilayani rakyat. Rakyat Sultra menunggu adil, makmur dan sejahtera.***

Penulis: Bachtiar Sitanggang SH.
Wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.

PUBLISHER: MAS’UD

Komentar