Menjaga Marwah Guru

Guru merupakan aktor utama yang berperan sentral membangun bangsa. Untuk menjadi bangsa yang perperadaban tinggi, tak terlepas dari kepiawaian sosok guru. Dari tangan dingin merekalah lahir sederet nama besar yang turut mengisi lembaran sejarah peradaban bangsa ini. Tak bermaksud mengecilkan profesi lain, namun tak terpikir andai bangsa ini tak memiliki sosok guru, entah bagaimana jadinya bangsa kita. Boleh jadi kita masih terjajah hingga hari ini.

Dari waktu ke waktu, profesi guru disadari memang telah banyak mengalami pasang surut. Peradaban bangsa yang kita nikmati hingga hari ini adalah buah tangan dari keikhlasan para guru. Semangat tanpa pamrih dan kesederhanaan adalah kunci kesuksesan mereka. Semangat inilah rupanya yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar walaupun mereka tak memiliki pundi-pundi materi sebagai imbalan dari jerih payah mereka. Mereka juga sadar bahwa profesi guru tak akan mampu menjadi keluarga hidup berkelebihan dan memiliki status sosial yang tinggi. Sehingga wajar kemudian sosok guru diabadikan dalam sebait lagu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Meskipun istilah ini dianggap sudah tak relevan lagi saat ini.    

Namun itu dulu. Ya dulu sekali. Belakangan ini seiring berjalannya waktu, profesi guru tak lagi dipandang sebelah mata. Pasca diundangkan melalui UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesi guru seolah menemukan kembali jati dirinya. Profesi guru mencapai puncak klimaksnya saat guru PNS yang telah tersertifikasi dapat menerima dua kali gaji pokok melalui tunjangan profesi. Angkanya pun terbilang fantastis. Bisa menembus hingga 7 sampai 8 jutaan perbulan. Demikian pula guru non PNS, merekapun mendapatkan penghasilan minimal 1,5 juta perbulan dan atau setara dengan penghasilan PNS. Tak heran, hampir semua rumah guru PNS yang sudah senior biasanya terdapat garasi untuk memarkir kendaraan roda empat.

Wajarlah kemudian profesi guru muncul sebagai the new hight social class. Profesi ini tampaknya mulai dilirik oleh banyak orang. Animo masyarakat terhadap profesi guru cukup tinggi. Jumlah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Pendidikan (FKIP) di berbagai universitas pun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan jumlah mahasiswa FKIP pada umumnya lebih banyak dibandingkan fakultas lainnya.

Namun faktanya, kesejahteraan guru belum berbanding lurus dengan peningkatan profesionalismenya. Sejauh pengamatan penulis, kesejahteraan yang diterima guru tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kompetensi dan profesionalitasnya. Rupanya tunjangan yang diterima guru tersebut hanya sebagian kecil (nyaris tidak ada) yang digunakan dalam rangka untuk pengembangan kapasitas diri dan kualitas proses pembelajaran di kelas. Misalnya untuk membeli laptop, mengikuti seminar, workshop dan sebagainya. Sehingga kualitas menyajikan pembelajaran hampir tak ada perbedaan dengan guru yang belum bersertifikat. Sungguh ironis. Bahkan sebuah riset yang disajikan oleh Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menemukan tingkat kemangkiran dari tugas guru masih cukup tinggi sebesar 31,5 %, dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah harus menyetor cicilan mobil, sehingga tak jarang ada guru yang harus nyambi menjadi profesi lain demi menutupi defisit keuangannya.   

Prosentase angka kemangkiran dari tugas guru tersebut berpotensi bertambah. Sebab daerah 3 T (Tertinggal, Terdepan  dan Terluar) dan beberapa daerah di pelosok yang sulit terjangkau, fungsi-fungsi kepengawasan dari pihak terkait pada umumnya tidak berjalan secara efektif. Sehingga potensi angka kemangkiran dari tugas guru cukup terbuka lebar.

Ini tentu menjadi problem tersendiri. Performa guru yang rendah akibat fungsi kepengawasan yang tidak berjalan maksimal. Hal ini yang juga menjadi kendala adalah rendahnya kompetensi pengawas. Sehingga acapkali pengawas hanya sekedar formalitas berkunjung ke sekolah tapi tidak dibarengi produktivitas.

Lemahnya pengawasan dari pihak terkait (pengawas dan kepala sekolah) dan tata kelola kelembagaan sekolah dan leadership pimpinan yang lemah serta ditambah dengan kurangnya kesadaran dari guru itu sendiri terhadap tugas dan tanggung jawabnya menjadi biang kerok penyebab rendahnya mutu pendidikan kita. Belum lagi pola rekruitmen dan lulusan tenaga pendidik yang memang masih sangat instant, menambah benang kusut penanganan sistem pendidikan kita. Karenanya, penulis menduga ada problem serius dengan sistem dan kualitas pendidikan yang harus segera ditangani secara apik.

Dalam konteks ini penulis ingin menggarisbawahi bahwa guru tidak sekedar memiliki tanggung jawab secara konvensional melalui tatap muka di kelas. Apalagi sekedar menggugurkan kewajiban. Datang, duduk, diam lalu pulang. Tetapi guru-guru hebat apabila mereka memiliki kesadaran yang mendalam tentang tugas dan fungsi guru untuk menguatkan pendidikan, memajukan kebudayaan serta membangun kepribadian dan karakter menuju peradaban bangsa.

Di samping itu, fungsi pengawasan akademik dari pihak terkait (pengawas dan kepala sekolah) harus terus dipacu demi peningkatan mutu pendidikan. Fungsi pengawasan di sini termasuk kedisiplinan guru, kompetensi kepribadian dan sosial guru sampai kepada model dan rancangan pembelajaran yang efektif. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah mereka harus terus mendorong optimisme dan semangat para guru mencerdaskan anak-anak bangsa. Sinergitas inilah yag diperlukan dalam menguatkan pendidikan kita. Semoga guru-guru kita dapat terus menjaga marwahnya sebagai profesi yang mulia, menghantarkan generasi bangsa untuk meraih masa depan yang lebih baik.  Wallahu a’lam bi al-shawaab

PENULIS: IRWAN SAMAD KEPALA MA. ASY-SYAFI’IYAH KENDARI

PUBLISHER: MAS’UD

Komentar