PSU Tamu Baru Di Kancah Pemilu 

PSU Tamu Baru Di Kancah Pemilu 
Lisa Aisyah Ashar

Ditengah gentingnya persaingan sengit dalam kancah pemilu, puluhan TPS berpotensi dilakukan pemungutan suara secara berkala yang mengitari wilayah Sultra.

Seperti dilansir dari KENDARI, DETIKSULTRA.COM Ketua Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Sultra Hamiruddin Udu mengatakan ada 40 TPS di Sultra berpotensi dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Jumat, (19/04/2019). Ketua Bawaslu Sultra, Hamirudin Udu merinci, dari 40 TPS tersebut semuanya tersebar di sejumlah daerah di Sultra. Ada 14 TPS di Kota Baubau, 4 di Kota Kendari, Kolaka ada 9 TPS, Kolaka Utara (Kolut) 2 TPS, Buton Selatan (Busel) 2 TPS, Bombana 2 TPS, Konawe Utara (Konut) 4 TPS, serta Kolaka Timur (Koltim), Konawe Selatan (Konsel), dan Konawe Kepulauan (Konkep) masing-masing 1 TPS.

Iklan Pemkot Baubau

Hamiruddin menyatakan PSU dilakukan karena beberapa alasan diantaranya, adanya orang yang diberi kesempatan untuk memilih padahal yang bersangkutan tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb serta KTP-El nya beralamat di luar kabupaten atau provinsi tempat ia mencoblos.

Senada dengan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi(Perludum) Fadli Ramadhanil menjelaskan, dalam UU Pemilu, ada beberapa kondisi yang menyebabkan dilakukannya pemungutan suara ulang. Pertama, bila ditemukan surat suara yang sudah tercoblos atau dirusak oleh petugas KPPS.

Kemudian bila ada pemilih yang memberikan suara tetapi bukan merupakan hak pilihnya. Jurus jitu demokrasi mampu menciptakan berbagai cara yang kerapkali mengundang sejuta tanya menuai tawa. Tidak kehabisan akal dalam meraup suara berbagai upaya dilakukan, mulai dari kaum disabilitas mental ikut mencoblos, kemudian kelayakan penggunaan kardus sebagai kotak suara, hingga berujung Pemungutan Suara Ulang (PSU) secara serentak.

Dengan berbagai dalih dilakukan kembali pemungut suara, akankah Pemungutan Suara Ulang (PSU) bernasib sama dengan quick count yang menghebohkah kancah publik? Tentu saja masyarakat mengharapkan tidak ada lagi jebolnya perhitungan yang mengegerkan.

Namun jika menelaah, kemungkinan besar terselip maksud terselubung dibalik pemungutan suara ulang. Selain itu, pundi-pundi rupiah banyak terkuras apabila pemungutan suara ulang berhasil dilakukan, disebabkan akan terjadi pembengkakan anggaran yang dikeluarkan untuk pembentukan TPS ulang. Belum lagi, mental dan kantong para calon habis terkuras menghadapi kenyataan.

Nyatanya pemilihan umum disistem  demokrasi hanyalah wujud keindahan di dunia khayal. Mahar yang dikeluarkan disistem demokrasi terbilang mahal, tidak tanggung-tanggung para calon yang terlibat dalam pemilu harus merogoh kocek dalam-dalam. Maka sudah menjadi sesuatu yang lazim dikalangan pemilu, apabila salah satu calon yang tidak terpilih untuk menduduki singgasana dalam artian belum siap kalah kerapkali terdiagnosa gangguan psikis. 

Sebenarnya kecurangan yang terjadi adalah mata rantai yang sulit diputus sebab sistem demokrasi memberikan peluang hal ini terjadi, target meraih suara dalam pesta pemilu ala demokrasi adalah untuk meraup jabatan politik dan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, maka jalan apapun akan ditempuh demi meraih suara meskipun itu jalan sesat dan menciderai kejujuran, politik menghalalkan segala cara pun terbukti dalam pentas demokrasi.

Logika sehat saja, untuk apa Pemungutan Suara Ulang(PSU) jika tidak ada masalah, dan masalah yang sering muncul adalah adanya indikasi kecurangan. Yang menjadi pertanyaan kenapa harus curang? apakah karena ingin berkuasa atau mempertahankan kekuasaan sebelumnya, lalu kenapa ingin berkuasa dan mempertahankan kekuasaan, padahal menjadi representatif dari suara rakyat itu amat berat, karena ini terkait amanah dan amanah itu adalah beban, tetapi kenapa tetap ingin berkuasa? Tak lain, karena berkuasa di sistem demokrasi adalah cara yang paling instan untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya sebab dalam sistem demokrasi batasan moral dan religi sudah tidak memiliki tempat, pijakan terpenting adalah manfaat dan nilai tertinggi dari manfaat adalah kekayaan, pujian, jabatan dan kekuasaan. Maka jangan heran jika dalam sistem demokrasi akan banyak melahirkan kecurangan artinya tak ada yang benar-benar dapat mempertahankan kejujuran secara ikhlas sebab keserakahan dan keegoisan untuk duduk dalam tampuk kekuasaan adalah sesuatu yang pasti dan akan terus dikejar meskipun mengorbankan suara dan amanah rakyat.

Mekanisme Islam Memilih Pemimpin

Tatkala menyadari demokrasi tidak seindah negeri dongeng, maka sudah sepatutnya masyarakat lepas kemudi pindah haluan menuju titik terang Islam yang terbukti citranya selama 13 abad. Mekanisme Islam dalam proses membait khilafah tidak penuh modus kecurangan bahkan kerugian. Kriteria seorang pemimpin bukan nilai dari seberapa banyak mahar yang diberikan agar berkuasa menempati singgasana bangsa melainkan orang-orang yang kompeten dan mampu memikul amanah. Sebagaimana yang telah termaktub dalam Al-Quran

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS An-Nisa:58)

Islam menempatkan kedaulatannya dalam genggaman Syariah dan kekuasaan ditangan rakyat. Banyak hadits memaparkan bahwa kaum muslim baru diberi gelar pemimpin (Khalifah) apabila melalui jalur baiat. Dalam membaiat perlu ada ijâb (penyerahan) dan qabûl (penerimaan). Rasulullah saw. dan para sahabatnya mencontohkan bahwa ijâb berasal dari rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Calon khalifah mengabulkannya. Ijâb-nya berupa penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Khalifah untuk menerapkan Islam dan penyerahan ketaatan mereka kepadanya. Qabûl-nya berupa penerimaan hal tersebut oleh calon khalifah. Mekanisme Islam melibatkan tiga unsur dalam pemilihan. Pertama, Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga dalam Kekhalifahan Islam yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi dan menetapkan perlu tidaknya penggantian Khalifah. Kedua, Majelis Umat, yakni lembaga perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Salah satu wewenangnya adalah membatasi jumlah calon khalifah. Ketiga, rakyat sebagai pemilik kekuasaan.

Disituasi sekarang untuk membaiat seorang Khalifah tentu bukan dilalui dengan jalur pemilu. Alhasil, semua tidak dapat diperoleh apabila Khilafah belum ada, sebab  pemilu bukanlah metode baku mendirikan Khilafah dan bukan pula metode untuk mengangkat Khalifah. Islam menetapkan bahwa untuk meraih kekuasaan adalah thalabun an-nusrah, sedangkan metode baku mengangkat Khalifah adalah baiat. Wallahu a’lam  bi ash-shawab (***).

Lisa Aisyah Ashar

(Anggota Komunitas BMI Kolaka)

Komentar