Polemik Perfilman Nuansa Pelangi

Polemik Perfilman Nuansa Pelangi
ERNI YUWANA

“Ketahuilah, Sayangku, sedari kecil saya menonton film di televisi dan selalu disuguhi tokoh-tokoh heteroseksual. Bahkan dalam film kartun sekalipun, seperti dalam Doraemon misalnya, tokoh Nobita digambarkan “tergila-gila” kepada Shizuka. Sampai saya berumur 25 tahun, hampir semua film yang saya tonton memiliki kisah cinta heteroseksual dan sampai hari ini saya masih homoseksual.

Kenapa? Ya karena memang saya tidak tertarik dengan perempuan. Dengan kata lain, menonton film Garin Nugroho “Kucumbu Tubuh Indahku” ini sepuluh kali pun, jika memang kamu (laki-laki) tidak tertarik dengan laki-laki, ya kamu tidak akan tiba-tiba ingin mencium laki-laki lain.” Penggalan pendapat dan kisah pribadi tersebut ditulis oleh Stephanus Ari Laksono yang dimuat mojok.co pada tanggal 27 April 2019.

Pro kontra menyeruak ketika sutradara Garin Nugroho mulai memutar film Kucumbu Tubuh Indahku di sejumlah bioskop Indonesia pada tanggal 18 April 2019. Film karya Garin itu telah diakui kualitasnya di dunia dan memenangkan Asia Pacific Screen Award, film terbaik Festival Des 3 Continents Nantes 2018, dan mengikuti seleksi Festival Film International di Venesia. Namun, meski film tersebut telah menorehkan sederet prestasi internasional, tapi ternyata tak bisa memuluskan publikasinya di Indonesia.

Film ‘Kucumbu Tubuh Indahku” bercerita tentang kisah perjalanan hidup Juno, sejak kecil hingga dewasa menjadi penari, di sebuah desa di Jawa, yang terkenal sebagai desa penari lengger lanang, jenis tarian perempuan yang dibawakan penari laki – laki. Kehidupan Juno kecil adalah kehidupan peleburan tubuh maskulin dan feminin yang terbentuk alami oleh kehidupan desa dan keluarganya. Benar, Juno pada akhirnya menjadi seorang homoseksual, pecinta sesama jenis. Dia seorang gay.

Nuansa kaum pelangi atau LGBT terasa kental dalam film tersebut sehingga menimbulkan kontroversi. Seperti diberitakan Antara, Wali Kota Depok, Mohammad Idris melalui surat bernomor 460/185-Huk/DPAPMK tertanggal 24 April 2019 menyampaikan keberatan atas penayangan film itu dan melarang penayangan film tersebut di wilayahnya.

Alasannya, film tersebut dapat meresahkan masyarakat karena bisa memengaruhi cara pandang atau perilaku masyarakat terhadap kelompok LGBT dan dianggap bertentangan dengan nilai agama. Pelarangan penayangan film tersebut juga diikuti daerah-daerah yang lain di Indonesia.

Namun, Garin sang sutradara film menyebut ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ merupakan film yang telah memiliki kekuatan hukum karena sudah lulus sensor, artinya film tersebut sudah masuk ke dalam prosedur hukum yang ada di negeri ini.

Seperti yang tercantum pada Undang Undang Nomor 33 Tahun 2009, film sebagai sebuah karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat . Selain itu, film juga memegang peranan penting dalam pembangunan karakter bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, Lembaga Sensor Film diciptakan demi mengurangi dampak negatif dari budaya yang dapat diserap oleh masyarakat melalui sebuah film.

Lembaga sensor film nampaknya perlu berbenah diri maupun melakukan introspeksi mendalam jika merujuk pada visi misi industri perfilman pada undang-undang.

Karena sejatinya film memegang peranan penting dalam pembangunan karakter bangsa Indonesia. Artinya content film juga harus diperhatikan. Karena film berperan sebagai pembangun karakter bangsa, bukan penghancur karakter bangsa. Dengan kata lain, film harus mempunyai nilai-nilai edukasi, yaitu mendidik generasi bangsa menjadi karakter pembangun yang tangguh.

Namun film saat ini berfungsi hanya sebatas hiburan yang minim edukasi dan dipenuhi dengan nilai bisnis para pengusaha industri perfilman. Benar, dunia perfilman kini hanya berputar pada fungsi bisnis dan keuntungan semata.

Ketika nilai edukasi pada industri perfilman tanah air dipertanyakan, nilai-nilai yang merusak generasi malah senantiasa dikobarkan. Industri perfilman Indonesia dibanjiri dengan adegan-adegan panas (adegan dewasa), kekerasan, free sex, hedonis, amoralis dan bahkan (kini) LGBT. Bagaimana pun LGBT adalah bentuk penyimpangan perilaku dan norma, bukan fitrah yang tertanam dalam diri manusia. 

Pendapat dan kisah Stephanus Ari Laksono sama sekali bertentangan dengan fakta yang terjadi. Film berperan penting dalam membangun karakter bangsa. Tontonan kini bukan sekedar hiburan, namun menjadi tuntunan.

Berbagai fakta kelam dan potret hitam terus bermunculan akibat tontonan dan idola yang tidak sepantasnya dalam film. Anak-anak kecil mengalami kecalakaan dan menjadi korban yang merengang nyawa hanya karena berusaha meniru aksi superheronya meloncat dari gedung, berkelahi, dll.

Menjamurnya film yang mengumbar keseksian menjadikan tren busana minim di kalangan masyarakat. Film bernuansa cinta juga menggiring para remaja yang belum terikat pernikahan melakukan freesex, bahkan berdampak hamil di luar nikah hingga berujung aborsi.

Kecantikan dan ketampanan aktor dan aktris juga memunculkan stigma dan pemahaman bahwa rupa di atas segalanya. Kehidupan hedonis dan materialis kini menjadi gaya hidup. Segala kesenangan seolah hanya berbatas harta, rupa dan tahta. Dan perfilman Indonesia terus menerus menggaungkan kehidupan serba bebas, hedonis, materialis dan menanggalkan nilai edukasi yang mampu membuat bangsa Indonesia jauh dari ketinggian adab.

Film Garin Nugroho dan pernyataan Stephanus Ari Laksono sangat berbahaya. Pada dasarnya, tontonan tetap menjadi tuntunan generasi sekarang. Dampaknya mereka akan memaklumi tindakan LGBT, bahwa LGBT adalah perilaku yang lumrah dan patut diapresiasi atau diberi ruang di tengah masyarakat. Fakta sebenarnya, LGBT tetaplah perbuatan amoral yang banyak memakan korban dengan mendatangkan penyakit menular HIV/AIDS.

LGBT adalah sampah peradaban yang tidak akan pernah mampu meninggikan derajat manusia, namun hanya mampu merendahkan manusia serendah-rendahnya.

Sebenarnya seni bukan perkara yang haram. Drama, nyanyian, seni peran, dll diperbolehkan dalam Islam. Namun seni ini harus berbatas aturan Allah SWT. Dan tujuan diadakannya seni semata-mata untuk menaikkan derajat manusia menjadi makhluk yang beradab tinggi yang mencintai dan mentaati Tuhannya, juga sebagai sarana edukasi membentuk generasi pembangun bagi bangsa dan negara, bukan sebagai generasi penghancur negeri sendiri. Wallahu’alam bi ash showab.

ERNI YUWANA

Komentar