“ . . . Di jalanan, pangkalan ojek, warung makan, toilet umum, di dunia maya hingga Senayan, pembicaraannya kan hanya politik 2019. Ada kubu yang menyerang ada kubu lain yang bertahan. Di saat lain, kubu yang diserang juga menyerang. Akibatnya kan saling menyerang. Bukankah ini bela diri? Bela diri politik?”
SEWAKTU di kampung dulu salah satu dari ketiga bersaudara tak sedarah itu, Arno, pernah belajar bela diri. Kejadian itu sudah cukup lama. Kalau diingat- ingat lagi mungkin sudah belasan tahun lalu. Ia belajar banyak bela diri, baik bela diri modern maupun tradisional, di antaranya Kempo, Taekwondo, Karate, Silat Kampung dan Balaba.
Apakah dia menamatkan semua jenis itu? Sayang sekali tidak. Tak ada satu pun yang ia tamatkan benar-benar. Ia mengaku hanya sebatas ikut-ikutan saja. Pasalnya, saat itu di kampungnya sedang demam bela diri. Kalau menggunakan istilah zaman sekarang, bela diri sedang “viral” saat itu. Apa itu viral? Apakah sesuatu yang booming secara tiba-tiba, padahal sebelumnya tidak dikenal? Tidak. Viral bukan itu. Viral adalah sesuatu yang akan segera berlalu. Makhluk bernama viral tiba-tiba muncul dan tiba-tiba juga hilang. Di negeri tempat Arno hidup, baik berita tak penting maupun berita sepenting apapun hanya bisa bertahan dalam durasi waktu yang sangat singkat, satu minggu. Selebihnya menjadi sampah. Kemudian terganti lagi dengan viral baru. Artinya, sampah baru.
“Arno, menurutmu bela diri itu apa?”, sambar Karni. “Menurutmu apa Kar?”
“Lho kok tanya balik? Kan aku duluan yang tanya”
“Emang salah kalau saya tanya balik? Itu kan hak saya. Lagian tidak ada salahnya kan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Pegadaian saja menjawab masalah tanpa masalah. Kalau tidak bisa selesaikan masalah, minimal jangan bikin masalah baru apalagi menjadi masalah itu sendiri.”
“Iya juga sih”, tanggap Karni mengalah sembari melanjutkan “kalau menurut saya bela diri itu ya semacam yang kamu pelajari beberapa tahun silam di kampungmu itu. Gerakan tangan, tubuh dan kaki yang menyerang itu loh.”
“Kalau ilmu bela diri itu apa Kar? Apakah sama ilmu bela diri dan bela diri?
Kalau sama kenapa harus dua kan cukup satu saja?”, Arno lanjut bertanya.
“Gantian ya, kali ini saya yang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Biar impas gitu. Menurutmu bagaimana?”
Dalam hati Arno bergumam “sialan . . kena batunya”. Memang hidup itu penuh keseimbangan. Keseimbangan itu hukum alam. Kalau kita memberi pasti suatu saat kita juga akan menerima. Kalau kita menyakiti berarti suatu saat kita juga akan disakiti. Hukum alam dengan tata kosmos keseimbangannya harus ada. Bila tidak ada, maka alam semesta tidak akan berlanjut. Kacau balau. Atau kalau pakai bahasa Matematika, ketidakstabilan sebenarnya berada dalam kestabilan. Matematika bukanlah ilmu hitung. Ia ilmu tentang bagaimana menemukan pola-pola yang awalnya tidak berpola menjadi berpola. Begitu pula dari tidak seimbang menjadi seimbang. Okay, Matematika adalah alat tenun alam semesta oleh Sang Pencipta.
“Menurut saya”, jawab Arno tanpa senyum “bela diri berbeda dengan ilmu bela diri. Bela diri itu urusannya dari dalam ke luar. Sedangkan ilmu bela diri itu urusannya dari luar ke dalam. Kalau yang kita kuasai hanya jurus-jurus, kita masih berada di tataran bawah ilmu bela diri yang tinggi itu. Puncak dari ilmu bela diri adalah membela diri. Bukan menyerang. Ia hanya sekedar membela diri. Tidak ada kosakata menyerang dalam ilmu bela diri. Kalau sekarang kayaknya baik bela diri maupun ilmu bela diri dianggap sama. Seperti zaman sekarang ini, negeri dianggap sama dengan negara. Negara dianggap sama dengan pemerintah. Lembaga negara dianggap sama dengan lembaga pemerintah. Kepala keluarga sama dengan kepala rumah tangga. Gilingan jagung dianggap bagian dari jagung.”
Karni berpikir keras untuk memahami penjelasan Arno yang menyerempet- menyerempet itu. Zig-zag, spiral, siklikal dan tidak nyambung karena menyalahi metode ilmiah yang linear itu. Karni menganggap omongan kawannya itu semacam penjelasan seorang ahli tata negara. Padahal, mereka hanya burung-burung rantau yang sebentar lagi menjadi gelandangan. Tetapi, ia enggan mengungkapkan pikirannya itu. Ia memilih diam dalam ketidakpahaman.
“Bingung saya dengan penjelasan kamu Ar, bisa dianalogikan agar lebih gampang dimahfumi?”, pinta Karni kebingungan.
“Maksud saya begini bro. Seseorang yang menguasai bela diri belum tentu tahu ilmu bela diri. Ibarat makan makanan enak. Pasti ia merasakan enak. Tetapi belum tentu ia bisa meramu keenakan itu. Meramu keenakan adalah ilmunya. Atau, kalau mau lebih dalam lagi, seseorang dikatakan menguasai ilmu bela diri bisa dilihat dari senjata yang ia gunakan. Semakin pendek senjata yang ia gunakan maka ilmu bela dirinya semakin dalam atau tinggi. Karena bila senjata yang ia pakai kelewat panjang, maka ia sebenarnya masih bergantung pada senjatanya. Ia tidak bisa melindungi dirinya dengan dirinya. Ia tidak percaya diri dengan dirinya.”
“Bagaimana dengan orang yang tidak memakai senjata?”
“Itu pertanda kalau ia sudah mendalami betul ilmu bela diri. Ia sudah larut di dalamnya. Ia bahkan sudah menjadi ilmu bela diri itu sendiri. Asalkan, tidak memakai senjata yang kamu maksud itu bukan jurus seribu langkah alias lari.” Sahabat Arno tersebut terkekeh-kekeh mendengar kalimat terakhir dari Arno. “Jurus seribu langkah”, gumamnya dalam hati.
“Menurutmu Ar, apa sekarang orang-orang masih ada yang menguasai ilmu bela diri? Minimal bela diri saja?”, respon sumringah lantip tiba-tiba.
“Banyak Lan. Bahkan sangat banyak. Mulai dari anak muda hingga orang tua. Bahkan mereka sangat ahli kok. Ahli itu artinya tuan rumah. Anak-anak muda yang mengaku generasi milenial – tidak secuil pun ragu menjadikan diri mereka sebagai sales bela diri politik. Para orang tua juga tidak mau kalah.” “Ilmu bela diri apa itu?”, sambar Karni dengan kening mengkerut. “Ilmu Bela Diri Politik”
Karni semakin bingung karena topik pembicaraan mereka lari ke man-mana. Tadi menyerempet pemerintah dan negara. Sekarang menabrak politik. Dari bela diri dan ilmu bela diri hingga pemerintah dan politik. Membingungkan.“Maksudnya bagaimana Ar?” “Biarkan Lantip yang berkomentar atas pertanyaanmu”.
“Begini Kar”, lanjut Lantip sambil berdeklamasi semacam orang membaca puisi “coba lihat di mana-mana. Di jalanan, pangkalan ojek, warung makan, toilet umum, di dunia maya hingga Senayan, pembicaraannya kan hanya politik 2019. Ada kubu yang menyerang ada kubu lain yang bertahan. Di saat lain, kubu yang diserang juga menyerang. Akibatnya kan saling menyerang. Bukankah ini bela diri? Bela diri politik? Setiap orang memiliki jurus dan strategi politik masing-masing. Malah ada wasit pertandingan bela diri ikut bermain.”
“Bukan cuma itu, bahkan di dalam kubu yang sama pun masing-masing memiliki jurus dan strategi manuver berbeda-beda. Mereka semua sangat ahli dalam bela diri”, komentar tambahan Arno.
“Hahahahaaaa . . . Asemmmm”, tanggap Karni sembari terkekeh.
PENGIRIM: SUPARNO AZNIN
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar