“ . . . Bila menggunakan terminologi ilmu sains (algoritma), pemimpin itu adalah output sedangkan kepemimpinan adalah proses. Jadi, pemimpin itu hasil dari kepemimpinan. Lihat kepemimpinannya dulu, baru menilai. Calon pemimpin baru bisa disebut sebagai pemimpin bila kepemimpinannya baik dan masa jabatannya telah selesai, 5 tahun.”
SEWAKTU kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, Lantip masih sering menjumpai berbagai macam makanan tradisional di desanya. Kasuami misalnya. Makanan tradisional ini memang sangat digemari oleh masyarakat di desa Lantip. Semua bahan mentahnya sangat banyak tersedia, melimpah pokoknya. Proses pembuatannya juga tidak teramat sulit seperti makanan di kota-kota besar. Makanan di kota-kota besar itu aneh-aneh dan cenderung tidak enak – mungkin karena lidah Lantip memang lidah kampung yang kurang peka terhadap makanan kekotaan. Kembali pada makanan tradisional tadi. Kasuami berbahan dasar singkong – di desa Lantip, orang-orang biasa menyebutnya ubi kayu.
Ada beberapa tahap dalam proses pembuatan Kasuami. Mula-mula ubi kayu yang telah dikupas kulitnya, dicuci bersih dagingnya dan kemudian diparut – dahulu menggunakan alat parut tradisional, namun sekarang telah menggunakan mesin parut sebagai salah satu bentuk wajah modernisasi di desa. Setelah itu, hasil parutan kemudian mulai dimasukkan dalam suatu balutan kain dan dibentuk persegi atau bundar – seperti piring yang cukup tebal – untuk dikeluarkan kandungan airnya. Balutan kain yang berisi parutan ubi kayu tersebut lalu diletakkan di antara dua balok kayu yang salah satu ujungnya telah diikat rapat dengan tali. Selanjutnya, balok kayu bagian atas ditekan hingga menjepit parutan ubi kayu yang telah dibalut dengan kain. Dengan demikian, parutan ubi kayu tersebut secara otomatis mengeluarkan kandungan airnya. Proses ini dilakukan beberapa kali hingga airnya benar-benar habis alias mengering.
Hasil dari proses terakhir ini dinamakan Kaupi. Bahan inilah yang kemudian dikeringkan, dihancurkan hingga halus (seperti menggemburkan tanah) dan
kemudian dikukus hingga menjadi Kasuami – biasanya bentuknya menyerupai Tumpeng.
Tahapan – tahapan di atas tersebut – dari bahan dasar ubi kayu hingga menjadi Kasuami – di dalam dunia ilmu sains disebut “Algoritma”. Makhluk seperti apakah algoritma itu? Singkatnya, algoritma merupakan suatu rangkaian sistem yang terdiri dari tiga bagan utama, yaitu input, proses dan ouput.
Input merupakan varibel-variabel dasar yang dibutuhkan dan output adalah hasil akhir yang ingin dicapai. Sedangkan proses adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai ouput yang dikehendaki. Bila menggunakan terminologi agama Islam, input adalah sabil, proses adalah tarekat, dan output adalah shirat.
Atau, lebih gampangnya, jika kita berada di Buranga (Ibukota Kab. Buton Utara) hendak ke Kendari (Ibukota Prov. Sulawesi Tenggara) untuk mengikuti tes CPNS 2018, maka kita memiliki beberapa alternatif jalur. Kita bisa memilih jalur darat atau juga bisa memilih jalur laut. Koordinat awal (Buranga) merupakan input, koordinat akhir (Kendari) merupakan output, dan jalur yang kita pilih (darat atau laut) adalah proses.
Bila kita cermati lebih dalam, ternyata fenomena-fenomena di atas dapat kita gunakan sebagai “pisau bedah” untuk menganalisa atau memahami perbedaan antara calon pemimpin dan pemimpin, apalagi antara calo pemimpin dan pemimpin, dan antara pemimpin dan kepemimpinan. Setiap perhelatan pesta demokrasi di mana pun itu, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, hampir pasti disamakan artinya dengan proses pencarian pemimpin yang seolah tanpa melalui kepemimpinan terlebih dahulu. Selalu analog alias disamakan. Benar kah demikian? Lantip sangat meragukan hal ini. Bahkan bisa sangat bias faktanya. Berkebalikan.
Saat perhelatan pesta demokrasi usai, muncul lah sosok pemenang dalam pemilu tersebut. Pemenang inilah yang kemudian dijadikan sebagai pemimpin. Atau, bila lebih tegas tapi miris, mereka (pemenang pemilu) langsung didaulat hari itu juga – secara absolut – sebagai pemimpin meskipun belum melakukan apa-apa. Yang mereka lakukan barulah sebatas ikrar janji – janji politik yang masih bersifat “subhat”, ambigu. Artinya, janji-janji politik itu belum tentu ditepati. Memang tidak semua ingkar, akan tetapi sulit bagi Lantip untuk percaya bahwa tidak akan seperti yang dulu-dulu.
Anehnya, baik kalangan akademisi, politisi, mahasiswa, maupun masyarakat secara umum mengamini bahwa memang benar mereka adalah pemimpin baru, cahaya baru, yang telah lama mereka impikan. Bahkan tidak hanya sekedar mengamini saja, semua kalangan berpesta pora dengan menggelar syukuran sana-sini untuk menyambut pemimpin mereka. Lagi-lagi Lantip bertanya benar kah mereka semua itu pemimpin? Di mana kah peran universitas, organisasi, partai politik dan pelaku budaya dalam menjelaskan dan memaknai kata “pemimpin”? Sesederhana itu kah menjadi pemimpin? Pemenang pemilu sama dengan pemimpin?.
Pak Presiden, Pak Gubernur, Pak Walikota, Pak Bupati dan bapak-bapak lainnya belum bisa dikategorikan sebagai pemimpin. Beliau semua adalah calon pemimpin meskipun statusnya telah terpilih dalam pesta demokrasi, pemilu. Pemimpin itu kata benda sedangkan kepemimpinan itu kata sifat. Pemimpin itu hardware sedangkan kepemimpinan itu software. Bila menggunakan terminologi ilmu sains (algoritma), pemimpin itu adalah output sedangkan kepemimpinan adalah proses. Jadi, pemimpin adalah hasil dari kepemimpinan. Lihat kepemimpinannya dulu, baru menilai apakah mereka pemimpin atau bukan pemimpin, pemimpin atau kah boneka, pemimpin atau kah petugas partai, pemimpin atau kah perampok. Intinya, pemimpin belum tentu pemimpin.
Calon pemimpin baru bisa disebut sebagai pemimpin bila kepemimpinannya baik dan masa jabatannya telah selesai, 5 tahun. ‘Kan masa jabatan mereka belum selesai. Kita terlalu pagi dalam memberi ucapan “selamat”. Tuman.
Keambiguan ini tentunya menjadi bahan pemikiran bagi Lantip. Tidak puas dengan hasil pikirannya sendiri, Lantip tidak ragu mengajak diskusi ringan salah seorang sahabatnya. Saimun namanya. Sahabat karibnya tersebut memulai dengan hujan pertanyaan.
“Memang kepemimpinan yang baik itu yang bagaimana mas? Apa kriteria wajibnya? Siapa yang memberi kriteria itu? Bagaimana cara kita menyelenggarakan kepemimpinan? Apakah cara kita memilih pemimpin selama ini sudah benar atau kah salah total? Kalau salah, bagaimana yang benar?”
“Semua pertanyaanmu itu Mun, selama ini tidak pernah digali apalagi dipelajari oleh masyarakat kita, terutama anak-anak muda generasi milenial, padahal nenek moyang kita telah jelas merunutkannya secara meluas dan mendalam dari A hingga Z, dari nilai-nilai budaya hingga nilai-nilai Agama”, jawabku dengan kesal sambil menoleh ke belakang.
“Masih samar-samar jawabanmu mas.”
“Nenek moyang kita itu sebenarnya sudah menggariskan itu sebagai pijakan awal untuk kita generasi sekarang. Mereka membagi-bagi manusia berdasarkan kesadaran kemanusiaannya. Ada orang kaya. Ada orang kuat. Ada orang kuasa. Ada orang pintar. Dan, ada orang baik. Yang terakhir inilah yang bisa dijadikan sebagai pemimpin saat itu. Bukan hanya slogan pemanis saja, tetapi ia dari jauh-jauh hari telah banyak memberi manfaat dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Yang lebih penting, mereka tidak pernah menawar-nawarkan diri. Mereka ditunjuk oleh masyarakat karena kualitas akhlak dan kemampuannya.”
“Kalau kriteria sekarang mas?” “Hanya satu kriterianya.”
“Apa itu?”, sergap Saimun penasaran.
“Elektabilitas yang melambung.”
“Itu pun dipelopori oleh berbagai macam lembaga survei dengan hasil yang beragam”, tambah Saimun.
Mereka berdua pun tertawa terkekeh sampai mules – menertawakan kebingungan dan kebodohan masing-masing. Kebahagiaan adalah ciri khas bangsa Lantip dan Saimun. Mungkin karena ciri khas inilah, sehingga orang – orang Barat bilang, “Bangsa kalian adalah bangsa yang paling bahagia di dunia dalam menikmati hidup.”
PENULIS: SUPARNO AZNIN
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar