Sistem Demokrasi yang menyandang akidah sekuler (Pemisahan agama dari kehidupan) telah melahirkan berbagai macam masalah. Salah satunya di dunia perfilman yang identik dengan nuansa seni. Seperti yang dilansir oleh kompas.com bahwa,- Film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya sutradra Garin Nugroho akan tayang di bioskop Indonesia pada Maret 2019.
Tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang yang membaca judul tersebut walaupun secara tidak langsung pasti terbersit bayangan negatif. Saat ditilik lebih detail ternyata konten penyimpangan seksual bernuansakan LGBT menjadi konten dalam film ini.
Melihat fakta negatif itu, menyebabkan pemerintah kota dibeberapa wilayah melontarkan penolakan penayangan film tersebut. Wali Kota Pontianak misalnya, Edi Rusdi Kamtono, melayangkan surat keberatan soal rencana pemutaran film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’. Surat keberatan itu pun sudah dilayangkan ke Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalbar (detik.com, 28/4/2019).
Langkah penolakan juga diikuti oleh pemerintah di sejumlah wilayah lain, seperti Bupati Garut misalnya (detik.com, 29/4/2019).
Persoalan ini tak bisa lepas dari sistem sekularisme akibat sesatnya paham yang dikandungnya. Bagaimana tidak, Asas kebebasan yang dianut pada sistem ini menjadi dalih untuk berkreatifitas sebebas-bebasnya, meski berdampak buruk. Terlebih lagi diperkuat dengan ide HAM (Hak Asasi Manusia).
Akibatnya, kejumudan pemikiran pun melanda mayoritas masyarakat. Terkadang, mereka bersikap biasa saja dengan suatu perkara yang terkategori menyimpang dari segi pandagan agama.
Misalnya saja, saat ini perihal tayangan penyuka sesama jenis atas dasar suka sama suka menurut sebagian orang bukanlah masalah yang harus diselesaikan, sebab hal itu termasuk HAM yang dilindungi dibawah payung demokrasi saat ini. Pemahaman dibawah sistem sekuler secara tidak langsung mengubah sudut padang masyarakat kearah pemahaman yang cacat. Seolah-olah perilaku menyimpang seperti homoseksual bukanlah hal yang buruk, terlebih lagi digiring dengan opini di berbagai media, salah satunya di dunia seni.
Penyebaran paham ini juga telah menginfeksi media dan menjadikannya alat untuk menyebarkan nilai-nilai dan gaya hidup bebas ala barat. Sehingga tidak heran bila racun Liberalisme mudah mempengaruhi peradaban saat ini. Kecanggihan teknologi yang disusupi dengan berbagai macam pemahaman dan tayangan yang serba bebas memiliki potensi merusak masyarakat, tanpa memandang usia, karena siapapun dapat mengakses dengan mudah dan tidak ada kontrol dari Negara.
Berbeda dengan Sekularisme, Islam memandang bahwa keberadaan seni bukan sekedar hiburan, tetapi berguna sebagai sarana dakwah serta berfungsi dalam membangun generasi Islami yang kokoh.
Media yang beredar baik digital maupun sosial dipastikan berisi konten-konten yang mengedukasi masyarakat. Tentunya, konten-konten tersebut tetap difilter oleh aturan-aturan Allah yang diterapkan secara menyeluruh, sehingga jauh dari unsur pornografi ataupun paham merusak lainnya. Selain itu, pemerintah memiliki andil yang besar dalam mengatur dan mengontrol segala aktivitas yang berkaitan dengan kemaslahatan umat.
Langkah-langkah tersebut akan mencegah beredarnya paham-paham rusak yang disebar lewat media. Sehingga peristiwa yang memicu kisruh ditengah masyarakat seperti saat ini tidak akan terjadi. Tapi perlu dipahami jika hal tersebut hanya bisa terwujud ketika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah untuk mengatur setiap aktivitas dalam kehidupan. Wallahua’lam bi ash-shawab.
INDRYANI PUTRI
Komentar