Suatu negara dapat dikatakan kuat ketika kedaulatan mereka diakui dunia. Namun, adakalanya negara juga tidak lepas dari tekanan pihak luar. Banya faktor yang menjadikan suatu negara memiliki ketergantungan dengan negara lain, misalnya pinjaman luar negeri baik berupa dana langsung maupun bantuan program. Tentu ada kaidah simbiosis mutualisme. Akan tetapi bagaimana jika negara yang dipinjami justru lebih banyak dirugikan?
Hal ini telah dibahas dalam debat capres, Sabtu lalu (30/3/19) yang mana capres 02 mengkritik kebijakan calon petahana yang mengizinkan entitas asing memiliki aset dan mengendalikan investasi (matamatapolitik.com, 5/4/2019).
Cukup terlihat selama rezim petahana berkuasa asing begitu memegang peranan penting dalam negara dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi investor China di Indonesia begitu terasa. Berdasarkan data pertumbuhan investasi asing yang dikeluarkan oleh Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM) periode kuartal IV-2014 hingga kuartal II-2018 secara Year-on-Year (YoY) menunjukkan data kenaikan signifikan. Investasi asing tertinggi pada tahun 2017, di mana total realisasi mencapai Rp 112 triliun, jumlah ini kecil jika dibandingkan pada tahun 2014 yang hanya Rp 78,7 triliun (cnbcindonesia.com, 22/10/2018.)
Pandangan Islam Terkait Investasi Asing
Islam sebagai agama juga sekaligus system peraturan hidup manusia, memandang setiap urusan manusia haruslah terikat dengan Islam. Tidak ada satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak terikat dengan Islam. Kontrak investasi dalam Islam dikategorikan sebagai kontrak amanah, yaitu kedua pihak dihukumkan sebagai rekan bisnis yang saling membantu (pembagian untung dan rugi) berdasarkan modal dari keduanya atau kita kenal dengan musyarakah. Artinya, tidak ada pihak yang menjadi penjamin atas pihak yang lainnya.
Keputusan Majma Fiqh Al-Islami menyebutkan, “Investasi apa pun yang menjadikan pihak pengusaha (mudharib) memberikan keuntungan dengan kadar tertentu kepada investor, maka hal itu adalah haram. Karena sifat investasi telah berubah menjadi elemen pinjaman dengan janji keuntungan riba”.
Singkatnya, investasi apapun bentuknya dalam Islam mewajibkan bahwa kerugian dan keuntungan hendaknya menjadi tanggung jawab dan hak kedua pihak. Kecuali apabila salah satu pihak dengan sengaja membatalkan kesepakatan yang ada dan menimbulkan kerugian kepada salah satu pihak.
Investasi asing dalam negeri menjadikan negara harus “membayar” dengan berbagai kemudahan kepada pihak investor contohnya mudahnya akses TKA masuk ke dalam negeri. Pertahanan dan keamanan dalam negeri tentu rentan dilihat dari serangan budaya asing dari gaya hidup, bahasa, termasuk didalamnya aspek ekonomi dalam negeri.
Bukan untung malah bunting, Indonesia ibarat lapak bagi asing untuk berbondong-bondong menanamkan investasi dalam project “eksploitasi” baik sumberdaya manusia maupun sumber daya alam. Belum lagi kerusakan alam yang disebabkan oleh eksploitasi besar-besaran.
Sistem Islam Membangun Negara Tanpa Investasi Asing
Investasi asing, baik langsung maupun tidak langsung, khususnya negara-negara yang mempunyai kepentingan politik, baik global maupun regional, jelas bisa membahayakan negara. Karena investasi ini menjadi sarana untuk melakukan intervensi dalam politik, ekonomi dan banyak aspek di dalam negeri. Hal yang sama juga terkait dengan pemilikan asing atas tanah dan bangunan. Seperti pabrik, smelter, dan lain-lain.
Meski kepemilikan atas pabrik mengikuti barang yang diproduksi, bisa halal, dan bisa juga haram. Bisa menjadi milik pribadi, umum atau negara. Semua bergantung pada aktivitas produksinya. Tetapi, dalam konteks larangan kepemilikan pabrik, meski dari satu aspek diperbolehkan, namun dari aspek penguatan, penguasaan, dan intervensi kaum kafir dalam sistem Islam, yang kita kenal dengan sebutan Khilafah.
Jika pabrik atau investasi langsung tersebut sudah ada sebelum berdirinya khilafah, maka khilafah bisa memberikan pilihan, apakah diambil alih oleh negara, dengan kompensasi sebagaimana mestinya, atau sama sekaliditutup. Mana di antara dua kebijakan ini, yang dipilih oleh negara, semuanya diserahkan kepada khalifah. Sebagaimana dalam kaidah syara’, “Amru al-Imam manuth bi al-mashlahah.” (Keputusan imam/khalifah terikat dengan kemaslahatan). Pertimbangan maslahat yang paling kuat adalah kemaslahatan kaum Muslimin.
Sistem hari ini, dengan segala kekurangan dan kelemahannya telah mendatangkan berbagai kemudharatan bagi umat. Privatisasi dan investasi yang dibiarkan begitu saja telah menyengsarakan masyarakat. Dengan kekurangan dan kelemahannya pula, sistem hari ini juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dengan tuntas.
Islam, sebagai pandangan hidup yang sempurna, yang berasal dari pencipta alam semesta, dengan segala kelebihan dan kesempurnaannya akan mampu menyelesaikan semua persoalan yang ada. Islam memiliki konsep dan metode yang jelas dalam menyelesaikan seluruh permasalahan termasuk permasalahan privatisasi dan investasi asing yang sampai detik ini tidak ditemukan solusinya oleh sistem kapitalis.
Memang benar firman Allah, bahwa hukum yang seharusnya diterapkan atas hamba-Nya adalah hukum yang berasal dari-Nya. Bukan hukum jahiliyyah yang hanya menghasilkan kerusakan dan kesengsaraan. “Apakah hukum jahiliyyah yang kamu kehendaki? Hukum siapa yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”(TQS. Al Maidah [3]: 50) Allahu al musta’an.
PENULIS: NURHAYATI, S.ST (RELAWAN MEDIA MUSLIMAH KENDARI)
Komentar