Hukuman Rajam, Paradoks HAM di Negeri Muslim 

Hukuman Rajam, Paradoks HAM di Negeri Muslim 
Masita (Anggota Smart With Islam Kolaka)

Dilansir dari Merdeka.com, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam undang-undang hukuman mati yang dibuat oleh Brunei Darussalam bagi para pelaku zina dan homoseksual.

PBB menyebut kebijakan ini kejam dan tidak manusiawi. UU tersebut mulai berlaku di Brunei pada pekan ini, yang menjatuhkan hukuman rajam (lempar batu) hingga meninggal kepada pelaku perzinaan dan hubungan sesama jenis.

Kemudian dikutip dari Al Jazeera pada Selasa (2/4), UU tersebut juga menetapkan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian. Langkah-langkah kontroversial itu merupakan bagian dari undang-undang hukum pidana baru oleh Kesultanan Brunei, yang akan dilaksanakan pada Rabu 3 April.

Kecaman luas dari berbagai pihak di tingkat global telah menghujani Brunei dalam beberapa hari terakhir. Kepala urusan HAM di PBB, Michelle Bachelet, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Senin, mendesak pemerintah Brunei untuk menghentikan berlakunya KUHP baru yang “Kejam” tersebut. “Jika diterapkan, ini menandai kemunduran serius tentang perlindungan hak asasi manusia bagi rakyat Brunei,” kata Bachelet.

Undang-undang baru itu sebagian besar berlaku untuk penduduk muslim, meskipun beberapa aspek juga akan berlaku untuk komunitas masyarakat di luarnya.

Aturan ini menetapkan hukuman mati untuk sejumlah pelanggaran, termasuk pemerkosaan, perzinaan, sodomi, perampokan, dan penghinaan atau pencemaran nama baik Nabi Muhammad SAW.

Tidak hanya itu, Brunei pun menetapkan hukuman cambuk di muka umum bagi pelaku aborsi dan amputasi tangan dan kaki untuk pelaku pencurian serta kriminalisasi yang mengekspos anak-anak muslim.

Menyusuri Akar Masalah HAM

Langkah yang di ambil Kesultanan Brunei Darussalam sangatlah tepat dalam membasmi tuntas pelaku peyimpangan seksual.

Apalagi ditambah dengan penerapan hukum syariat, karena sampai hari ini juga buktinya aturan sekuler yang diterapkan hampir diseluruh negara yang ada tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut.

Malah yang terjadi adalah melegalkan pelaku penyimpangan tersebut. Selain itu, justru memberlakukan hukum-hukum yang tidak manusiawi dan berat sebelah terhadap masyarakat kelas bawah.

Namun, sayangnya langkah yang di ambil oleh sultan Brunei malah menuai kecaman di berbagai negara mulai dari demo yang digaungi oleh aktivis pembela pelaku peyimpangan bahkan dinegara lain melakukan pemboikotan terhadap hotel milik Brunei Darussalam. Dan yang paling utama organisasi sekelas PBB pun mengungkapkan pernyataan tidak setuju dengan diterapkan aturan syariat tersebut.

Bagaimana mungkin penerapan hukum Islam di negeri yang memang mayoritas warganya adalah muslim dikatakan melanggar HAM? Adalah hal yang rasional, bila Brunei menerapkan Syariat Islam.

Ini hak otonomi yang dijamin oleh hukum internasional. Ataukah PBB dalam hal ini ingin menegaskan dirinya sebagai Lembaga Internasional yang anti terhadap Syariat Islam. Jika memang demikian, jelaslah bahwa konsepsi HAM hanya dijadikan tameng untuk mengarahkan opini internasional guna menolak formalisasi hukum Islam dalam sebuah negara.

Sungguh alasan HAM tidak berlaku bagi penindasan dan pembantaian terhadap umat Islam. Berbagai macam Resolusi PBB terhadap Israel laksana macan ompong. Sejumlah resolusi PBB dilanggar oleh Israel atas restu Negara Paman Sam, di antaranya adalah resolusi 242 Nopember 1967, 252 Mei 1968, 478 Agustus 1980, dan resolusi 2334 Desember 2016. Jika ditelaah langkah Sultan Brunei dalam menerapkan hukum syariat dan dapat penolakan keras oleh PBB secara tidak langsung menandakan kebenciannya terhadap syariat Islam.

Bahkan kasus pembantaian yang terjadi pada umat islam pun kebanyakan negara diam seolah tak melihat dan mendengar.

Kondisi Umat Islam di beberapa wilayah seperti di Suriah yang masih ditindas rezim Bashar Assad. Di China, muslim Uighur mendapat teror dari Rejim Komunis.

Kondisi Muslim di Burma yang masih menderita, termasuk pembantaian muslim di Mali. 134 Muslim Mali dibantai secara brutal. Korbannya termasuk perempuan dan anak – anak (wartakota.tribunnews.com, Rabu 27 Maret 2019).

Tidak ada seruan dari PBB bahwa aksi – aksi kemanusiaan terhadap kaum Muslimin itu sebagai tindakan melanggar HAM.  Apatah lagi tindakan nyata dengan militer untuk menghentikan tindakan – tindakan brutal tersebut.

Berbicara mengenai LGBT, kemunculan dan pembiarannya tak lepas dari konstruk masyarakat yang dibentuk peradaban rusak kapitalis Barat. Materi adalah tujuan. Kebebasan adalah kebutuhan. Keegoisan adalah keniscayaan.

Konsekuensinya homo homini lupus, manusia menjadi srigala bagi manusia yang lain. Mayoritas kita telah memahami, apa isi kepala orang-orang yang menduduki PBB.

Keras koar HAM ketika berkaitan dengan hak kebebasan untuk kaum LGBT tapi lemah dengan hak kebebasan kaum muslimin yang terjajah di berbagai negara. Sungguh paradoks.

Bukan perihal hak asasi yang nampaknya bermasalah jika melihat adanya dualitas reaksi ini, namun adanya Islamophobia-lah yang tengah menjangkiti dunia barat.

PBB sebagai lembaga internasional yang dianggap mampu mengatasi permasalahan dunia akhirnya hanya menjadi alat legitimasi penjajahan barat untuk menanamkan nilai-nilai sekular.

Penerapan Syariah Parsial, Tidak Cukup!

Penerapan syariah yang parsial tidak hanya mandul dalam menyelesaikan akar masalah namun juga memberikan amunisi tanpa henti bagi Barat dan musuh-musuh Islam untuk menudingkan jari terus-menerus pada ketidakmampuan Islam menyelesaikan berbagai masalah.

Desain ini nampak tidak hanya pada Brunei, namun juga di Aceh, Indonesia dan Moro, Filipina. Penerapan sistem sanksi di Brunei tidak dibarengi dengan penerapan syariah di bidang lain, contohnya ekonomi.

Salah satu ancaman yang diserukan Barat adalah memboikot bisnis hotel mewah milik Brunei di berbagai belahan dunia. Meski kekuatan ekonomi Brunei juga terletak di ekspor migas, tak bisa dipungkiri ini hanya masalah waktu sebelum Barat mampu menekan Brunei dari sisi ekonomi. 

Langkah Brunei dalam semangat penerapan syariah Islam, patut mendapat apresiasi kaum muslimin di seluruh dunia.

Namun harus dicatat, penting untuk tidak terjebak dalam narasi Barat baik stigmatisasi atau lokalisasi. Upaya pengaburan identitas dan penjinakan kaum muslimin – mejadi moderat, pragmatis, meyakini demokrasi sebagai jalan perjuangan Islam yang ideal – harus terus-menerus diwaspadai.

Perjuangan kaum muslimin yang ideal adalah apa yang sesuai dengan Rasulullah SAW contohkan, baik dari sisi metode, bentuk negara dan pemerintahan yang mampu menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Ialah Khilafah, sistem yang berhasil diwariskan selama belasan abad. Ialah Islam yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.

Alhasil, sudah seharusnya Islam dijadikan standar hukum dalam suatu negara agar penyimpangan serta tindak kejahatan tidak terus menyebar, dan pertikaian serta pembantaian terhadap umat muslim tidak terus terjadi. Yang paling terpenting adalah pelaku mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Sebagaimana dalam islam sanksi atas pelaku penyimpangan yaitu pembunuhan. Begitupun pencurian dengan potong tangan, pemerkosaan, aborsi dan sebagainya ditindak sesuai hukum syariat islam, bukan kapitalisme yang justru memberikan peluang kembali untuk melakukan aksi kejahatan. Wallahu a’lam.

Masita (Anggota Smart With Islam Kolaka)

Komentar