Pemimpin Belum Tentu “Pemimpin”

Pemimpin Belum Tentu “Pemimpin”
SUPARNO AZNIN


“ . . . Bila menggunakan terminologi ilmu sains (algoritma), pemimpin itu adalah output sedangkan kepemimpinan adalah proses. Jadi, pemimpin itu hasil dari kepemimpinan. Lihat kepemimpinannya dulu, baru menilai. Calon pemimpin baru bisa disebut sebagai pemimpin bila kepemimpinannya baik dan masa jabatannya telah selesai, 5 tahun.”

SEWAKTU kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, Lantip masih sering menjumpai berbagai macam makanan tradisional di desanya. Kasuami misalnya. Makanan tradisional ini memang sangat digemari oleh masyarakat di desa Lantip. Semua bahan mentahnya sangat banyak tersedia, melimpah pokoknya. Proses pembuatannya juga tidak teramat sulit seperti makanan di kota-kota besar. Makanan di kota-kota besar itu aneh-aneh dan cenderung tidak  enak  –  mungkin  karena  lidah  Lantip  memang  lidah  kampung  yang kurang peka terhadap makanan kekotaan. Kembali pada makanan tradisional tadi. Kasuami berbahan dasar singkong – di desa Lantip, orang-orang biasa menyebutnya ubi kayu.

Iklan Pemkot Baubau

Ada beberapa tahap dalam proses pembuatan Kasuami. Mula-mula ubi kayu yang telah dikupas kulitnya, dicuci bersih dagingnya dan kemudian diparut – dahulu menggunakan alat parut tradisional, namun sekarang telah menggunakan mesin parut sebagai salah satu bentuk wajah modernisasi di desa.  Setelah  itu,  hasil  parutan  kemudian mulai  dimasukkan  dalam suatu balutan kain dan dibentuk persegi atau bundar – seperti piring yang cukup tebal  –  untuk  dikeluarkan  kandungan  airnya.  Balutan  kain  yang  berisi parutan  ubi  kayu  tersebut  lalu  diletakkan di  antara  dua balok kayu  yang salah satu ujungnya telah diikat rapat dengan tali. Selanjutnya, balok kayu bagian  atas  ditekan  hingga  menjepit  parutan ubi  kayu  yang  telah  dibalut dengan kain. Dengan demikian, parutan ubi kayu tersebut secara otomatis mengeluarkan kandungan airnya. Proses ini dilakukan beberapa kali hingga airnya benar-benar habis alias mengering.

Hasil dari proses terakhir ini dinamakan Kaupi. Bahan inilah yang kemudian dikeringkan, dihancurkan hingga halus (seperti menggemburkan tanah) dan

kemudian  dikukus  hingga  menjadi  Kasuami  –  biasanya  bentuknya menyerupai Tumpeng.

Tahapan – tahapan  di  atas  tersebut  –  dari  bahan  dasar  ubi  kayu  hingga menjadi Kasuami – di dalam dunia ilmu sains disebut “Algoritma”. Makhluk seperti apakah algoritma itu? Singkatnya, algoritma merupakan suatu rangkaian sistem yang terdiri dari tiga bagan utama, yaitu input, proses dan ouput.

Input merupakan varibel-variabel dasar yang dibutuhkan dan output adalah hasil akhir yang ingin dicapai. Sedangkan proses adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai ouput yang dikehendaki. Bila menggunakan terminologi agama  Islam,  input  adalah  sabil,  proses  adalah  tarekat,  dan output adalah shirat.

Atau, lebih gampangnya, jika kita berada di Buranga (Ibukota Kab. Buton Utara) hendak ke Kendari (Ibukota   Prov. Sulawesi Tenggara) untuk mengikuti tes CPNS 2018, maka kita memiliki beberapa alternatif jalur. Kita bisa memilih jalur darat atau juga bisa memilih jalur laut. Koordinat awal (Buranga) merupakan input, koordinat akhir (Kendari) merupakan output, dan jalur yang kita pilih (darat atau laut) adalah proses.

Bila kita cermati lebih dalam, ternyata fenomena-fenomena di atas dapat kita gunakan   sebagai   “pisau   bedah”   untuk   menganalisa   atau   memahami perbedaan antara calon pemimpin dan pemimpin, apalagi antara calo pemimpin dan pemimpin, dan antara pemimpin dan kepemimpinan. Setiap perhelatan pesta demokrasi di mana pun itu, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, hampir pasti disamakan artinya dengan proses pencarian pemimpin yang seolah tanpa melalui kepemimpinan terlebih dahulu. Selalu analog alias disamakan. Benar kah demikian? Lantip sangat meragukan hal ini. Bahkan bisa sangat bias faktanya. Berkebalikan.

Saat perhelatan pesta demokrasi usai, muncul lah sosok pemenang dalam pemilu tersebut. Pemenang inilah yang kemudian dijadikan sebagai pemimpin. Atau, bila lebih tegas tapi miris, mereka (pemenang pemilu) langsung didaulat hari itu juga – secara absolut – sebagai pemimpin meskipun belum melakukan apa-apa. Yang mereka lakukan barulah sebatas ikrar janji – janji politik yang masih bersifat “subhat”, ambigu. Artinya, janji-janji politik itu belum tentu ditepati. Memang tidak semua ingkar, akan tetapi sulit bagi Lantip untuk percaya bahwa tidak akan seperti yang dulu-dulu.

Anehnya, baik kalangan akademisi, politisi, mahasiswa, maupun masyarakat secara umum mengamini bahwa memang benar mereka adalah pemimpin baru, cahaya  baru,  yang  telah  lama  mereka  impikan.  Bahkan  tidak hanya sekedar mengamini saja, semua kalangan berpesta pora dengan menggelar syukuran sana-sini untuk menyambut pemimpin mereka. Lagi-lagi Lantip bertanya benar kah mereka semua itu pemimpin? Di mana kah peran universitas, organisasi, partai politik dan pelaku budaya dalam menjelaskan dan memaknai kata “pemimpin”? Sesederhana itu kah menjadi pemimpin? Pemenang pemilu sama dengan pemimpin?.

Pak Presiden, Pak Gubernur, Pak Walikota, Pak Bupati dan bapak-bapak lainnya belum bisa  dikategorikan sebagai pemimpin. Beliau semua adalah calon pemimpin meskipun statusnya telah terpilih dalam pesta demokrasi, pemilu. Pemimpin itu kata benda sedangkan kepemimpinan itu kata sifat. Pemimpin itu hardware sedangkan kepemimpinan itu software. Bila menggunakan  terminologi  ilmu  sains  (algoritma),  pemimpin  itu  adalah output  sedangkan  kepemimpinan  adalah  proses.  Jadi,  pemimpin adalah hasil dari kepemimpinan. Lihat kepemimpinannya dulu, baru menilai apakah mereka pemimpin atau bukan pemimpin, pemimpin atau kah boneka, pemimpin atau kah petugas partai, pemimpin atau kah perampok. Intinya, pemimpin belum tentu pemimpin.

Calon pemimpin baru bisa disebut sebagai pemimpin bila kepemimpinannya baik dan masa jabatannya telah selesai, 5 tahun. ‘Kan masa jabatan mereka belum selesai. Kita terlalu pagi dalam memberi ucapan “selamat”. Tuman.

Keambiguan ini tentunya menjadi bahan pemikiran bagi Lantip. Tidak puas dengan hasil pikirannya sendiri, Lantip tidak ragu mengajak diskusi ringan salah seorang sahabatnya. Saimun namanya. Sahabat karibnya tersebut memulai dengan hujan pertanyaan.

“Memang kepemimpinan yang baik itu yang bagaimana mas? Apa kriteria wajibnya? Siapa yang memberi kriteria itu? Bagaimana cara kita menyelenggarakan kepemimpinan? Apakah cara kita memilih pemimpin selama ini sudah benar atau kah salah total? Kalau salah, bagaimana yang benar?”

“Semua pertanyaanmu itu Mun, selama ini tidak pernah digali apalagi dipelajari oleh masyarakat kita, terutama anak-anak muda generasi milenial, padahal nenek moyang kita telah jelas merunutkannya secara meluas dan mendalam dari A hingga Z, dari nilai-nilai budaya hingga nilai-nilai Agama”, jawabku dengan kesal sambil menoleh ke belakang.

“Masih samar-samar jawabanmu mas.”

“Nenek moyang kita itu sebenarnya sudah menggariskan itu sebagai pijakan awal untuk kita generasi sekarang. Mereka membagi-bagi manusia berdasarkan kesadaran kemanusiaannya. Ada orang kaya. Ada orang kuat. Ada orang kuasa. Ada orang pintar. Dan, ada orang baik. Yang terakhir inilah yang bisa dijadikan sebagai pemimpin saat itu. Bukan hanya slogan pemanis saja, tetapi ia dari jauh-jauh hari telah banyak memberi manfaat dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Yang lebih penting, mereka tidak pernah menawar-nawarkan diri. Mereka ditunjuk oleh masyarakat karena kualitas akhlak dan kemampuannya.”

“Kalau kriteria sekarang mas?” “Hanya satu kriterianya.”

“Apa itu?”, sergap Saimun penasaran.

“Elektabilitas yang melambung.”

“Itu pun dipelopori oleh berbagai macam lembaga survei dengan hasil yang beragam”, tambah Saimun.

Mereka berdua pun tertawa terkekeh sampai mules – menertawakan kebingungan dan kebodohan masing-masing. Kebahagiaan adalah ciri khas bangsa Lantip dan Saimun. Mungkin karena ciri khas inilah, sehingga orang – orang  Barat  bilang,  “Bangsa  kalian  adalah  bangsa yang paling bahagia di dunia dalam menikmati hidup.”

PENULIS: SUPARNO AZNIN

PUBLISHER: MAS’UD

Komentar