“A pure democracy is generally a very
bad government, It is often the most tyrannical government on earth; a
multitude is often rash, and will not hear reason” –
Noah Webster
Tiga kampiun demokrasi –setidaknya diwakili oleh AS, Inggris dan Prancis- di akhir tahun ini kian menunjukkan kerapuhan konsep dan praktik demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi ‘modern’ yang dilahirkan di Perancis, hingga disebarluaskan dan dipaksakan Inggris dan AS agar dianut dunia, telah mengalami antiklimaks.
Sulit membuktikan bahwa sistem ini benar-benar mewakili suara rakyat. Praktek demokrasi di sana membuktikan sandaran Barat itu makin inkompatibel dalam menjawab tuntutan massa dan masa. Sementara itu di Inggris, keinginan untuk keluar (British Exit, Brexit) dari UE tidak semulus yang direncanakan.
Negoisasi PM Inggris Theresa May terhadap para pemimpin Eropa tentang isi perjanjian Brexit menemui batu sandungan. Keputusan Brexit sendiri bukanlah keputusan aklamasi seluruh rakyat Inggris.
Hanya 51.9 persen warga yang inginkan Brexit dalam referendum 23 Juni 2016. Sekali lagi hal ini membuktikan bahwa suara rakyat mayoritas dalam demokrasi semata-mata hanyalah klaim, karena perbedaan antara yang mendukung dan tidak amat tipis.
Di Prancis sendiri, Presiden Emmanuel Macron harus mengumumkan keadaan darurat menyusul demonstrasi rompi kuning yang merebak di seluruh negri karena memprotes kenaikan harga dan reformasi ekonomi. Menkeu Prancis Bruno Le Maire menyebut situasi itu sebagai krisis terhadap masyarakat dan demokrasi.
Situasi ini juga menunjukkan bahwa demokrasi gagal memenuhi doktrin ‘untuk rakyat’. Sebab demonstrasi itu adalah ungkapan frustrasi keluarga-keluarga pekerja miskin –sebagai mayoritas rakyat- atas praktrk politik rezim Macron.
Demokrasi, Sistem Pemerintahan Yang Absurd dan Tak Pernah Stabil
Kelahiran demokrasi sebagai sebuah paham ideologi sekaligus sebagai sebuah sistem politik memang tidak boleh dinafikkan lahir dari Dunia Barat, lebih tepatnya Yunani kuno yang saat itu berbentuk sebuah Negara-Kota Athena (sekarang Ibukota Yunani modern).
Demokrasi sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “demos” yang artinya rakyat dan “kratos” yang artinya kekuasaan. Jadi demokrasi secara terminology berarti pemerintahan yang menghendaki kekuasaan oleh rakyat. (Ian Adams dalam bukunya Political Ideologi Today).
Definisi demokrasi yang cukup terkenal berasal dari Abraham Lincoln yang berpendapat bahwa demokrasi adalah pemerintahan untuk rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam demokrasi konvensional, rakyat memiliki peran pasif dan hanya memilih “secara negatif” dari apa apa yang ditawarkan kandidat. Dan kemudian, wakil yang telah terpilih mempunyai keleluasaan, walau mereka pada dasarnya tunduk pada pemilih jika ingin bertahan pada pemilu selanjutnya.
Teoritis yang paling penting dalam hal tersebut adalah James Madison (1751-1836) dan John Stuart Mill (1806-1873) di Inggris. Dalam teori demokrasi radikal, rakyat memiliki peran positif dan aktif an kandidat merespons pada kebijakan yang diusulkan oleh rakyat.
Wakil politik tak diharapkan memanfaatkan keleluasaan mereka tetapi sekedar menjalankan perintah dari pemilih mereka, dengan kata lain mereka adalah delegasi. Rousseau juga memiliki peran penting, meski dia lebih merupakan teoritisi teori demokrasi “kontinental” ketimbang teori demokrasi liberal utama.
Dalam perkembangannya di beberapa negara, demokrasi juga mengalami perubahan. Jika di Barat, lebih menganut kepada demokrasi liberal, dimana kebebasan adalah segala-galanya. Di Eropa, tempat demokrasi berasal, juga berubah seiring dengan pemimpin yang berkuasa.
Di paruh terakhir abad ke-20 dipercayai bahwa teori tradisional harus diganti oleh teori demokrasi modern yang lebih realistis, yang mengakui kompleksitas sistem politik modern dan kapasitas politik terbatas yang memiliki oleh rakyat. Di sini yang menonjol adalah “teori demokrasi elitis”.
Di Indonesia sendiri, demokrasi telah mengalami empat kali perubahan sejak merdeka. Demokrasi parlementer di tahun 1945 – 1959, demokrasi Terpimpin berjalan di tahun 1959 – 1965. Kemudian berganti demokrasi pancasila berlangsung pada era orde baru di tahun 1965 – 1998. Lalu terjadi reformasi di tahun 1998.
Bercermin pada pengalaman manipulasi atas Pancasila oleh penguasa Orde Baru, demokrasi yang hendak dikembangkan setelah kejatuhan rezim Orde Baru ialah demokrasi tanpa nama atau demokrasi tanpa nama. Namun telah 21 tahun berlalu, harapan terhadap penerapan demokrasi yang sesuai dengan kultur negeri ini hanya isapan jempol semata.
Perlu diakui bahwa demokrasi di negeri ini berkembang sangat pesat dengan adanya pemilu-pemilu. Tetapi, pemilu yang dilaksanakan dipandang tak mampu menghasilkan pemimpin atau pejabat maupun aktor-aktor politik terbaik yang diharapkan masyarakat. Terbukti dengan banyaknya aktor-aktor politik yang melakukan tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Di sisi lain, demokrasi kita juga memiliki kelemahan karena pemilu itu sendiri. Sebuah fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan, pendidikan rendah dan ekonomi lemah membuat peluang money politic semakin kuat. Jual beli suara dalam pemilu sudah menjadi hal yang wajar dan biasa dalam demokrasi di Indonesia. Seseorang akan dipilih jika dia mampu membeli suara dari masyarakat dan inilah yang sangat memprihatinkan dan meresahkan dari sistem demokrasi di negara kita ini.
Demikianlah perjalanan panjang demokrasi yang diterapkan di berbagai negara, pada kenyataannya belum ada satupun yang mampu memberikan kesejahteraan, keamanan dan kesetaraan dalam ekonomi. Alih-alih berkuasa demi rakyat dan untuk rakyat, tetapi justru berlawanan.
Benarkah demokrasi mampu memberikan rakyat sebagai pemegang keputusan dalam suatu pemerintahan?. Apakah yang salah dengan sistem demokrasi? Ataukah memang demokrasi merupakan sistem yang absurd bagi sebuah negara? Hingga saat inipun selalu dan selalu terjadi bahwa kapitalislah yang menjadi pemegang kebijakan dalam suatu negara. Independensi negara untuk terlepas dari kapitalis/pemilik modal belum dapat dilakukan.
Hanya Sistem Islam Yang Mampu Menggantikan Demokrasi
Demokrasi sejatinya adalah alat penjajahan Barat atas dunia Islam. Karena itu, bila saat ini negeri-negeri Muslim menerapkannya, tidak hanya menjadi bukti bahwa mereka tidak mampu berdiri di atas kaki sendiri, namun hal itu juga merupakan pembangkangan atas hukum Allah SWT.
Padahal demokrasi tidak memberikan kebaikan sedikitpun, sebagaimana pengakuan mantan PM Inggris, Winston Churchil yang menegaskan bahwa demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan.
Keburukan demokrasi itu telah meyakinkan John Adams, Presiden AS kedua, yang menyatakan bahwa demokrasi tidak akan pernah bertahan lama. Ia akan segera dibuang, kehilangan kekuatan, dan akan menghabisi dirinya sendiri.
Bila demikian halnya, masihkah kaum Muslimin mengharap demokrasi akan menjadi penyelamat kehidupannya? Cukuplah realitas itu menjadi pelajaran berharga bagi orang-orang yang yakin akan keunggulan Islam.
Karut marut wajah demokrasi kapitalis terus menerus ditunjukkan Barat. Inkompatibilitasnya menimbulkan kesengsaraan bagi entitas utamanya, rakyat kecil. Semestinya, semua realitas itu menjadi pembelajaran bagi umat bahwa demokrasi memang bukan habitat manusia, apalagi umat Islam.
Ketika praktek demokrasi di negara-negara kampiun demokrasi kian menunjukkan kegagalannya, semestinya harus menjadi turning point untuk meninggalkannya, bukan malah menjadi penyangkalan dan merasa masih bisa berharap pada demokrasi yang bercita rasa lokal.
Demokrasi itu ketika suara mayoritas lebih penting daripada kebenaran firman Allah. “Jika kalian menuruti sebagian besar kemauan manusia di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari agama Allah” (TQS Al An’am :116)
Era kapitalisme dan demokrasi akan berakhir dan diganti dengan era Khilafah, baik manusia menyukainya ataupun tidak. Karena, kepastian tegaknya telah dijanjikan Allah SWT, Zat Yang Mahasempurna.
Kesempurnaan Allah sebagai pembuat hukum menjadikan hukum yang akan diterapkan dalam bangunan Khilafah adalah hukum terbaik dan tidak bercacat. Terbukti, tidak ada sistem lain yang sanggup menandingi Khilafah yang mampu bertahan selama hampir 14 abad. Sistem ini mampu bertahan lama karena sesuai fitrah, mengakui ketidakmampuan manusia mengatur kehidupan, sehingga mengambil aturan hidup dari Al Khaliq.
Sistem Khilafah ini juga amat rasional karena dibangun atas dasar akal. Melalui akal, keimanan kepada Allah, Alquran, dan kerasulan Muhammad mampu dicapai bagi orang-orang yang berpikir. Berbeda dengan demokrasi yang penuh asumsi dan klaim atas kebenaran yang relatif. Lantas, masihkah kita berharap pada demokrasi, yang telah jelas kerusakannya?.
ENDARTINI KUSUMASTUTI
Komentar