Ramadhan adalah bulan sucinya umat Islam. Melaksanakan ibadah magdhah” untuk shaum. Bulan beribadah dan mendekat kepada Allah. Hari-hari untuk beramal sholeh karena pahala yang dilipat gandakan. Bulan ketika Allah buka pintu ampunan selebar-lebarnya pada hamba yang banyak melakukan dosa dan kesalahan. Luar biasa istimewa bulan barokah ini.
Ghirah umat Islam di Indonesia dalam mengisi ramadhan dari tahun ke tahun hampir sama, yakni tayangan televisi yang biasanya menyiarkan hiburan liberal ala barat dari pagi hingga malam, di ganti untuk sementara waktu dengan tayangan yang bernuansa islami dari dakwah hingga sinetron ramadhan.selain itu, kita juga dapat saksikan semarak ghirah ruhiyah ramadhan di tengah-tengah masyarakat, suasana islami yang penuh kesejukan dan kehangatan suara-suara tahmid,tahlil dan tadarrus Alquran senantiasa kita dengarkan.
Jika ‘buah’ dari puasa adalah takwa, tentu idealnya kaum Muslim menjadi orang-orang yang taat kepada Allah SWT tidak hanya di bulan Ramadhan saja juga tidak hanya dalam tataran ritual dan individual semata. Ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat juga di luar bulan Ramadhan sepanjang tahun, juga dalam seluruh tataran kehidupan mereka.
Sayang, faktanya yang terjadi malah sebaliknya. Pertama: Setelah Ramadhan, kaum Muslim-yang sebelumnya berusaha ber-taqarrub kepada Allah SWT untuk meraih takwa dengan puasa dan seluruh amal shalih yang mereka lakukan justru kembali jauh dari Allah SWT dan kembali melakukan ragam kemaksiatan kepada-Nya. Banyak wanita Muslimah yang kembali memamerkan auratnya, padahal saat Ramadhan mereka menutupnya rapat-rapat. Banyak masjid kembali sepi, padahal saat Ramadhan ramai dikunjungi.
Acara-acara di televisi kembali menampilkan acara-acara berbau pornografi/pornoaksi, padahal selama Ramadhan mereka menyiarkan acara-acara religi. Banyak tempat-tempat maksiat dibuka kembali, padahal selama Ramadhan ditutup. Penguasa dan banyak pejabat kembali melakukan korupsi dan mengkhianati rakyat, padahal selama Ramadhan mungkin mereka berusaha berhenti dari perbuatan-perbuatan tercela tersebut. Bagi orang-orang semacam ini, tentu puasa tak ada artinya.
Kedua: Setelah Ramadhan, tak ada dorongan dari kebanyakan kaum Muslim, khususnya para penguasanya, untuk bersegera menegakkan hukum-hukum Allah SWT secara formal dalam segala aspek kehidupan melalui institusi negara. Bahkan di antara mereka ada yang tetap dalam keyakinannya, bahwa hukum-hukum Islam tidak perlu dilembagakan dalam negara, yang penting subtansinya. Anehnya, pemahaman seperti ini juga menjadi keyakinan sebagian tokoh-tokoh agama Islam. Keyakinan semacam ini hanya menunjukkan satu hal yaitu mereka seolah ridha dengan hukum-hukum sekular yang ada (yang nyata-nyata kufur) dan seperti keberatan jika hukum-hukum Islam diterapkan secara total oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Inilah hasil dari ide sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan yang menyelimuti umat hari ini.
Paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupannya, membuat umat melaksanakan sebagian perintah Allah tapi mengabaikan perintah Allah yang lainnya. Tentu sebagai seorang muslim harus menjadikan ayat-ayat Allah menjadi patokan dan juga kita harus menyadari bahwa umat telah jauh dari rute yang telah Allah sediakan yakni Islam. Umat telah dilenakan oleh paham sekuler yang telah menjauhkan umat dari aturan kehidupan sesungguhnya yakni Islam. Padahal Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al-Anshari ra. telah menuturkan riwayat sebagai berikut:
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Bagaimana pendapat engkau jika saya telah menunaikan shalat-shalat wajib, melakukan shaum Ramadhan, menghalalkan yang halal dan meninggalkan yang haram,sementara saya tidak menambah selain itu; apakah saya masuk surga?” Rasul saw. menjawab, “Benar.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadis ini, meninggalkan keharaman adalah syarat untuk bisa masuk surga. Di antara keharaman yang wajib ditinggalkan tentu saja adalah berhukum dengan hukum-hukum kufur. Apalagi Allah SWT tegas menyatakan bahwa siapapun yang berhukum dengan selain hukum Allah SWT bisa bertatus kafir, zalim atau fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).
Karena itu, agar kita tidak termasuk golongan orang-orang kafir, zalim atau fasik maka tentu kita harus segera menegakkan semua hukum-hukum Allah SWT melalui institusi negara. Sebab, hanya melalui institusi negaralah hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia-dalam bidang ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, peradilan, keamanan, dapat benar-benar ditegakkan.
Karena itu pula, hendaknya seluruh kaum Muslim, khususnya di negeri ini, menjadikan Ramadhan kali ini sebagai momentum untuk segera mengubur sekularisme, kemudian menggantinya dengan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan melalui institusi negara, yakni Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Itulah wujud ketakwaan sejati. Itulah pula yang menunjukkan bahwa kita benar-benar sukses menjalani puasa sepanjang bulan Ramadhan.
Islam adalah ideologi yang di dalamnya termuat semua instrumen kehidupan. Di dalam syariat Islam didiskripsikan secara panjang lebar dan tuntas tentang sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem moneter, sistem pendidikan dll. Maka keliru jika wilayah Islam hanya dibatasi pada aspek ibadah ritual dan moralitas.
Semoga ramadhan ini kali terakhir kita berkubang dalam najis sekularisme. Angan-angan tentang kebangkitan selamanya melayang-layang dalam ruang harapan kita jika sekularisme tetap sebagai nilai kehidupannya, demokrasi sebagai sistemnya, dan kapitalisme menjadi landasannya. Saatnya lantang bersuara bahwa Islam revolusionerlah yang terbaik sebagai pemecah semua permasalah pelit ini. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
LIA AMALIA
Komentar